Tampilkan postingan dengan label anemia gizi 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anemia gizi 1. Tampilkan semua postingan

anemia gizi 1

Anemia merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel 
darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar 
hemoglobin normal pada laki-laki dan perempuan berbeda. 
Kadar normal hemoglobin (Hb) pada laki-laki adalah 13 gr/dL 
sedangkan kadar normal hemoglobin pada perempuan 
adalah 12 gr/dL. Anemia merupakan salah satu kelainan darah 
yang umum terjadi ketika kadar sel darah merah (eritrosit) 
dalam tubuh terlalu rendah. Hal ini akhirnya memicu  
masalah kesehatan karena kurangnya hemoglobin pada 
darah akan memicu  terganggunya supply oksigen ke 
dalam tubuh. Anemia merupakan sebuah 
tanda dari suatu proses penyakit yang biasanya digolongkan 
sebagai kronis maupun akut. Anemia kronis terjadi selama 
jangka waktu yang panjang sedangkan anemia akut terjadi 
dengan cepat. Penentuan anemia ini  akut atau kronis 
dapat dilihat dari gejala yang timbul, pada anemia kronis 
gejala biasanya dimulai secara perlahan dan bertahap. 
  
Sedangkan pada anemia akut gejala biasanya ditemukan 
mendadak dan cenderung lebih berat 
Anemia merupakan masalah kesehatan pasien 
yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia, baik di 
negara berkembang dan negara miskin. Kekurangan zat besi 
tidak terbatas pada remaja status sosial ekonomi pedesaan  
yang rendah tetapi menunjukkan peningkatan prevalensi di 
pasien yang makmur dan berkembang. Anemia 
merupakan masalah gizi yang banyak ada  diseluruh 
dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 
anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar, namun 
begitu kemajuan dalam penurunan angka kejadian 
(prevalensi) masih dinilai sangat rendah (Sya’bani dkk, 2016). 
Menurut World Health Organization tahun 2017, prevalensi 
anemia dunia berkisar 40-88%. Menurut WHO, angka kejadian 
anemia pada remaja putri di negara-negara berkembang 
sekitar 53,7% dari semua remaja putri, anemia sering 
menyerang remaja putri disebabkan karena keadaan stres, 
haid, atau terlambat makanan.    
Anemia dikatakan menjadi suatu masalah kesehatan 
pasien apabila prevalensinya diatas 20%. berdasar  
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012, 
menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri 
usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan pada Wanita Usia Subur 
(WUS) usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Hasil Riset Kesehatan 
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 di negara kita  prevalensi anemia 
defisiensi besi banyak ditemukan pada remaja perempuan 
sebesar 84,6%. Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan 
Selatan tahun 2018 kejadian anemia pada remaja putri di 
Kalimantan Selatan sebesar 52,98%. Sedangkan prevalensi 
anemia pada remaja putri di Kabupaten Banjar sebesar 
55,85%. Artinya prevalensi kejadian anemia di Kabupaten 
Banjar berada diatas prevalensi provinsi dan juga menjadi 
masalah kesehatan pasien karena melebihi angka 
nasional. 
Remaja putri merupakan kelompok risiko tinggi 
mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putra 
karena kebutuhan absorbsi zat besi memuncak pada umur 14-
15 tahun pada remaja putri. Dampak anemia gizi besi pada   
remaja adalah menurunnya produktivitas kerja ataupun 
kemampuan akademis di sekolah, karena tidak adanya gairah 
belajar dan konsentrasi belajar. Anemia gizi besi juga dapat 
mengganggu pertumbuhan dimana tinggi dan berat badan 
menjadi tidak sempurna, menurunkan daya tahan tubuh 
sehingga mudah terserang penyakit. berdasar  siklus daur 
hidup, anemia gizi besi pada saat remaja akan berpengaruh 
besar pada saat kehamilan dan persalinan, yaitu terjadinya 
abortus, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, 
mengalami penyulit lahirnya bayi karena rahim tidak mampu 
berkontraksi dengan baik serta risiko terjadinya perdarahan 
pasca persalinan yang memicu  kematian maternal . 
 
A. Remaja  
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescent 
berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh atau 
tumbuh untuk mencapai kematangan. Anak dianggap 
dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi ,Masa remaja (adolescent) merupakan periode transisi 
perkembangan masa kanak-kanak dengan masa dewasa, 
yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan 
sosio emosional , tahap  remaja merupakan 
masa perkembangan individu yang penting. Masa remaja 
adalah suatu periode dalam perkembangan yang dijalani 
pasien  yang terbentang sejak berakhir masa kanak-kanak 
sampai dengan awal masa dewasa. Bagian dari masa kanak-
kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya 
tinggi badan terus bertambah, sedangkan masa dewasa 
antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk 
fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai   
dengan kemampuan berfikir secara abstrak 
berdasar  umur kronologis dan berbagai 
kepentingan, ada  berbagai definisi tentang remaja, yaitu 
sebagai beikut 
1. Menurut World Health Organization (WHO), remaja 
adalah jika anak berusia 12 sampai 24 tahun 
2. Usia remaja menurut Undang-undang Perlindungan Anak 
Nomor 23 Tahun 2002 adalah 10–18 tahun 
3. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan 
remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 
10–18 tahun (untuk anak perempuan) dan 12–20 tahun 
(untuk anak laki-laki) 
4. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 mengenai 
Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum 
mencapai 21 tahun dan belum menikah 
5. Menurut Undang-undang tentang Perburuhan, anak 
dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16–18 
tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk 
tinggal 
6. Menurut Undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1 
Tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup 
matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun (untuk anak 
perempuan) dan 19 tahun (untuk anak laki-laki) 
7. Menurut Pendidikan Nasional (Diknas), anak dianggap 
remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai 
dengan saat lulus Sekolah Menengah. 
 
B. Anemia  
1. Pengertian Anemia  
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar 
hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah lebih rendah 
dari nilai normal sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau 
beberapa unsur makanan esensial , Anemia 
dikatakan sebagai suatu kondisi tidak mencukupinya 
cadangan zat besi sehingga terjadi kekurangan penyaluran 
zat besi ke jaringan tubuh. Tingkat kekurangan zat besi yang 
lebih parah dihubungkan dengan anemia yang secara klinis 
ditentukan dengan turunnya kadar hemoglobin sampai 
kurang dari 11,5 gr/dL Anemia defisiensi besi 
merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi dan 
anak, serta wanita hamil. Secara sederhana dapatlah 
dikatakan bahwa, defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah 
yang diserap untuk memenuhi kebutuhan tubuh terlalu 
sedikit, ketidakcukupan besi ini dapat diakibatkan oleh 
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya zat besi dalam 
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi. Bila hal 
ini  berlangsung lama maka defisiensi zat besi akan 
menimbulkan anemia.   
Menurut World Health Organization (WHO) dalam 
Supariasa (2001), batasan anemia adalah sebagai berikut: 
Tabel 1. Batasan anemia menurut WHO 
Kelompok Batas Normal 
Anak Balita 11 gr % 
Anak Usia Sekolah 12 gr % 
Wanita Dewasa 12 gr% 
Laki-Laki dewasa 13 gr % 
Ibu Hamil 11 gr % 

Masa remaja (adolescence) merupakan periode 
pertumbuhan anak-anak menuju proses kematangan dari 
manusia dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan fisik,   
biologis, dan psikologis yang sangat unik dan berkelanjutan. 
Selama masa remaja, pasien  akan mengalami 
pertumbuhan fisik yang pesat. Dibandingkan dengan periode 
lainnya sesudah  kelahiran, masa remaja mengalami 
pertumbuhan terpesat kedua sesudah  tahun pertama 
kehidupan. Lebih dari 20% total pertumbuhan tinggi badan 
dan sampai 50% massa tulang tubuh telah dicapai pada 
periode ini. Oleh sebab itu, kebutuhan zat gizi meningkat 
melebihi kebutuhan pada masa anak-anak. proses biologis 
pada masa pubertas ditandai oleh cepatnya pertumbuhan 
tinggi, berat badan, perubahan komposisi jaringan, dan 
ada  perubahan karakter seksual primer dan sekunder. 
Secara biologis, psikologis, dan kognitif perubahan yang 
terjadi pada saat remaja dapat mempengaruhi status gizi dan 
kesehatan. Gizi yang baik selama remaja tidak hanya 
berpengaruh pada optimalisasi pertumbuhan saat remaja, 
tetapi juga pencegahan penyakit kronis sesudah  dewasa. Pada 
periode remaja ini juga perlu diperhatikan masalah gizi untuk 
nantinya dapat meningkatkan kualitas kehamilan ,
2. Patofisiologi Anemia 
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan 
menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya 
absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya 
kapasitas pengikatan zat besi. Tahap yang lebih lanjut berupa 
habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan 
transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah 
menjadi darah dan akan diikuti dengan menurunnya kadar 
feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang 
khas yaitu rendahnya kadar Hb. Gejala anemia defisiensi besi 
dibagi menjadi dua, yaitu tanda dan gejala anemia defisiensi 
besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia defisiensi besi 
yang khas. Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas 
hampir sama dengan anemia pada umumnya yaitu cepat lelah 
atau kelelahan karena simpanan oksigen dalam jaringan otot 
kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri kepala 
dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan 
oksigen karena daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan 
bernapas, terkadang sesak napas merupakan gejala, dimana 
tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen dengan cara   
kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana 
jantung berdenyut lebih cepat diikuti dengan peningkatan 
denyut nadi; dan pucat pada muka, telapak tangan, kuku, 
membran mukosa mulut, dan konjungtiva 
 
3. Penyebab Anemia 
Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik, 
gizi yang buruk atau gangguan penyerapan nutrisi oleh usus. 
Juga dapat memicu  pasien  mengalami kekurangan 
darah. Faktor risiko terjadinya anemia memang lebih besar 
pada perempuan di bandingkan kaum pria. Cadangan besi 
dalam tubuh perempuan lebih sedikit daripada pria 
sedangkan kebutuhan per harinya justru lebih tinggi. Seorang 
wanita atau remaja putri akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat 
besi melalui ekskresi secara normal pada saat mentruasi. 
Berikut ini tiga kemungkinan dasar pemicu  anemia: 
a. Penghancuran sel darah merah yang berlebihan 
Hal ini bisa disebut sebagai anemia hemolitik yang 
muncul saat sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari 
normal (umur sel darah merah normalnya 120 hari). Sehingga   
sumsum tulang penghasil sel darah merah tidak dapat 
memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah. 
b. Kehilangan darah 
Kehilangan darah dapat memicu  anemia 
disebabkan oleh perdarahan berlebihan, pembedahan atau 
permasalahan dengan pembekuan darah. Kehilangan darah 
yang banyak karena menstruasi pada remaja atau perempuan 
juga dapat memicu  anemia. Semua faktor ini akan 
meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat besi, karena zat 
besi dibutuhkan untuk membuat sel darah merah baru. 
c. Produksi sel darah merah yang tidak optimal  
Hal ini terjadi saat sumsum tulang tidak dapat 
membentuk sel darah merah dalam jumlah cukup yang dapat 
diakibatkan infeksi virus, paparan terhadap kimia beracun 
atau obat-obatan (antibiotik, antikejang atau obat kanker). 
Penyebab anemia gizi besi pada remaja putri dapat juga 
terjadi karena asupan besi yang tidak cukup, adanya 
gangguan absorbsi besi, kehilangan darah yang menetap, 
penyakit dan kebutuhan meningkat, yaitu sebagai berikut:   
1) Asupan zat besi yang tidak cukup  
Masa remaja merupakan masa penting dalam 
pertumbuhan. Apabila, makanan yang dikonsumsi tidak 
mengandung zat besi dalam jumlah cukup, maka kebutuhan 
tubuh terhadap zat besi tidak terpenuhi, ini dikarenakan 
rendahnya kualitas dan kuantitas zat besi pada makanan yang 
kita konsumsi. Kurangnya konsumsi sayuran dan buah-
buahaan serta lauk pauk akan meningkatnya risiko terjadinya 
anemia zat besi. Remaja yang belum sepenuhnya matang 
baik secara fisik, kognitif, dan masih dalam masa pencarian 
identitas diri, cepat dipengaruhi lingkungan. Keinginan 
memiliki tubuh yang langsing, membuat remaja membatasi 
makan. Aktivitas remaja yang padat memicu  mereka 
makan di luar rumah atau hanya makan makanan ringan, 
yang sedikit mengandung zat besi, selain itu dapat 
menggangu atau menghilangkan nafsu makan 
2) Defisiensi asam folat 
Pemberian asam folat sebesar 35% menurunkan risiko 
anemia. Defisiensi asam folat terutama memicu  
gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi perubahan 
morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat 
membelah seperti sel darah merah, sel darah putih serta sel 
epitel lambung dan usus, vagina dan serviks. Kekurangan 
asam folat menghambat pertumbuhan, memicu  
anemia megaloblastik dan gangguan darah lainnya, 
peradangan lidah (glositis) dan gangguan saluran cerna 
(Almatsier, 2009). 
3) Gangguan absorbsi 
Zat besi yang berasal dari makanan dan masuk kedalam 
tubuh diperlukan proses absorbsi. Proses ini  
dipengaruhi oleh jenis makanan, dimana zat besi ada . 
Absorbsi zat besi dapat lebih ditingkatkan dengan pemberian 
vitamin C, hal ini dikarenakan karena faktor reduksi dari 
vitamin C. Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam 
senyawa dengan asam amino atau dengan vitamin C. Karena 
itu, sayuran segar dan buah-buahan baik dikonsumsi untuk 
mencegah anemia. Hal ini dikarenakan bukan bahan 
makanannya yang mengandung gizi besi, tetapi karena 
kandungan vitamin C yang mempermudah absorbsi zat besi.   
Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi non heme 
sampai 4 kali lipat. Tidak hanya vitamin C saja yang dapat 
mempermudah absorbi zat besi, protein juga ikut 
mempermudah absorbsi zat besi. Kadang faktor yang 
menentukan absorbsi pada umumnya lebih penting dari 
jumlah zat besi dalam makanan.  
Tanin yang ada  pada teh dapat menurunkan 
absorbsi zat besi sampai dengan 80%. Minum teh satu jam 
sesudah  makan dapat menurunkan absorbsi hingga 85%. Hasil 
survei anemia pada remaja putri di Kabupaten Sleman tahun 
2008 menunjukkan bahwa siswa yang terbiasa minum teh, 
berisiko lebih tinggi menderita anemia, dengan 
persentase lebih dari 50% dibandingkan dengan yang kadang-
kadang atau tidak terbiasa minum teh. Kafein di dalam kopi 
juga juga dapat menurunkan absorbsi zat besi. Kafein 
merupakan Kristal Xantin putih, pahit, dan larut dalam air.  
Efek negatif kopi antara lain: menggangu absorbsi besi, 
memicu  anemia defisiensi besi, ulkus peptikum, 
esophagitis erosif, gastroesophageal refluks, meningkatkan 
risiko osteoporosis. Konsumsi teh dan kopi satu jam sesudah    
makan akan menurunkan absorbsi dari zat besi sampai 40% 
untuk kopi dan 85% untuk teh, karena ada  zat polyphenol 
seperti tannin yang ada  dalam teh 
4) Perdarahan 
Perdarahan atau kehilangan darah dapat memicu  
anemia yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna yang 
lambat karena polip, neoplasma, gastritis, varises esophagus 
dan hemoroid. Selain itu perdarahan juga dapat berasal dari 
saluran kemih seperti hematuri, perdarahan pada saluran 
napas seperti hemaptoe. Perdarahan yang terjadi membuat 
hilangnya darah dalam tubuh, biasanya sesudah  mengalami 
perdarahan, maka tubuh akan mengganti cairan plasma 
dalam waktu 1 sampai 3 hari, akibatnya konsentrasi sel darah 
merah menjadi rendah. Jika tidak ada perdarahan kedua 
konsentrasi sel darah merah menjadi stabil dalam waktu 3-6 
minggu. Saat kehilangan darah kronis, proses absorbsi zat 
besi dari usus halus untuk membentuk hemoglobin dalam 
darah terhambat. Sehingga, terbentuk sel darah merah yang 
mengandung sedikit hemoglobin yang menimbulkan keadaan 
anemia.  
18  
5) Kecacingan 
Infeksi cacing tambang memicu  perdarahan pada 
dinding usus, akibatnya sebagian darah akan hilang dan akan 
dikeluarkan dari tubuh bersama tinja. Setiap hari satu ekor 
cacing tambang akan menghisap 0,03 sampai 0,15 ml darah 
dan terjadi terus-menerus sehingga kita akan kehilangan 
darah setiap harinya, hal ini yang memicu  anemia.  
6) Peningkatan kebutuhan zat besi 
Kebutuhan zat besi wanita lebih tinggi dari pada pria 
karena terjadi menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50-
80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30-40 mg. 
Pada masa kehamilan wanita memerlukan tambahan zat besi 
untuk meningkatkan sel darah merah dan membentuk sel 
darah merah janin dan plasenta serta untuk kebutuhan ibu 
sendiri. Remaja yang anemia dan kurang berat badan lebih 
banyak melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah 
(BBLR) dibandingkan dengan wanita dengan usia reproduksi 
aman untuk hamil. Penambahan berat badan yang tidak 
adekut lebih sering terjadi pada orang yang ingin kurus, ingin 
menyembunyikan kehamilannya, tidak mencukupi sumber 
19  
makanannya. 
4. Pencegahan dan Penanggulangan Anemia 
Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah 
kekurangan besi antara lain: 
a. Konseling untuk membantu memilih-milih  badan makanan 
dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia 
remaja 
b. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti 
daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari 
buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk 
meningkatkan abssorbsi besi dan menghindari atau 
mengurangi minum kopi, teh es, minuman ringan yang 
mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan. 
c. Suplementasi besi, merupakan cara untuk menanggulangi 
ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian 
suplementasi besi ada remaja dosis 1 mg/kgBB/hari 
d. Untuk meningkatkan absobsi besi, sebaiknya 
suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, 
minuman ringan yang mengandung karbonat, 
multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium. 
20  
e. Skrining anemia, pemeriksaan hemoglobin dan 
hematokrit masih merupakan pilihan untuk skrining 
anemia defisiensi besi.  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
21  
REFERENSI 
Ali M. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara . 
 
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT 
Gramedia Pustaka Utama.  
 
Arisman MB. 2010 Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu 
Gizi. Jakarta: EGC.  
 
Briawan D. 2013. Anemia Masalah Gizi pada Remaja Wanita. 
Jakarta: EGC. 
 
Miller RD.  2008. Blood Disease of Infancy and Childhood, Iron 
Metabolism and Iron Deficiency. Washington DC: Mosby 
Company. 
 
Proverawati A. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. 
Yogyakarta: Nuha Medika. 
 
Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit 
Erlangga.  
 
Sarwono SW. 2000. Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo 
Pustaka . 
 
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. 
 
Sya’bani IN, Sumarmi S. 2016. Hubungan Status Gizi dengan 
Kejadian Anemia pada Santriwati di Pondok Pesantren 
22  
Darul Ulum Peterongan Jombang. Jurnal Keperawatan 
Muhammadiyah 2016, 1(1): 7-15. 
 
Tarwoto NS, Wasnidar. 2007. Anemia Pada Ibu Hamil dan 
Konsep Penatalaksanaan. Jakarta: Trans Info Media.  
 
World Health Organization. 2017. Anaemia. Online; 
https://www.who.int/topics/anaemia/en/ , diakses pada 
tanggal 29 Juli 2019. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
23  
BAB III 
JENIS-JENIS ANEMIA 
 
A. Anemia Defisiensi Zat Besi  
Anemia yang paling banyak terjadi utamanya pada 
remaja putri adalah anemia akibat kurangnya zat besi. Zat 
besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Oleh sebab 
itu, ketika tubuh kekurangan zat besi produksi hemoglobin 
akan menurun. Meskipun demikian, penurunan hemoglobin 
sebetulnya baru akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe) 
dalam tubuh sudah benar-benar habis.  
 
B. Anemia Defisiensi Vitamin C 
Anemia karena kekurangan vitamin C merupakan 
anemia yang jarang terjadi. Anemia defisiensi vitamin C 
disebabkan oleh kekurangan vitamin C yang berat dalam 
jangka waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C biasanya 
adalah kurangnya asupan vitamin C dalam makanan sehari 
hari. Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu 
mengasorbsi zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan 
24  
vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang 
dan bisa terjadi anemia.  
 
C. Anemia Makrositik 
Jenis anemia ini disebabkan karena tubuh kekurangan 
vitamin B12 atau asam folat. Anemia ini memiliki ciri sel-sel 
darah abnormal dan berukuran besar (makrositer) dengan 
kadar hemoglobin per eritrosit yang normal atau lebih tinggi 
(hiperkrom) dan MCV tinggi. MCV atau Mean Corpuscular 
Volume merupakan salah satu karakteristik sel darah merah. 
Sekitar 90% anemia makrositik yang terjadi adalah anemia 
pernisiosa. Selain menggangu proses pembentukan sel darah 
merah kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem 
saraf sehingga penderita anemia ini akan merasakan 
kesemutan ditangan dan kaki, tungkai dan kaki serta tangan 
seolah mati rasa. Gejala lain yang dapat terlihat diantaranya 
adalah buta warna tertentu termasuk warna kuning dan biru, 
luka terbuka dilidah atau lidah seperti terbakar, penurunan 
berat badan, warna kulit menjadi lebih gelap, dan mengalami 
penurunan fungsi intelektual.  
 
25  
D. Anemia Hemolitik 
Anemia hemolitik terjadi bila sel darah merah 
dihancurkan jauh lebih cepat dari normal dimana umur sel 
darah merah normalnya adalah 120 hari. Pada anemia 
hemolitik umur sel darah merah lebih pendek sehingga 
sumsum tulang penghasil sel darah merah tidak dapat 
memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah. 
 
E. Anemia Sel Sabit 
Anemia sel sabit (sickle cell anemia) adalah suatu penyakit 
keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang 
berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik. Pada 
penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki hemoglobin 
(protein pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal 
sehingga mengurangi jumlah oksigen dalam sel dan 
memicu  bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang 
berbentuk sabit akan menyumbat dan merusak pembuluh 
darah terkecil dalam limpa, ginjal, otak, tulang, dan organ 
lainnya serta memicu  kurangnya pasokan oksigen ke 
organ ini . Sel sabit ini rapuh dan dapat pecah pada saat 
26  
melewati pembuluh darah yang pada akhirnya dapat 
memicu  kerusakan organ bahkan kematian.  
 
F. Anemia Aplastik 
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang 
berbahaya, karena dapat mengancam jiwa. Anemia aplastik 
terjadi apabila sumsum tulang tempat pembuatan darah 
merah terganggu. Kejadian anemia aplastik memicu  
terjadinya penurunan produksi sel darah (eritrosit, leukosit 
dan trombosit). Anemia aplastik terjadi karena disebabkan 
oleh bahan kimia, obat-obatan, virus dan terkait dengan 
penyakit-penyakit yang lain. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
27  
REFERENSI 
Proverawati A. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. 
Yogyakarta: Nuha Medika. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
28  
BAB IV 
PENYEBAB ANEMIA PADA REMAJA PUTRI 
 
berdasar  etiologinya, Baldy (1992) menerangkan 
anemia dapat dibagi menjadi dua. Penyebab utama adalah 
meningkatnya kehilangan sel darah merah dan gangguan 
atau penurunan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan 
sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan dan 
penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma 
atau luka, perdarahan kronik karena polip pada kolon, 
penyakit keganasan, hemoroid, dan menstruasi yang 
abnormal. Etiologi yang kedua adalah pembantukan sel darah 
merah yang terganggu. Setiap keadaan yang mempengaruhi 
sumsum tulang dimasukkan dalam kelompok ini, seperti 
berikut: 
1. Keganasan yang tersebar seperti kanker, obat dan zat 
toksik, serta radiasi 
2. Penyakit menahun melibatkan ginjal dan hati, infeksi dan 
defisiensi endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin penting 
seperti vitamin B12, vitamin C dan zat besi juga dapat 
29  
memicu  pembentukan sel darah merah tidak 
efektif sehingga menimbulkan anemia. 
Menurut Junadi (1995), ada  tiga faktor yang 
mempengaruhi timbulnya anemia: 
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi 
dan infeksi penyakit. Kurangnya zat besi dalam tubuh 
disebabkan karena kurangnya asupan makanan yang 
mengandung zat besi, makanan cukup, namun 
bioavailabilitas rendah, serta makanan yang dimakan 
mengandung zat penghambat absorbsi besi. Infeksi 
penyakit yang umumnya memperbesar risiko anemia 
adalah cacing dan malaria 
2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian 
keluarga terhadap wanita, aktivitas wanita tinggi, pola 
distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu dan anak 
wanita tidak menjadi prioritas 
3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain 
rendahnya pendidikan, redahnya pendapatan, status 
sosial yang rendah dan lokasi geografis yang sulit.  
30  
Menurut Depkes RI (2008), pemicu  anemia pada 
remaja putri dan wanita adalah: 
1. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja 
putri dan wania tinggi, dibandingkan dengan makanan 
hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.  
2. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena 
ingin langsing dan mempertahankan berat badannya 
3. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap 
bulan yang membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak 
dibandingkan dengan laki-laki (Nursari, 2009). 
Selain itu, sebagian besar anemia di negara kita  
disebabkan karena kekurangan zat besi yang merupakan 
komponen yang membentuk hemoglobin atau sel darah 
merah. Pada umumnya ada  tiga pemicu  anemia 
defisiensi besi, antara lain (Arisman, 2007): 
1. Kehilangan darah secara kronis (menstruasi dan infestasi 
cacing) 
2. Asupan zat besi yang tidak cukup dan penyerapan yang 
tidak adekuat 
31  
3. Meningkatnya kebutuhan zat besi untuk pembentukan 
sel darah merah pada kondisi tertentu, contohnya masa 
kehamilan, menyusui, pertumbuhan bayi, dan masa 
remaja. 
Kekurangan zat besi terjadi karena kurangnya 
mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi atau 
sudah mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, 
tetapi terjadi gangguan absorbsi di dalam usus karena ada 
cacing atau gangguan pencernaan. Ditambah dengan 
kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengganggu 
penyerapan zat besi (seperti kopi dan teh) pada waktu yang 
sama dengan waktu makan sehingga memicu  absorbsi 
zat besi semakin rendah (Permatasari, 2016). 
Sedangkan menurut WHO, defisiensi besi pada 
umumnya merupakan hasil dari asupan besi dari kebiasaan 
makan yang mempunyai biovaibilitas yang tidak cukup. 
Kebutuhan besi yang meningkat selama masa pertumbuhan 
cepat (masa anak-anak, remaja, dan kehamilan), dan atau 
meningkat kehilangan darah pada gastrointestinal yang 
disebabkan penyakit kecacingan, malaria, atau kehilangan 
32  
darah melalui urin karena schistosomiasis. Bila remaja putri 
mengalami menstruasi setiap bulannya akan kehilangan 
darah kurang lebih 40-50 ml darah. Bila keadaan durasi masa 
menstruasi ini meningkat sampai 15% maka dirinya akan 
kehilangan darah hingga mencapai 80-100 ml darah. Kejadian 
yang dialami remaja putri ini akan memicu  defisiensi 
besi yang apabila tidak segera diatasi akan memicu  
anemia kurang besi (Nurhayati, 2005). 
Menurut Depkes RI, pemicu  anemia gizi karena 
kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh karena pola 
konsumsi pasien negara kita , terutama wanita kurang 
mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan 
sumber heme iron yang daya serapnya lebih > 15%. Ada 
beberapa bahan makanan nabati yang memiliki kandungan 
Fe tinggi (non heme iron), tetapi hanya bisa diserap tubuh < 
3% sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk 
memenuhi kebutuhan Fe dalam tubuh, jumlah ini  tidak 
mungkin terkonsumsi. Anemia juga disebabkan karena 
terjadinya peningkatan kebutuhan oleh tubuh terutama pada 
remaja, ibu hamil, dan karena adanya penyakit kronis. 
33  
Penyebab lainnya karena perdarahan yang disebabkan oleh 
investasi cacing terutama cacing tambang, malaria, haid yang 
berlebihan dan perdarahan saat melahirkan (Wijiastuti, 
2006). 
Anemia gizi besi sering diderita oleh wanita dan remaja 
putri dan diketahui 1 diantara 3 wanita di negara kita  menderita 
anemia. Penyebab anemia gizi besi sering diderita oleh 
wanita dan remaja putri yaitu dikarenakan (Depkes RI, 1998):  
1. Wanita dan remaja putri jarang makan makanan protein 
hewani seperti hati, daging dan ikan 
2. Wanita dan remaja putri selalu mengalami menstruasi 
setiap bulan sehingga membutuhkan zat besi dua kali 
lebih banyak daripada pria, oleh karena itu wanita 
cenderung menderita anemia dibandingkan dengan pria 
3. Adanya kecenderungan remaja yang ingin berdiet 
dengan alasan mempertahankan bentuk tubuh yang 
ideal sehingga terjadi pola makan yang salah, serta 
adanya pantangan dan tabu. 
34  
Menurut Wijanarka (2007) ada  beberapa faktor 
yang mempengaruhi rendahnya kadar Hb pada remaja putri 
yaitu: 
1. Kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan 
menstruasi 
2. Kurangnya zat besi dalam makanan yang dikonsumsi 
3. Penyakit yang kronis, misalnya TBC, Hepatitis, dan 
sebagainya 
4. Pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba 
teratur menjadi kurang teratur, misalnya sering 
terlambat makan atau kurang tidur 
5. Ketidakseimbangan antara asupan gizi dan aktivitas yang 
dilakukan (Handayani, 2010).  
Adapun faktor pemicu  yang berpengaruh terhadap 
kejadian anemia yaitu sebagai berikut: 
 
A. Asupan Zat Gizi 
1. Zat besi (Fe) 
Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses 
pembentukan sel darah merah. Selain itu zat besi mempunyai 
beberapa fungsi esensial dalam tubuh, yaitu sebagai alat 
35  
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat 
angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu 
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier, 
2001).  
Pada wanita, zat besi yang dikeluarkan dari badan lebih 
banyak daripada laki-laki. Selain dari kehilangan basal, masih 
ada kehilangan lewat jalur lain. Setiap bulan wanita dewasa 
mengalami menstruasi, dan periode menstruasi dikeluarkan 
zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/periode. Oleh karena 
menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka 
banyaknya zat besi yang dikeluarkan rata-rata sehari adalah 
28 mg dibagi dengan 30 sama dengan 1 mg/hari. Dengan 
demikian wanita mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir 
dua kali lebih banyak dari laki-laki dewasa. Meningkatnya 
kebutuhan zat besi, bila diiringi dengan kurangnya asupan zat 
besi dapat berakibat remaja putri rawan terhadap anemia 
akibat defisiensi besi (Hallberg, 1988).  
Zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani (zat 
besi heme) mempunyai tingkat absorbsi 20-30 % sedangkan 
zat besi non heme hanya 10- 15 %. Zat besi heme lebih mudah 
36  
diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan zat 
makanan lainnya, tapi zat besi heme ini dapat berubah 
menjadi zat besi non heme jika dimasak dengan suhu yang 
tinggi dan dalam waktu yang lama. Sedangkan zat besi non 
heme lebih sulit diserap dan penyerapannya sangat 
tergantung pada zat makanan lainnya baik secara positif 
maupun negatif. Kehadiran vitamin C, daging, ikan, dan 
unggas akan meningkatkan penyerapan zat besi non heme 
dan zat besi heme yang ada  dalam daging, unggas, dan 
ikan serta makanan hasil laut, dapat meningkatkan 
penyerapan zat besi non heme. Sedangkan yang berperan 
negatif dalam penyerapan zat besi adalah tannin dalam teh, 
phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, fosfat, 
kalsium, dan serat dalam bahan makanan (Husaini, 1989).  
Absorbsi besi tergantung pada jumlah bahan makanan 
yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga 
absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari 
bervariasi. Muhilal (1983) dalam Amaliah (2002) menyatakan 
bahwa makanan sehari-hari dapat diklasifikasikan menjadi 
tiga, yaitu (Muhilal, 2004): 
37  
a. Absorbsi besi rendah atau sama dengan 5%, yang berasal 
dari makanan yang monoton 
Makanan yang monoton umumnya hanya terdiri dari 
beras atau ubi, atau jagung dengan hanya sedikit atau jarang 
sekali makan daging, ikan, dan vitamin C, dan banyak 
mengandung serat atau bahan makanan yang menghambat 
absorbsi besi, maka absorbsi besi dari menu makanan yang 
demikian adalah rendah atau berkisar 5%. Makanan yang 
absorbsi besi rendah ini umumnya dijumpai pada keluarga-
keluarga yang berpenghasilan rendah di negara-negara 
sedang berkembang. 
b. Absorbsi besi sedang atau sama dengan 10% 
Makanan yang terdiri dari beras atau serelia lainnya, 
dengan daging dan makanan berasal dari hewani lainnya 
serta vitamin C yang sering ada setiap hari, yang merupakan 
tipe makanan bagi keluarga-keluarga mampu di negara-
negara sedang berkembang, absorbsi besi adalah 10% atau 
disebut sedang (moderat). 
 
 
38  
c. Absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%  
Menu makanan orang-orang di negara-negara industri 
seperti Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lainnya 
dimana daging dan makanan lainnya tinggi di dalam menu 
sehari-hari, maka absorbsi besi dari makanan 15% atau disebut 
tinggi. 
Jumlah zat besi yang dibutuhkan setiap hari untuk 
mempertahankan kadar hemoglobin, kadar simpanan besi 
yang cukup dan untuk keperluan pertumbuhan yang normal, 
berbeda menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Remaja 
putri selama pertumbuhan mengalami peningkatan volume 
darah dan jaringan tubuh sehingga membutuhkan tambahan 
besi untuk sintesa hemoglobin dan myoglobin (Guthrie, 
1989).  
Tabel 2. Kebutuhan Besi Manusia (mg/Hari) 
Kehilangan Kebutuhan 
Total 
kebutuhan Kelompok 
umur Faeces 
Urine, 
keringat, 
desquamasi 
Menstruasi Pertumbuhan Hamil 
Dewasa       
Pria 0,7 0,2 – 0,5    0,9 – 1,2 
Wanita 0,7 0,2 – 0,5 0,5 – 1,0   1,4 – 2,2 
Ibu hamil 0,7 0,2 – 0,5   1,0 – 
2,0 
1,9 – 3,2 
Anak-anak 0,7 0,2 – 0,5  0,2  1,1 – 1,4 
Remaja putri 0,7 0,2 – 0,5 0,5 – 1,4 1,5 – 1,0  1,9 – 3,7 
Sumber: Guthrie, 1989 
 
39  
Dari beberapa teori di atas, didukung oleh beberapa 
penelitian yang mendapatkan hasil yang berhubungan antara 
asupan zat besi dengan anemia pada remaja putri. Pada 
tahun 2007 penelitian Satyaningsih mendapakan hasil bahwa 
remaja putri SMK Amaliyah Sekadau yang konsumsi Fe 
kurang berisiko  10 kali mengalami anemia 
dibandingkan remaja putri yang konsumsi Fe cukup. 
Penelitian Kwatrin (2007) juga mendapakan hubungan yang 
bermakna secara statistik antara asupan zat besi dengan 
kejadian pada remaja putri di SMUN Bayah Kabupaten Lebak. 
Feriani (2004) dan Safyanti (2001) juga menemukan 
hubungan antara konsumsi Fe dengan kejadian anemia 
dengan risiko masing-masing 5 kali dan 6 kali lebih tinggi pada 
remaja putri yang konsumsi Fe rendah atau kurang. 
 
2. Vitamin C 
Zat gizi yang telah dikenal luas sangat berperanan 
dalam meningkatkan absorbsi zar besi adalah Vitamin C 
(Husaini, 1989; Almatsier, 2001). Vitamin C dapat 
meningkatkan absorbsi zat besi non heme sampai empat kali 
lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus 
40  
halus sehingga mudah diabsorbsi. Vitamin C menghambat 
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk 
membebaskan besi bila diperlukan. Vitamin C pada umumnya 
hanya ada  pada pangan nabati, yaitu sayur dan buah 
terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, 
gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001). 
Beberapa penelitian membuktikan pengaruh konsumsi 
vitamin C terhadap kejadian anemia, yaitu pada tahun 2001, 
Safyanti menemukan remaja putri yang konsumsi Vitamin C 
kurang dari 100 % AKG berisiko  3,5 kali lebih tinggi 
mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putri yang 
mengkonsumsi vitamin C > 100 % AKG. Satyaningsih (2007) 
dan Kwatrin (2007) juga menemukan hal yang sama, yaitu 
risiko mengalami anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri 
yang konsumsi Vitamin C kurang dari AKG. 
 
3. Energi 
Krummel (1996), menyatakan bahwa energi merupakan 
zat gizi utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai 
kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya seperti 
protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi. Menurut 
41  
Khumaidi (1989) untuk menilai kecukupan konsumsi pangan 
adalah dengan menilai kecukupan konsumsi energi dan 
protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein 
sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan, 
maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya juga akan 
terpenuhi. 
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan 
kekurangan zat gizi lainnya dan begitu pula dengan 
penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait antara 
satu zat gizi dengan zat gizi lainnya. Rendahnya asupan 
energi dan protein dapat menimbulkan masalah kurang 
energi dan protein (KEP). KEP dapat menurunkan daya tahan 
tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi 
pada penderita kurang gizi adalah penyakit saluran 
pernapasan dan saluran pencernaan, penyakit ini dapat 
memicu  gangguan dalam penyerapan zat gizi 
makanan, salah satunya Fe, bila ada  gangguan 
penyerapan Fe, maka akan ada  kemungkinan terjadinya 
anemia. 
42  
Menurut Wirakusumah (1999) kekurangan konsumsi 
energi dapat memicu  anemia, hal ini terjadi karena 
pemecahan protein tidak lagi ditujukan untuk pembentukan 
sel darah merah dengan sendirinya menjadi kurang. 
Pemecahan protein untuk energi dapat memicu  
ketidakseimbangan dalam tubuh. Pengaruh asupan energi 
terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam beberapa 
penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi < 
100 % AKG berisiko  mengalami anemia 3,13 (Lestari, 
1996); 3,2 (Safyanti, 2002); 6,962 (Kwatrin, 2007); 5,066 
(Satyaningsih, 2007) kali lebih tinggi dibandingkan dengan 
remaja putri yang konsumsi energinya cukup. 
 
4. Protein 
Protein dalam darah mempunyai mekanisme yang 
spesifik sebagai carrier bagi transportasi zat besi pada sel 
mukosa. Protein itu disebut transferring yang disintesa di 
dalam hati dan transferin akan membawa zat besi dalam 
darah untuk dipakai pada sintesa hemoglobin. Dengan 
berkurangnya asupan protein dalam makanan, sintesa 
transferring akan terganggu sehingga kadar dalam darah 
43  
akan turun. Rendahnya kadar transferring dapat 
memicu  transportasi zat besi tidak dapat berjalan 
dengan baik, akibatnya kadar Hb akan menurun (Hallberg, 
1988).  
Bridges (2008) menyatakan bahwa protein juga 
mempunyai peranan penting dalam transportasi zat besi 
dalam tubuh. Kurangnya asupan protein akan memicu  
transportasi zat besi terlambat sehingga akan terjadi 
defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi protein 
terutama berasal dari daging, ikan, dan unggas juga banyak 
mengandung zat besi. 
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri 
yang asupan proteinnya kurang dari AKG berisiko  lebih 
tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri 
yang asupannya cukup atau memenuhi AKG. Safyanti (2002) 
mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan 
proteinnya kurang dari AKG berisiko  lebih 5,3 kali 
terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang 
asupannya cukup, begitu juga dengan penelitian Dadin 
(2006) mendapatkan hubungan bermakna antara asupan 
44  
protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06. Penelitian 
Satyaningsih (2007) dan Kwatrin (2007) juga mendapatkan 
hubungan signifikan antara asupan protein dan anemia 
dengan masing-masing nilai OR nilai OR 4,255 dan 4,380. 
 
B. Perilaku Makan dan Minum 
1. Perilaku Sarapan Pagi 
Makan/sarapan pagi yaitu makanan yang dimakan 
sebelum beraktivitas, yang terdiri dari makanan pokok dan 
lauk pauk atau makanan kudapan. Jumlah yang dimakan 
kurang lebih 1/3 dari makanan sehari. Sedangkan menurut 
Depkes RI (2001), sarapan adalah mengkonsumsi makanan 
yang dimakan pada waktu pagi hari sebelum berangkat atau 
melakukan kegiatan di sekolah. Menurut Effendi (1993) dalam 
Afifah (2003), kebiasaan tidak makan pagi antara lain dapat 
disebabkan karena tidak adanya nafsu makan, terbiasa tidak 
makan pagi dan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk 
melakukannya. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh 
hidangan yang kurang menarik sehingga tidak dapat 
menimbulkan selera makan. 
45  
Kebiasaan makan pagi sangat penting bagi remaja 
karena dapat membantu meningkatkan konsentrasi belajar 
siswi di sekolah, dimana dengan melakukan makan pagi kadar 
gula darah akan meningkat karena lambung terisi kembali 
sesudah  delapan sampai sepuluh jam kosong (Saidin, 1991). 
Manfaat makan/sarapan pagi, yaitu untuk memelihara 
ketahanan tubuh, agar dapat bekerja atau belajar dengan 
baik, membantu memusatkan pikiran untuk belajar dan 
memudahkan penyerapan pelajaran, membantu mencukupi 
zat gizi. Akibat tidak makan pagi, yaitu badan terasa lemah 
karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk tenaga, 
tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan pagi hari 
dengan baik, pada usia anak sekolah tidak dapat berpikir 
dengan baik dan malas, pada orang dewasa berdampak pada 
hasil kerja yang menurun. 
Hasil analisa penelitian Chusniaty (2002) ada  
hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi 
setiap hari dengan kejadian anemia, yang mana remaja putri 
yang tidak mempunyai kebiasaan sarapan pagi setiap hari 
berisiko  3,421 kali menderita anemia dibandingkan 
46  
dengan remaja putri yang mempunyai kebiasaan sarapan pagi 
setiap hari. berdasar  penelitian Permaesih (2005), 
didapatkan hasil bahwa remaja putri yang tidak terbiasa 
sarapan pagi setiap hari berisiko  menderita anemia 1,6 
kali dibandingkan dengan remaja putri yang mempunyai 
kebiasaan sarapan pagi setiap hari. Penelitian Wijiastuti 
(2006) pada remaja putri Tsnawiyah Negeri Cipondoh-
Tangerang juga mendapatkan hubungan yang bermakna 
antara sarapan pagi dengan kejadian anemia, yang mana 
remaja putri yang tidak terbiasa sarapan pagi setiap hari 
berisiko  menderita anemia 4,88 kali dibandingkan 
dengan remaja putri yang mempunyai kebiasaan sarapan pagi 
setiap hari. 
 
2. Perilaku Minum Teh/Kopi 
Kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya bagi 
penduduk dunia. Selain air putih, teh merupakan minuman 
paling banyak yang dikonsumsi manusia. Rata-rata konsumsi 
teh penduduk dunia adalah 120 ml/hari per kapita (Besral dkk, 
2007). Tanin yang merupakan polifenol dan ada  dalam 
teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah menghambat 
47  
absorbsi besi dengan cara mengikatnya. Bila besi tubuh tidak 
terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi waktu 
makan (Almatsier, 2001).  
Menurut Morck, et al (1983) minum teh paling tidak 
sejam sebelum atau sesudah  makan akan mengurangi daya 
serap sel darah terhadap zat besi 64 %. Pengurangan daya 
serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang 
ditimbulkan oleh konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi, 
mengurangi daya serap hanya 39 %. Pada teh, pengurangan 
daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin. Selain 
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, 
antara lain kafein, polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa 
mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama 
yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian, 
sayur-mayur, dan kacang-kacangan (Monks, 1999). Remaja 
putri yang memiliki kebiasaan minum teh/kopi > 1 gelas/hari 
berisiko  2,023 menderita anemia dibandingkan dengan 
remaja putri yang mengkonsumsi teh < 1 gelas/hari 
(Satyaningsih, 2007). 
  
48  
3. Kehilangan Darah 
a. Penyakit infeksi 
Menurut Junadi (1995), pemicu  langsung terjadinya 
anemia adalah penyakit infeksi, yaitu cacingan, TBC, dan 
malaria. Menurut Husaini (1989), anemia gizi dapat 
diperberat oleh investasi cacing tambang. Cacing tambang 
yang menempel pada dinding usus dan menghisap darah. 
Darah penderita sebagian akan hilang karena gigitan dan 
hisapan cacing tambang. Setiap hari 1 ekor cacing dapat 
memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk 
memicu  anemia dierkirakan harus ada 2.000 ekor 
cacing. Selain cacing tambang, cacing gelang secara langsung 
maupun tidak langsung juga dapat menimbulkan kekurangan 
zat besi, karena berkurangnya nafsu makan dan gangguan 
penyerapan karena memendeknya permukaan villi usus. 
berdasar  penelitian Lestari (1996), remaja putri 
dengan investasi cacing berisiko  4,47 kali menjadi 
anemia dibandingkan dengan responden yang tidak 
terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti 
pada remaja putri di Tsnawiyah Negeri Cipondoh-Tangerang   
mendapatkan hubungan yang bermakna antara investasi 
cacing dengan kejadian anemia. Hal yang sama juga 
didapatkan dari hasil penelitian oleh Kaur, et al di pedesaan 
Wardha, India tahun 2006, remaja putri dengan investasi 
cacing berisiko  menderita anemia 4,11 kali 
dibandingkan dengan remaja putri yang tidak memiliki 
investasi cacing. 
b. Menstruasi  
Pengertian menstruasi (haid) adalah perdarahan secara 
periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan (deskuamsi 
endometri). Perdarahan haid terjadi secara ritmis mengikuti 
pola siklus yang normalnya dalam satu siklus berkisar 25-31 
hari . Siklus menstruasi normal 
muncul satu kali dalam sebulan, karena itu dapat dikatakan 
frekuensi atau siklus menstruasi perempuan usia reproduksi 
adalah satu kali sebulan. Bila frekuensi menstruasi lebih dari 
satu kali sebulan sehingga siklus kurang dari 25 hari disebut 
polimenore 
Pola menstruasi dapat diukur berdasarkan jumlah 
darah, frekuensi perdarahan, dan lama menstruasi. menyatakan bahwa sangat sulit mengukur jumlah 
darah menstruasi secara kuantitas. Bahkan seorang 
wanitapun sulit untuk mengukur sendiri ataupun menyadari 
apakah aliran darah menstruasi mereka abnormal. Sebagai 
patokannya, suatu perdarahan disebut tidak normal jika 
perdarahan yang terjadi lebih dari enam hari dan pembalut 
yang dipakai per periode lebih dari 12 potong. Kehilangan 
zat besi di atas rata-rata dapat terjadi pada remaja putri 
dengan pola menstruasi yang lebih banyak dan waktunya 
lebih panjang.  
Menurut Krummel (1996), usia menarche biasanya 
berkisar antara 10,5 – 15,5 tahun dan pergeseran usia 
menarche lebih dini akan memicu  pengeluaran zat 
besi melalui menstruasi menjadi lebih awal. Selain itu Biran 
(1990) menyatakan bahwa pada remaja putri siklus haid 
biasanya akan terbentuk dalam waktu 4-6 tahun sejak usia 
haid pertama dengan lamanya haid pada setiap wanita juga 
bervariasi, biasanya berkisar 3-6 hari namun ada juga hanya 1-
2 hari dan diikuti dengan darah yang keluar sedikit-sedikit 
pada hari berikutnya.    
Masalah gangguan haid (haid abnormal), dan 
perdarahan yang menyerupai haid pada interval siklus haid 
normal menurut Hestiantoro (2008) dikelompokkan menjadi: 
1) Ritme (irama) haid, dimana normalnya adalah 25-31 hari, 
sedangkan yang abnormal seperti: 
a) Haid terlalu sering dengan interval < 21 hari, yang disebut 
polimenorea 
b) Haid terlalu jarang dengan interval > 35 hari, yang disebut 
oligomenore 
c) Tidak terjadi haid, yang disebut amenore 
d) Perdarahan tidak teratur, dimana interval datangnya haid 
tidak tentu 
e) Perdarahan bercak (spotting) yang terjadi prahaid, 
pertengahan siklus dan pasca haid. 
2) Banyaknya darah haid yang keluar, dimana normalnya 
ganti pembalut 2-5 kali/hari, abnormal jika: 
a) Bila darah haid yang keluar terlalu banyak, disebut 
hipermenorea dengan ganti pembalut > 6 kali perhari 
b) Bila darah haid yang keluar terlalu sedikit, disebut 
hipomeorea dengan ganti pembalut < 2 kali perhari   
c) Perdarahan becak (spotting). 
3) Lamanya darah haid yang keluar, dimana normalnya 2-5 
hari, abnormal jika: 
a) Darah haid yang keluar > 6 hari, disebut menoragia 
b) Bila darah haid yang keluar < 2 hari, disebut 
brakimenorea. 
4) Perdarahan bercak (spotting) pra haid, pertengahan 
siklus dan pasca haid. 
Hasil penelitian Amaliah (2002) mendapatkan kejadian 
anemia lebih tinggi (53,8 %) pada remaja putri dengan lama 
haid lebih dari 6 hari dibandingkan dengan yang lama haidnya 
3-6 hari. Satyaningsih (2007) mendapatkan hasil penelitian 
bahwa remaja putri dengan frekuensi haid yang tidak normal 
berisiko  2,6 kali menderita anemia dibandingkan 
dengan remaja putri yang frekuensi haidnya normal. Hasil 
penelitian Gunatmaningsih (2007) menunjukkan ada 
hubungan antara menstruasi dengan kejadaian anemia pada 
remaja putri di SMA Negeri 1 Kecamatan hutan terlarang , 
Kabupatean tanjungbaru  (nilai p= 0,015). Hal ini menunjukkan 
bahwa responden yang sedang mengalami menstruasai   
berisiko 1,842 kali lebih besar untuk mengalami 
kejadian anemia. 
 
4. Sosial Ekonomi 
a. Pengetahuan gizi 
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini 
terjadi sesudah  orang melakukan pengindraan terhadap suatu 
objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan 
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan 
pasien  (overt behavior). Pengalaman penelitian 
menyatakan ternyata perilaku yang didasari oleh 
pengetahuan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari 
oleh pengetahuan , Menurut Lunandi 
(1984), pengetahuan yang didapat oleh pasien  
memicu  pasien  ini  memiliki keterampilan. 
Keterampilan serta material yang tersedia akan mengarahkan 
pasien  pada perubahan perilaku ,
Pengetahuan gizi adalah kemampuan pasien  untuk 
mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta 
kegunaan zat gizi ini  didalam tubuh. Pengetahuan gizi 
ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk   
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar 
struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan 
dapat dikembangkan. Tingkat pengetahuan gizi pasien  
dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh 
pada keadaan gizi individu yang bersangkutan 
Kelompok remaja masih berada pada proses belajar 
sehingga lebih mudah menyerap pengetahuan sebagai bekal 
di masa datang ,Penelitian 
menguatkan teori diatas, bahwa ada  hubungan yang 
signifikan antara pengetahuan dengan kejadian pada remaja 
putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi 
rendah berisiko  2,86 kali menderita anemia 
dibandingkan dengan remja putri yang pengetahuan gizinya 
baik. Pada tahun 2007, Satyaningsih juga mendapatkan 
hubungan bermakna antara pengetahuan dan anemia, nilai 
OR yang didapat yaitu 2,857.   
b. Pendidikan orangtua 
Pendidikan kesehatan berusaha  agar pasien 
menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara   
kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah 
hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan 
orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit 
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan 
dapat mempengaruhi status anemia pasien  sehubungan 
dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat 
pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi 
pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih