h tidak banyak mendapat perhatian.
Dalam praktik sebelum nasionalisasi berjalan penuh,
pelayaran domestik maupun pelayaran internasional di kawasan
Nusantara masih dikendalikan perusahaan Belanda, khususnya
N.V. Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang secara tidak
langsung mendapatkan monopoli atas pelayaran di wilayah
Hindia Belanda. Meski demikian, perdagangan hasil bumi di
dalam negeri dan ke luar negeri tetap berjalan walau dengan
volume yang terbatas, terutama perdagangan rempah (lada,
cengkeh, pala) yang melalui pelabuhan tradisional seperti Tuban,
Palembang, dan Makassar. Pada Desember 1954, Pemerintah negara kita mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1954 tentang nasionalisasi
perusahaan pelayaran dalam pelabuhan (angkutan bandar) dan
perusahaan bongkar muat (veem) asing di pelabuhan seluruh
negara kita . Dengan PP ini , usaha bidang Perusahaan Muatan
Kapal Laut (PMKL) hanya boleh dimiliki perusahaan nasional
negara kita , baik swasta maupun negeri, termasuki KPM.
Ada tonggak yang penting masa ini yaitu nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank negara kita pada 15 Desember 1951
lewat UU No. 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi. Sebagai akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
negara kita menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
pemerintah).
Kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah, termasuk
nasionalisasi perusahaan asing pada masa itu belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi negara kita . Saat itu, pemerintah
lebih dominan menangani urusan politik.
Dalam studinya, Arjuna Wiwaha (2013) dan Sentral Informasi
Desa Kita (2008) menguraikan panjang lebar tentang sejarah
ekonomi negara kita pasca-kemerdekaan sampai Orde Reformasi.
Pada masa awal kemerdekaan keadaan ekonomi keuangan
negara kita amat buruk.
Pemerintah kemudian mengadakan Konferensi Ekonomi
pada Februari 1946 untuk memperoleh kesepakatan dalam
menanggulangi masalah ekonomi yang mendesak, di antaranya
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang,
serta yang penting yaitu status dan administrasi perkebunanperkebunan.
Hal itu menjadi awal pemikiran penguasaan aset-aset
perkebunan/pertanian untuk kepentingan nasional, termasuk
rempah. Karena Kasimo Plan yang dicanangkan saat itu fokus mengenai usaha swasembada pangan (dan ini memang paling
penting), sehingga urusan rempah belum mendapat porsi
perhatian yang tinggi sebagaimana masa penjajahan dulu.
sesudah perang kemerdekaan, daya saing produk rempah
Nusantara merosot tajam. Kebanyakan petani menempatkan
pekerjaannya sebagai pekerjaan sambilan, hanya beberapa
komoditas rempah yang merupakan mata pencaharian utama.
Jadi, wajar saja kalau salah satu Menteri Pertanian negara kita
mengatakan bahwa daya saing rempah memang sangat rendah.
Menyadari kelemahan dan potensinya sebagai produsen,
negara kita dan beberapa negara penghasil rempah terutama lada,
pada tahun 1971 mendirikan Masyarakat Lada Internasional
(International Pepper Community/IPC) di Bangkok. Organisasi itu
beranggotakan Thailand (1971-1979), Brasil (sejak 1981), India
(sejak 1972), negara kita (sejak 1972), Malaysia (sejak 1972), Sri
Lanka (sejak 2002), dan Vietnam (sejak 2005).
Karena lobi negara kita yang kuat, pada tahun 1979 kantor pusat
IPC dipindahkan ke Jakarta. Lebih dari itu, pada tahun 1999, IPC
yang sebelumnya hanya fokus pada lada dalam perkembangan
selanjutnya juga mencakup rempah secara umum.
Pada masa Presiden Soeharto, kebijakan ekonominya
diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tetapi sangat
fokus pada urusan pangan. Hasilnya, pada tahun 1984 negara kita
berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan,
perbaikan indikator kesejahteraan rakyat, seperti angka partisipasi
pendidikan, penurunan angka kematian bayi, serta industrialisasi
yang meningkat pesat.
Karena fokus kepada swasembada pangan (beras) pada era
revolusi hijau, memicu berkurangnya perhatian terhadap
komoditas rempah. Usaha membangkitkan kembali kejayaan
rempah tidak hanya pernah dicoba dilakukan melalui program
pembangunan pertanian, tetapi juga pernah melalui filateli dan
numismatik. Pada tahun 1980, pemerintah pernah menerbitkan perangko
bergambar kapal layar dan cengkeh untuk memperingati kegiatan
menyusuri rute perjalanan Jakarta-Amsterdam yang dilaksanakan
12 Maret 1980 dengan nilai nominal perangko Rp60,00. Selain
melalui perangko, memperkenalkan rempah juga dilakukan
melalui desain uang. Pada tahun 1992 hingga 1998, pernah
beredar uang kertas bergambar cengkeh dengan pecahan nominal
Rp20.000,00.
Perkembangan rempah pernah sangat terpuruk ketika
pemerintah membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran
Cengkeh (BPPC) pada akhir 1990-an. Pada era Orde Baru dikenal
dengan ekonomi monopoli yang dikendalikan lembaga negara.
Tapi, ironisnya justru dikendalikan perorangan yang lekat dengan
penguasa. Tujuan dan target pembentukan BPPC dalam proposal
tidak sesuai dengan implementasinya.
Sebelum BPPC berdiri, petani cengkeh bebas menjual langsung
kepada pedagang melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Akhir 1990-
an, BPPC didirikan melalui Inpres sebagai lembaga perantara
yang memasarkan cengkeh produksi petani ke industri pengguna
cengkeh.
Sebelum BPPC berdiri, berdiri PT Kembang Cengkeh Nasional
(KCN). KCN kemudian menjadi satu dari tiga lembaga yang
mendirikan BPPC. Dua lainnya yaitu KUD (Inkud) dan sebuah
BUMN. Peraturan menteri membuat BPPC memiliki hak eksklusif
membeli cengkeh dari petani, sementara perusahaan rokok
(pengguna utama cengkeh) hanya boleh membeli cengkeh dari
BPPC.
Keuntungan dari pembelian dan penjualan itu, berdasar
Inpres Tahun 1992 menjadi Dana Penyertaan Modal (DPM) dan
Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP). Dana itu dikelola BPPC,
namun harus dibayarkan kembali pada petani. Faktanya dana
ini tak pernah dibayarkan. Akhirnya justru pemerintah yang
memberi kompensasi pada petani. Ironisnya, meski menjalankan praktik monopoli, BPPC
mengalami kesulitan keuangan. Bahkan sebelum bubar tahun
1998, BPPC sempat menerima pinjaman dari Bank negara kita 325
juta dolar AS. Namun, pinjaman ini tak terbayarkan sampai
saat BPPC bubar tahun 1998.
Pembangunan pertanian subsektor rempah pernah dilakukan
juga cukup intensif pada periode 1978-2005, ketika dibangun
Proyek Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor
(PRPTE-Perkebunan) dan Program Pengendalian Hama Terpadu
Perkebunan. Pada masa ini muncul permasalahan teknis,
terutama serangan layu pembuluh cengkeh di hampir seluruh
wilayah cengkeh negara kita . Bahkan pada awal periode ini ,
biaya riset dan pengembangan pengalokasiannya dikaitkan
dengan sistem pungutan ekspor (CESS). Pada masa ini ,
data perdagangan ekspor rempah seperti cengkeh, lada, pala,
vanili, kemiri, dan kayu manis cukup mendukung perencanaan
pembangunan rempah.
Pada masa reformasi, dimulai dengan pemerintahan Presiden
BJ Habibie, belum melakukan manuver-manuver yang cukup
tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan masa reformasi masih
mengutamakan urusan politik yang memang penting pada
masanya. Begitu juga masa Presiden Abdurrahman Wahid, juga
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan ekonomi.
Sampai pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, masalah yang mendesak untuk dipecahkan yaitu
pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan yang
ditempuhnya yaitu mengatasi persoalan ekonomi secara makro.
sedang masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kebijakan
yang ditempuh masih fokus pada ekonomi makro, terutama
kebijakan meningkatkan pendapatan per kapita, mendorong
pertumbuhan ekonomi, serta mengundang investor asing dengan
janji memperbaiki iklim investasi. Ekonomi makro terhadap substansi komoditas tertentu
seperti rempah masih belum ada program yang dibuat secara
khusus. Mungkin hal ini beralasan karena saat itu utang negara,
terutama yang terberat pada Dana Moneter Internasional (IMF)
menjadi momok ekonomi nasional. Karena itu, pada Oktober 2006
negara kita melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar
dolar AS dengan harapan negara kita tak lagi mengikuti agenda
IMF dalam kebijakan dalam negeri.
Pembentukan Masyarakat Rempah negara kita (MRI) pada
tahun 1999 yang diaspirasikan berbagai pihak yang berkepentingan
terhadap rempah, sejatinya menunjukkan besarnya keprihatinan
masyarakat terhadap kurangnya perhatian pemerintah terhadap
perkembangan rempah Nusantara. Padahal ketika tahun 1998
terjadi krisis ekonomi, komoditas perkebunan termasuk rempah
merupakan penyelamat ekonomi karena nilainya yang tinggi dan
menjadi penghasil devisa dan cukai yang besar.
Sayangnya, keberpihakan terhadap pembangunan pertanian
ternyata masih tetap tidak melirik pada rempah. Bahkan
keprihatinan terhadap perhatian pemerintah terhadap rempah
berlanjut dengan berdirinya Dewan Rempah negara kita (DRI) pada
tahun 2007 yang bertujuan mendorong pengembangan agribisnis
rempah negara kita . Hingga era 2005-2013, usaha masyarakat untuk
menarik perhatian pemerintah juga belum menunjukkan hasil
yang berarti.
Pada era Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014-2019, pemerintah
mulai menyadari potensi rempah bagi perekonomian dan
budaya modern dengan mencanangkan kebangkitan kembali
kejayaan rempah Nusantara melalui berbagai program. Banyak
pihak menyadari tentang kelemahan dalam daya saing rempah
Nusantara. Misalnya, terkait keterbatasan data, tidak konsistennya
kualitas, dan kurangnya nilai tambah yang dicerminkan dari
kurangnya diversifikasi produk.Perhatian pemerintah terhadap pengembangan tanaman
rempah sesudah reformasi ditunjukkan dengan adanya Sub
Direktorat Tanaman Rempah pada Direktorat Tanaman Tahunan
pada Direktur Jenderal Perkebunan. Lalu berkembang pada
tahun 2016 menjadi lebih konkret dengan dibentuknya Direktorat
Tanaman Rempah dan Penyegar. Namun, pembentukan struktural
organisasi di Ditjen Perkebunan terkait rempah sebenarnya belum
cukup mendorong kebangkitan rempah. Sebab, program yang
disusun masih kurang memberi prioritas bagi pengembangan
rempah.
Pemerintahan Jokowi-JK juga mencanangkan tahun 2018
sebagai Tahun Perbenihan Perkebunan, termasuk pengembangan
perbenihan rempah (lada, cengkeh, kayu manis, vanili, pala, dan
jahe). Program ini mengutamakan pengembangan varietas unggul
yang terstandar dan bersertifikat untuk mendukung usaha tani
rempah di wilayah-wilayah pengembangan.
Pencanangan Kebangkitan Kembali Rempah negara kita harus
menjadi momentum penting bagi semua sektor untuk memberi
perhatian khusus dengan program yang dapat mendukung
pengembangan rempah secara aktif dan kreatif. Namun,
dengan target yang jelas, baik dari sisi riset dan pengembangan,
peningkatan produksi dan kualitas, pengembangan industri dan
perdagangan, pemasaran dan promosi ke pasar internasional,
serta promosi wisata terkait wilayah produsen rempah dan wisata
ilmiah terkait rempah Nusantara.
Pemikiran Kebijakan Pengembangan Rempah Masa
Depan
Untuk sekadar upaya membangun imajinasi, andaikan kita
kembali ke abad ke-16, yaitu tahun 1500-an, tepatnya 1511 ketika
Malaka jatuh ke tangan Portugis. Tahun 1511 ini sangat penting
bagi bangsa Asia, khususnya Asia Tenggara, mengingat kejatuhan
Malaka ke tangan Portugis berarti telah terjadinya perubahan konstelasi perdagangan secara total. Perdagangan di kawasan
Asia Tenggara dengan simpul utama Malaka menjadi terganggu
dengan perubahan sistem perdagangan yang diterapkan penguasa
baru, yaitu Portugis.
Kehadiran Portugis di Malaka telah mengundang kemarahan
Kerajaan Demak di Jawa. Kesadaran ini tentu sebagai
reaksi terhadap perubahan kekuasaan yang terjadi di Malaka
dan memicu terganggunya konstelasi perdagangan dan
kehidupan ekonomi di wilayah Nusantara.
Sejarah menunjukkan bahwa Demak memutuskan menyerang
Portugis pada 1513, sesudah dua tahun Portugis menduduki
Malaka. Meski pasukan yang berangkat cukup besar, Dipati Unus
gagal mengusir Portugis. Sejarah mencatat juga bahwa sesudah
Dipati Unus gagal mengusir Portugis dari Malaka, sejak itu tidak
terjadi lagi upaya mengusir Portugis oleh raja-raja di Nusantara.
Belanda (VOC) memilih Batavia sebagai pusatnya dengan dua
alasan utama. Pertama, Batavia berada di antara dua kerajaan
yang selalu bersaing, yaitu Mataram di sebelah timur dan Banten
di sebelah barat. Kedua, letak Batavia sangat strategis untuk
menjangkau Malaka yang pada saat itu berada dalam kekuasaan
Portugis.
Alasan strategis pertama yaitu konflik kedua kerajaan
ini merupakan keuntungan bagi VOC. Alasan kedua
merupakan strategi jangka panjang VOC di Asia. Untuk alasan
kedua, Belanda berhasil mengalahkan Portugis dan mengambil
alih Malaka pada tahun 1641. sedang untuk alasan pertama,
seperti yang terjadi dengan Dipati Unus yang gagal mengusir
Portugis dari Malaka. Begitu juga, Sultan Agung Raja Mataram
yang juga gagal mengusir Belanda dari Batavia pada tahun 1628
dan 1629. Belanda menduduki Batavia mulai tahun 1610. Jadi, ada
jeda 18 tahun antara pendudukan Batavia dengan penyerangan
Mataram. Gambaran di atas menunjukkan bahwa kebijakan dan strategi
merupakan kunci sukses dari suatu keinginan untuk mencapai
nilai yang besar. Strategi Belanda jauh lebih unggul dari strategi
yang dibangun Portugis. sedang raja-raja di Nusantara
menjadi pihak yang akhirnya dikalahkan Belanda dan dijajah.
Baru kemudian perubahan besar terjadi sesudah Perang Dunia
II dan negara yang sebelumnya dijajah memerdekakan dirinya,
baik melalui perjuangan kemerdekaan maupun pemberian
kemerdekaan.
Permasalahannya yaitu bahwa sejarah masa lalu menunjukkan
bahwa strategi yang dibangun bangsa-bangsa di dunia bukanlah
mencari solusi saling menguntungkan atau win-win solution,
melainkan ingin menjadi pemenang dan pihak lain menjadi yang
dikalahkan. Dengan demikian, kekuatan menjadi pemukul utama,
bukan lagi negosiasi mencari solusi saling menguntungkan.
Hal ini perlu dicamkan mengingat proyeksi pertumbuhan
ekonomi dunia hingga 2050 sudah banyak dibuat pakar ekonomi
yang memprediksi negara kita akan menjadi negara dengan skala
ekonomi menduduki urutan keempat dunia. Apakah skala
ekonomi itu menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat negara kita ataukah skala ekonomi yang besar ini
sebagian besar dimiliki pihak lain sebagaimana yang terjadi
pada rempah di era penjajahan masa lalu? Peran negara sangat
menentukan terhadap jawaban atas pertanyaan ini .
Pembangunan dewasa ini lebih didominasi pemikiran
agregasi wilayah atau regionalisasi. Jadi, seolah-olah negara kita ini
merupakan satu kontinen daratan sehingga keunikan-keunikan
wilayah menjadi tidak tampak. Model agregasi wilayah seperti
itu menimbulkan bias yang sangat berbahaya bagi suatu negara
berlandaskan sistem kepulauan. Suatu pulau pada dasarnya
merupakan suatu unit wilayah yang berdiri sendiri. Ciri
utamanya jika dibandingkan dengan kontinen yaitu suatu pulau
menyimpan stok air tawar lebih kecil daripada benua. Ciri utama untuk mengetahui hal ini sangatlah mudah,
di antaranya jarak antara puncak gunung dengan pantai pada
sebuah pulau relatif sangat dekat dibandingkan dengan benua.
Selanjutnya, sungai-sungai dalam suatu pulau selain sempit juga
jaraknya pendek.
Sebagai ilustrasi, panjang Sungai Mississippi di Amerika
Serikat mencapai 3.734 km, bandingkan dengan sungai Ciliwung
yang panjangnya hanya 97 km. Artinya, apabila sekarang hujan
di hulu Sungai Ciliwung maka dalam 8-10 jam air hujan ini
sudah akan sampai di Jakarta. Sebaliknya, hujan yang jatuh di
hulu Sungai Mississippi baru akan sampai di Pantai Teluk Mexico
sesudah menempuh perjalanan sekitar 90 hari. Kenyataan ini
sudah cukup untuk melihat pulau-pulau yang menjadi zamrud
khatulistiwa ini dilihat secara unik mengingat stok dan aliran air
tawar menjadi pembatas utama dalam mendukung kehidupan.
Kepulauan juga memiliki sejarah evolusi tersendiri yang
menciptakan kapasitas pendukung kehidupan yang berbeda antara
pulau satu dengan pulau lainnya. Pulau Jawa misalnya, merupakan
pulau yang tanahnya sangat subur mengingat banyaknya gunung
api di pulau ini. Walaupun Pulau Jawa hanya terdiri atas kurang
dari 7% (128.297 km2
) dari total wilayah negara kita , namun hingga
sekarang Pulau Jawa masih memproduksi lebih dari 50% pangan
nasional. Dengan luas seperti itu, Pulau Jawa juga menanggung
sekitar 60% dari populasi negara kita (266 juta jiwa) atau di Jawa
bermukim 175 juta lebih penduduk. Pola distribusi penduduk
semacam itu membuat negara kita secara spasial menghadapi
permasalahan yaitu ketidakseimbangan antara kapasitas
memberi kehidupan yang layak (regional carrying capacity).
berdasar sifat intrinsik pulau sebagaimana telah diuraikan,
pengembangan suatu pulau lebih menghadapi banyak kendala,
khususnya kendala ekologis. Jarak yang dekat antara puncak
gunung dengan pantai mengisyaratkan bahwa daerah aliran
sungai bagian hulu perlu mendapatkan proporsi yang lebih besaruntuk menjadi daerah konservasi tanah dan air agar sistem tata air
dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat terjaga sehingga suplai
air memenuhi syarat berkelanjutan.
Tujuan dari kebijakan mengembalikan kejayaan rempah
Nusantara secara garis besar yaitu terjadinya perubahan besar
dalam kinerja sosial ekonomi rempah, sehingga komoditas
ini menjadi tulang punggung perekonomian rakyat sesuai
potensi wilayah dan karakteristik intrinsik masing-masing
pulau. Dengan menggunakan sumber daya air dan topografi
suatu pulau, pengembangan rempah menurut keunikan setiap
pulau dikembangkan di negara kita dengan garis kebijakan di atas
dibangun.
Pengembangan ini mencakup:
1. Pemetaan pulau-pulau secara lengkap untuk mendapatkan
sistem informasi geografis yang memadai bagi keperluan
menyusun rancang bangun, perencanaan, dan pengelolaan.
2. Pemetaan kesesuaian lahan untuk pengembangan jenis rempah
tertentu pada pulau-pulau yang dibicarakan.
3. Pengembangan rempah berbasis riset dan teknologi dengan
penyusunan program dan implementasinya dari aspek hulu
hingga hilir yang mengutamakan daya saing, nilai tambah,
serta peningkatan produksi dan produktivitas sehingga
mampu menyejahterakan petani dan pembangunan wilayah
rempah.
4. Penyusunan rancang bangun dan perencanaan serta
pembiayaan pengembangan rempah.
5. Branding pulau-pulau sesuai dengan visi: Health, Peace, and
Happiness.
6. Penyusunan peraturan perundangan dan menetapkan
kebijakan khusus.
7. Membangun sistem kerja sama sinergi pusat, provinsi, dan
daerah.
8. Mendirikan organisasi implementasi dari kebijakan yang telah
disusun.Strategi Pengembangan Rempah
Untuk mewujudkan kebijakan di atas, diperlukan strategi
pengembangan yang sifatnya operasional, mencakup:
1. Pendirian tim persiapan upaya membangkitkan kejayaan
rempah Nusantara. Tim ini secara khusus mengonsentrasikan
diri dalam menyusun seluruh persiapan yang diperlukan,
khususnya penyusunan peraturan perundangan, organisasi,
dan lengkap dengan dukungan pembiayaannya.
2. Pembentukan Badan Koordinasi Pengembangan Rempah
Nasional. Badan ini merupakan lembaga yang mengoordinasikan berbagai hal, mulai dari penyusunan rancang bangun,
perencanaan, R&D, hingga branding pengembangan rempah
nasional.
3. Mengundang dunia usaha baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri untuk berinvestasi dalam ragam aktivitas
pengembangan rempah di unit-unit pengembangan rempah
sesuai dengan rancang bangun dan perencanaan yang telah
ditetapkan.
Rancang Bangun dan Branding Pulau Rempah Nusantara
Rancang bangun (design) merupakan infrastruktur halus yang
menggambarkan penataan pemanfaatan suatu ruang (spasial,
region) dan waktu untuk suatu rangkaian pemanfaatan dalam
jangka tertentu. Dengan rancang bangun ini, perilaku para
partisipan di dalamnya dikondisikan dengan rancang bangun
ini . Jangka waktu tertentu ini bisa dalam periode tertentu,
misalnya 50 tahun, atau juga dalam jangka waktu tak terbatas.
Data sejarah rempah menunjukkan bahwa secara alami mother
nature telah menciptakan rancang bangun lokasi dan penyebaran
rempah di dunia. Kepulauan Maluku mendapatkan keunikan
alamiah sebagai tempat satu-satunya di muka bumi ini sebagai penghasil cengkeh dan pala. Rancang bangun alami ini telah
membuat pola perilaku masyarakat dunia melihat Maluku sebagai
satu-satunya sumber rempah di dunia.
Artinya, rancang bangun alami ini telah menciptakan
monopoli spasial terhadap rempah dunia, yaitu cengkeh dan
pala. Permintaan rempah terdapat di seluruh dunia, terutama di
negara besar yang berada di belahan bumi Eropa, Timur Tengah,
dan China. Permintaan dunia yang sangat besar ini tidak
sebanding dengan produksi rempah yang dihasilkan secara unik
di Kepulauan Maluku. Akibatnya, harga rempah di pasar dunia
ketika itu sangat tinggi sehingga mengalahkan pengorbanan
akibat risiko perjalanan dan pengangkutan serta risiko lainnya.
Rancang bangun sosial untuk mendapatkan kekayaan pada
waktu ini yaitu dengan cara menjajah atau memonopoli
sumber kesejahteraan. Akibat berlakunya rancang bangun sosial
ini yang terjadi yaitu kebocoran ekonomi wilayah penghasil
rempah. Bukti nyatanya yaitu Pulau Run dan Kepulauan Maluku
saat ini kondisi sosial ekonominya jauh tertinggal dari keadaan di
Manhatan, New York. Padahal pada tahun 1667 ketika Perjanjian
Breda dibuat antara Inggris dan Belanda, kondisi Pulau Run dan
Manhattan tidak terlalu jauh berbeda.
Rancang bangun fisik dan sosial ekonomi dari suatu wilayah
merupakan kedua hal yang tak terpisahkan. Mengingat negara kita
merupakan negara kepulauan dalam lingkungan benua maritim,
maka unit terkecil dalam rancang bangun pengembangan rempah
yaitu suatu pulau.
Sebagai ilustrasi, Pulau Bali merupakan unit Rancang Bangun
Pariwisata Nasional. Dalam penataan pariwisata ini, model
Rancang Bangun Pariwisata Bali tunduk pada aturan adat istiadat
yang tidak membolehkan tinggi bangunan melebihi tinggi pohon
kelapa. Jadi, Rancang Bangun Pariwisata di Bali ini merupakan
resultante dari segala aspek kehidupan di Pulau Dewata ini dengan tujuan agar kesejahteraan dan kehidupan ekonomi di Bali
berbasis pariwisata hidup secara berkelanjutan.
Dengan menggunakan Rancang Bangun Pariwisata Pulau Bali
sebagai ide untuk membangun Rancang Bangun Pulau Rempah.
Rancang bangun seperti apa yang kiranya perlu dibuat? Dari
uraian pada Bab IV dan Bab V dapat diketahui bahwa sifat alamiah
rempah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan sifat alamiah
komoditas pangan seperti padi atau ubi kayu.
Elemen psikologis seperti rasa sensasi atau elemen kesehatan
seperti bahan baku obat. Elemen industri pangan seperti
pengawet atau cita rasa. Elemen sosial seperti kelas sosial. Dengan
banyaknya elemen ini maka Rancang Bangun Pulau Rempah
memerlukan penanganan yang lebih kompleks.
Namun demikian, penciri utama dalam rancang bangun
ini harus sama dengan rancang bangun seperti pada
zaman dahulu, yaitu pulau rempah menjadi tujuan dunia untuk
berkunjung dan menikmatinya. Artinya, rancang bangun yang
dibuat menghasilkan koefisien gravitasi spasial yang sangat besar
dari pulau rempah yang dimaksud.
Data pada Tabel 31 menunjukkan bahwa sektor pariwisata
perannya dalam penerimaan devisa negara meningkat dari posisi
urutan kelima pada tahun 2011 menjadi urutan keempat pada
tahun 2013-2015. Sektor pariwisata itu sendiri tidak berdiri sendiri,
melainkan merupakan persenyawaan dari banyak kegiatan
ekonomi seperti hotel dan restoran, transportasi, olahraga,
pemandangan alam yang indah, hiburan, dan kegiatan-kegiatan
ekonomi lainnya.
Dalam perkembangannya, di sektor pariwisata juga bisa
terdapat spesialisasi seperti wisata religi, wisata ilmu pengetahuan,
wisata pengobatan dan kesehatan, dan bentuk wisata lainnya.
Rancang Bangun Pengembangan Pulau Rempah (RBPPR) dapat
dikembangkan sebagai bagian terpadu dari pengembangan pulau tertentu yang berfungsi sebagai penarik, penghela, bahkan
kalau memungkinkan sebagai pendorong perkembangan sumber
pertumbuhan baru dari suatu pulau. Dengan kekayaan 17.000
pulau atau lebih, RBPP bagi pulau-pulau yang sesuai bagi
perkebunan rempah dan industri atau jasa turunannya perlu
dipersiapkan untuk menjadi infrastruktur halus dalam upaya
mengembalikan kejayaan rempah negara kita . Perencanaan Pengembangan
Dengan dasar rancang bangun ini , perencanaan pengembangannya disusun dan menjadi pedoman dalam jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang. Apabila rancang bangun
itu sebagai infrastruktur yang mengondisikan perilaku para
partisipan, maka perencanaan pengembangan dimaksudkan sebagai intervensi sistem terhadap perilaku itu sendiri. Yakni,
melalui penerapan target atau sasaran, alokasi anggaran, dan
sumber daya manusia, serta perencanaan dalam pengembangan
kelembagaan secara keseluruhan.
Dengan demikian, perencanaan pengembangan dan
rancang bangun merupakan dua hal yang saling mengisi dalam
pengembangan pulau rempah di negara kita . Sebagai ilustrasi,
pada bagian terdahulu dikatakan, penghentian impor cengkeh
senilai Rp1,5 triliun akan menciptakan kesempatan kerja baru
pada sektor cengkeh itu sendiri sebanyak 202 ribu orang dan
secara total sebesar 204 ribu orang.
Artinya, penghentian impor cengkeh dalam menciptakan
lapangan pekerjaan di perdesaan yang dewasa ini merupakan hal
yang sangat strategis. Dengan kata lain, dalam penanganan sektor
cengkeh apabila impor senilai Rp1,5 triliun itu dibiarkan berlanjut,
maknanya yaitu tanpa perencanaan yang tepat terhadap sektor
ini telah memicu potensi pengangguran sekitar 202 ribu
orang di wilayah perdesaan.
Perencanaan pengembangan merupakan intervensi negara
seperti halnya dengan target mengurangi impor cengkeh.
Target ini dijabarkan dalam perencanaan pengembangan suatu
pulau dengan beragam kegiatan secara rinci. Faktor risiko
diperhitungkan dan pengelolaannya menjadi bagian integral
dari perencanaan ini . Dengan demikian, pemaduan RBPPR
dengan perencanaannya menjadi unit-unit pengembangan
yang sifatnya unik. Integrasi keseluruhan dari unit-unit ini
menjadi satu sistem kesatuan pengembangan rempah Nusantara.
Branding
Unit pengembangan rempah sebagaimana diuraikan di atas
tidak akan memberi pengaruh yang berarti tanpa upaya
memasarkannya dengan baik. Pada era digital ini, persaingan antarunit ekonomi begitu tergantung pada kesuksesan pemasaran.
Dengan demikian, strategi pemasaran unit pengembangan
pulau rempah ini menjadi bagian integral dalam upaya
mengembalikan kejayaan rempah Nusantara.
Salah satu aspek pemasaran yang sangat penting dan menjadi
bagian dari buku ini yaitu branding. Menurut Kotler dan
Keller, branding yaitu “Broadly, a product is anything that can be
offered to a market to satisfy a want or need, including physical goods,
services, experiences, events, persons, places, properties, organizations,
information, and ideas” (Kotler & Keller, 2015).
Lebih jelas lagi Kotler dan Keller menguraikan bahwa
“Branding is the process of giving a meaning to specific products by
creating and shaping a brand in consumers’ minds. It is a strategy
designed by companies to help people to quickly identify their products
and organization, and give them a reason to choose their products over
the competition’s, by clarifying what this particular brand is and is not.”
(Kotler dan Keller, 2015).
Sebagai ilustrasi betapa pentingnya branding ini dapat diambil
pelajaran dari sektor ekonomi terpenting negara kita , yaitu
pariwisata. Pada Tabel 31 dapat dilihat bahwa penghasil devisa
terbesar kelima untuk negara kita yaitu pariwisata. Namun
demikian, jika sektor ini disandingkan dengan negara lain tampak
dari 188 negara yang dirangkum dalam Index Mundi, maka posisi
pariwisata negara kita hanya menempati ranking ke-29.
Posisi negara kita ini berada di bawah Singapura, Korea Selatan,
dan bahkan berada di bawah Malaysia dan Thailand. Misalnya,
Thailand dan Malaysia masing-masing mendapatkan devisa
dari pariwisata sebesar 32,6 juta dolar AS dan 25,7 juta dolar AS,
sedang negara kita hanya 10,4 juta dolar AS.
Jadi, devisa dua negara tetangga ini dari pariwisata
masing-masing 3,13 dan 2,47 kali lebih besar dari negara kita . Padahal luas dan potensi pariwisata negara kita jauh melebihi
kedua negara ini . Permasalahan utama yang dihadapi yaitu
lemahnya branding sehingga negara kita tak memiliki “identitas”,
akibatnya tidak dikenal dalam dunia konsumen.
Rempah sebagai komoditas yang telah menjadikan sejarah
panjang dunia sejak ribuan tahun yang lalu tentunya sudah
dengan sendirinya menjadi branding bagi negara kita . Misalnya,
Maluku identik dengan makna spices island. Dengan demikian,
negara kita yaitu negara tujuan utama mendapatkan rempah.
Branding ini sudah menjadi cap bagi negara kita pada masa
lalu. Pertanyaannya yaitu branding seperti apa yang perlu
dikembangkan sekarang agar rempah menjadi cap baru bagi
negara kita mendatang?
Pilihan bagi branding rempah dalam buku ini yaitu rempah
memberi “Health, Peace, and Happiness”. Alasannya, health atau
aspek kesehatan merupakan kontribusi materi dari zat-zat kimia
yang dikandung rempah. Peace berarti kedamaian merupakan
upaya anti-histori bahwa rempah yang dulu menjadi sumber
peperangan dan kolonialisme. Happiness atau kebahagiaan yaitu
bagian penting dalam tujuan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, pulau rempah di negara kita yaitu
menjadi tujuan untuk mendapatkan kesehatan, kedamaian,
dan kebahagiaan hidup. Pendapatan, kesempatan kerja, dan
lingkungan hidup yang lebih baik merupakan derivasi dari visi
branding di atas.Pengembangan Pulau Rempah
Pada awal tahun 2018, harga cengkeh kering bervariasi dari
paling rendah Rp230 ribu di Lampung hingga harga paling tinggi
di Kalimantan Rp290 ribu/kg. sedang harga cengkeh basah
bervariasi dari Rp100 ribu/kg di Kalimantan dan paling tinggi
Rp130 ribu/kg di Bali dan Lombok (Sumber: http://www.hargarempah.
com/2016/08/harga-cengkeh-basah-dan-cengkeh-kering.html).
Andaikan harga cengkeh kering Rp100 ribu/kg maka dengan
produktivitas 8 kg cengkeh kering/pohon dan petani memiliki 100
pohon, pendapatannya sebanyak Rp80 juta/tahun. Pendapatan ini
setara dengan pendapatan padi sebanyak sekitar 16 kalinya.
Hal ini menunjukkan tanaman rempah seperti cengkeh dapat
menjadi instrumen pertumbuhan, sekaligus pemerataan ekonomi
masyarakat, khususnya yang bermukim pada ekosistem lahan
kering. Dengan demikian, Rancang Bangun Pengembangan
Pulau Rempah secara integral memasukkan aspek pemerataan
pembangunan ini.
Untuk itu, wilayah, kepulauan, dan pulau-pulau penghasil
rempah utama seperti Maluku Utara, Banda, Bangka, dan
Lampung kebijakan pembangunan wilayahnya harus diarahkan
dengan memberi prioritas pada sektor tertentu, yakni
pertanian, perdagangan, industri, pariwisata, pendidikan, dan
infrastruktur/pekerjaan umum. Sektor itu harus mengutamakan
program dan implementasinya dalam membangkitkan kembali
kejayaan rempah wilayah ini .
Di bidang pertanian, program pengembangan rempah
sebaiknya diarahkan pada aspek hulu hingga hilir dengan
fokus utama pada peningkatan produktivitas, daya saing, dan
nilai tambah. Di bidang perdagangan, program pengembangan
informasi pasar domestik dan global, serta memberi layanan
perdagangan lintas pulau dan lintas negara. sedang di bidang pariwisata, perlu pengembangan
promosi tujuan wisata wilayah penghasil rempah dengan
menampilkan produk dan profil perkebunan rempah di brosur
wisata, papan iklan di bandara, terminal, pelabuhan laut, dan
lain-lain. Sementara di bidang pendidikan dapat ditampilkan
kurikulum ilmu pengetahuan spesifik rempah andalan wilayah
setempat agar generasi berikutnya mengenali potensi wilayah.
Di bidang pariwisata, perlu pengembangan promosi tujuan
wisata wilayah penghasil rempah dengan menampilkan
produk dan profil perkebunan rempah di brosur wisata, papan
iklan di bandara, terminal, pelabuhan laut, dan lain-lain.
Belajar dari sejarah panjang perjalanan rempah dunia dapat
ditarik pelajaran bahwa dalam lingkup kompetisi global,
tepatnya pilihan kebijakan dan strategi untuk mengembalikan
kejayaan rempah Nusantara, merupakan kunci mencapai
keinginan ini . Kekuatan politik ekonomi yang dipilih dan
dijalankan negara akan menentukan pilihan yang berkembang
mulai dalam lingkup pemikiran hingga penerapan kebijakan
ini di lapangan.
Belanda misalnya, mengambil pilihan kebijakan untuk
mengambil keuntungan rempah dengan mendirikan
perusahaan VOC sebagai instrumennya. Strategi yang
dibangun yaitu melihat Asia secara keseluruhan wilayah
perdagangan. Kemudian Batavia dipilih sebagai pusat kendali
dengan kriteria bahwa Jacatra yaitu lokasi yang sangat
strategis untuk kebijakan jangka panjang VOC.
Untuk itu, negara kita perlu mengembangkan kebijakan dan
strategi yang tepat pula dalam mengambil potensi nilai ekonomi dan kesejahteraan yang dapat diciptakan rempah hingga
tahun 2050. Mendasari kebijakan dan strategi pengembangan
rempah berdasar keunikan dari masing-masing pulau.
Kemudian menyatukannya dalam sistem rancang bangun dan
perencanaan serta pengelolaannya secara nasional diharapkan
akan mampu memiliki kekuatan strategis dalam menghadapi
persaingan global yang makin intensif.Buku ini membahas secara komprehensif dan mendalam
tentang berbagai dimensi dari komoditas rempah
Nusantara. Rempah khususnya di Maluku pada masa
lampau pernah mencapai puncak kejayaan sehingga mengundang
kehadiran saudagar bangsa Arab, Timur Tengah, dan Eropa
untuk menguasai, bahkan memonopoli rempah langsung dari
sumbernya. Eksistensi dan peran rempah bukan hanya telah
mendorong perdagangan global, tetapi juga memotivasi terjadinya
penjajahan bangsa-bangsa Asia (termasuk negara kita ), Afrika, dan
Australia oleh bangsa-bangsa Eropa.
Rebranding Produk untuk Kesejahteraan Petani
Bila negara kita ingin mengembalikan kejayaan rempah Nusantara
di masa datang, maka kenyataan pahit tentang sejarah rempah
perlu menjadi landasan kuat untuk membangun strategi dan
kebijakan pengembangan rempah mendatang. Ada dua aspek penting yang perlu dicermati dalam merumuskan kebijakan
pengembangan rempah masa datang ini .
Pertama, bagaimana prospek permintaan rempah ke depan, baik
di pasar dunia maupun pasar domestik. Kedua, tren baru dalam
pasar rempah yang memperluas permintaan yang memerlukan
dukungan iptek dan inovasi melaui penelitian dan pengembangan
(litbang). Kedua aspek ini akan menjadi fokus bahasan
dalam bab ini yang kemudian diikuti dengan kerangka kebijakan
pengembangan rempah nusantara.
Prospek Pasar yang Perlu Direspon
Pembahasan tentang prospek ekonomi rempah, baik di pasar dunia
maupun di pasar domestik yang dimuat pada Bab V memberi
intisari sebagai berikut.
1. Tingkat konsumsi rempah dunia meningkat sebesar 2-5% per
tahun dengan nilai pada tahun 2013 sebesar 16,6 miliar dolar
AS.
2. Volume rempah yang diperdagangkan mencapai 1,5 juta ton
pada tahun 2013 senilai 12 miliar dolar AS dan meningkat
menjadi 16 miliar dolar AS pada tahun 2016.
3. Impor rempah dunia terutama berasal dari negara maju,
yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang yang ketiganya
mencapai pangsa 47% dari total impor rempah dunia.
4. Uni Eropa menempati pangsa impor terbesar (34%) yang
dipasok terutama oleh Tiongkok (35%), India (17%), Vietnam
(11%), negara kita (7%), dan Brasil (5%).
5. Pada tahun 2050, impor rempah oleh Uni Eropa diperkirakan
akan meningkat menjadi 5 kali jumlah impor saat ini.
6. Pangsa ekspor rempah Nusantara mencapai 21,06% dan sekitar
31,4% diekspor ke negara ASEAN.Pangsa pasar rempah Nusantara di Uni Eropa sebagai negara
importir terbesar masih relatif kecil dan di bawah Vietnam sebagai
negara yang mengembangkan rempah belakangan. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi meningkatkan kembali pangsa pasar
rempah di masa datang masih cukup besar. Namun, kita juga
harus mampu meningkatkan produksi rempah dengan efisien dan
berdaya saing.
Selain untuk memasok pasar dunia, potensi permintaan
rempah domestik juga menunjukkan tren yang positif dipicu
oleh pertumbuhan penduduk, pendapatan, kesadaran tentang
kesehatan, dan gaya hidup. Selain dikonsumsi langsung untuk
penyedap bahan pangan atau untuk tujuan kesehatan, rempah
juga digunakan sebagai bahan baku industri beragam produk.
Tren perkembangan industri pengolah turut mendongkrak
pesatnya peningkatan permintaan rempah domestik.
Dalam periode tahun 2015-2050, tren permintaan rempah
domestik bervariasi antarkomoditas. Vanili menunjukkan tren
peningkatan permintaan yang sangat pesat, yaitu sebesar 30% per
tahun dengan jumlah permintaan tahun 2050 mencapai 14 kali
jumlah permintaan tahun 2015. Hal ini dipicu terutama karena
pesatnya perkembangan industri pengolah vanili untuk makanan
dan minuman.
Komoditas lain yang juga cukup pesat peningkatan
permintaannya di dalam negeri yaitu pala, yang tumbuh
sebesar 6,9% per tahun dengan jumlah permintaan tahun 2050
diperkirakan mencapai enam kali lipat dari permintaan tahun
2015. Demikian juga lada yang tumbuh sebesar 6,7% per tahun
dan permintaan tahun 2050 diproyeksikan mencapai empat kali
jumlah permintaan tahun 2015. Lagi-lagi permintaan bahan baku
untuk industri pengolahan cukup mewarnai pesatnya permintaan
pala dan lada.Tren Baru Pasar Rempah sebagai Peluang
Uraian pada Bab IV telah meyakinkan kita bahwa saat ini dan
ke depan, rempah bukan hanya sebagai bumbu masakan yang
memberi cita rasa tertentu. Namun demikian, makin luas untuk
menghasilkan produk kesehatan, kecantikan, aroma, pengawet,
dan produk industri yang lebih luas.
Unsur kimia yang dikandung dalam rempah dapat diolah
menghasilkan berbagai produk kesehatan yang mengatasi
berbagai macam penyakit. Berbagai ramuan obat herbal berbasis
rempah telah dimanfaatkan masyarakat sejak ribuan tahun yang
lalu untuk mengobati berbagai penyakit.
Data senyawa kimia mengungkapkan bahwa tanaman rempah
mengandung ratusan senyawa kimia, bergantung pada varietas,
cara budi daya, kondisi agroklimat, cara panen dan pascapanen,
serta cara analisis. Karena unsur kimia yang bersumber dari
rempah bersifat alami, hal ini memiliki keunggulan tersendiri
dibanding obat konvensional.
Pertumbuhan permintaan rempah di negara maju seperti Uni
Eropa dan Amerika Serikat merefleksikan fenomena baru tentang
diversifikasi penggunaan rempah untuk berbagai fungsi. Hal yang
sama sedang dan akan terus terjadi di negara kita , walaupun hal itu
berjalan secara alamiah karena tidak ada faktor pendorong dari
aspek kebijakan untuk mengakselerasi diversifikasi penggunaan
rempah ini .
Tren baru ini harus dipandang sebagai suatu peluang
untuk memperluas dan memperdalam kegiatan ekonomi
produktif yang dapat dibangkitkan dari produksi rempah. Hal ini
akan menjadi penciri industri rempah pada era mendatang yang
didorong kemajuan bidang teknologi kesehatan dan budi daya
serta pengolahan rempah, khususnya bioteknologi. Pertanyaannya
sampai sejauh mana kita mampu merespon dan memperoleh manfaat dari berbagai peluang yang diturunkan munculnya tren
baru ini .
Menuju Kejayaan Rempah Nusantara
Pembahasan dalam bab-bab sebelumnya tentang perjalanan
sejarah rempah Nusantara memberi pembelajaran berharga.
Suatu wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti rempah,
belum tentu menikmati kekayaannya ini . Apalagi jika tidak
dapat mengatur strategi, menyusun kebijakan, dan mengamankan
kebijakan ini demi kepentingan masyarakat yang memiliki
kekayaan ini .
Bab VI dari buku ini telah membahas strategi dan kebijakan
ke depan dalam mengembalikan kejayaan rempah Nusantara.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa dimensi lain tentang
kebijakan pengembangan rempah masa depan untuk melengkapi
dan menekankan kembali yang dibahas pada Bab VI.
Salah satu kata kunci dari judul buku ini yaitu “jaya” yang
secara tersirat dapat dipandang sebagai sasaran strategis dari
pembangunan rempah ke depan. Kata “jaya” secara bebas dapat
dipadankan dengan kata lain yang lebih standar seperti “unggul”
atau “berdaya saing”.
Dengan mempertimbangkan berbagai dimensi lingkungan
strategis (baik domestik maupun global) yang mempengaruhi
komoditas rempah seperti dibahas dalam buku ini, maka
karakteristik sistem usaha rempah yang perlu diwujudkan dalam
masa mendatang yaitu sebagai berikut.
1. Andal (reliable): mampu menjamin ketersediaan berbagai
produk yang dihasilkan, fleksibel, dan mampu memitigasi
berbagai risiko produksi dan pasar akibat bencana alam,
gangguan OPT, dan gangguan eksternal lain (termasuk
perdagangan internasional). 2. Inklusif (inclusive): mampu memberi banyak pilihan
sumber penghidupan yang memadai dan stabil (pada produksi
primer, tahap peningkatan nilai tambah dan industri hilir dari
rantai nilai komoditas) dan mampu memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi keluarga berpendapatan rendah.
3. Kompetitif (competitive): mampu mencapai tingkat
produktifitas tinggi dan berkelanjutan dalam penggunaan
tenaga kerja, sumber daya alam, energi, dan infrastruktur.
Selain itu, mampu mewujudkan sinergi dan ekonomi skala
usaha/skup, menurunkan tingkat kehilangan hasil dan
terbuang, menggunakan bahan baku lokal yang tersedia,
mampu memenuhi kebutuhan dan preferensi konsumen
(domestik dan internasional) tentang keragaman, kualitas,
keterjangkauan, keamanan, dan etik.
4. Sensitif lingkungan (environmentally sensitive): mampu
menjaga, mengurangi, dan merehabilitasi dampak lingkungan
dalam produksi dan distribusi komoditas, serta sedapat
mungkin berkontribusi positif terhadap penyediaan jasa
lingkungan.
Aspek kompetitif sangat penting untuk mewujudkan rempah
yang berdaya saing dan memberi pendapatan yang layak
bagi pelakunya, terutama petani. Namun, sekaligus memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif untuk memenuhi
kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Aspek inklusif menekankan bahwa manfaat ekonomi dari
rempah dapat dinikmati semua pelaku yang terkait dalam
rantai nilai (value chain) sistem usaha rempah, terutama petani.
Semua kebijakan pemerintah pusat, daerah, inisiatif swasta, dan
masyarakat perlu secara sinergi diarahkan untuk mewujudkan
sistem usaha rempah dengan empat karakteristik di atas.
Sekali lagi tentang rebranding. Sejarah menunjukkan bahwa
pada masa lalu produk rempah Nusantara telah memiliki brandtersendiri di pasar rempah global. Secara umum, negara kita sudah
dikenal sebagai Mother of Spices karena perannya sebagai produsen
utama dari beberapa komoditas rempah. Apalagi Maluku yang
telah diakui sebagai daerah asal dari cengkeh dan lada yang saat
ini telah berkembang di banyak negara.
Pembahasan pada Bab VI telah menyinggung salah satu
alternatif branding untuk rempah secara umum yaitu : “Health,
Peace, and Happiness”. Khusus untuk lada, di pasar dunia sudah
lama dikenal “Muntok White Pepper”dan “Lampung Black Pepper”
yang menunjukkan bahwa lada putih dari Muntok (Bangka
Belitung) dan lada hitam dari Lampung telah diakui pasar dunia
karena memiliki karakteristik unik yang hanya bisa diproduksi
dan dipasok oleh kedua daerah ini .
Tentu branding seperti ini perlu terus dijaga dan ditingkatkan
sehingga dapat memberi manfaat ekonomi yang lebih tinggi
lagi bagi negara kita , khususnya bagi dua wilayah penghasil lada
ini . Hal yang sama juga perlu terus dikembangkan untuk
membangun branding komoditas rempah lainnya.
Membangun branding ini mencakup aspek yang luas.
Pertama, dari sisi produksi perlu ditempuh upaya mewujudkan
sistem produksi rempah yang memiliki empat karakteristik seperti
dibahas terdahulu. Suatu hal yang mustahil jika ingin membangun
branding rempah, tanpa disertai pengembangan sistem produksi
yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang standar.
Kedua, branding perlu menjadi bagian dalam kegiatan promosi
pemasaran dan perdagangan, baik pasar domestik maupun pasar
dunia. Ketiga, komunikasi publik yang seluas-luasnya untuk
menekankan bahwa negara kita memiliki branding produk rempah
spesifik yang diunggulkan.
Kebijakan lainnya. Beberapa kebijakan lainnya yang perlu
ditekankan yaitu : (1) pengembangan bioekonomi untuk memanfaatkan potensi nilai tambah dan memanfaatkan biomassa yang tersedia; (2) pendekatan wilayah dan korporasi untuk memperoleh
ekonomi skala usaha/skup; (3) pembangunan dan perbaikan
infrastruktur pedesaan; (4) kebijakan perdagangan untuk
meraup manfaat perkembangan pasar (domestik dan global); (5)
pengembangan inovasi pertanian untuk mendorong peningkatan
produktivitas berkelanjutan dan pengembangan produk.
Kebijakan mengembalikan kejayaan rempah Nusantara
dilandasi, pertama, prospek permintaan rempah di pasar dunia
maupun domestik yang terus meningkat, baik jumlah maupun
cakupan produknya dan pangsa negara kita di pasar dunia
masih relatif kecil. Kedua, tren baru penggunaan rempah yang
mencakup bukan hanya sebagai penyedap makanan, tetapi
meliputi pula bahan baku untuk produk kesehatan, aroma,
pewarna, dan produk-produk industri lainnya.
Dengan demikian, kejayaan rempah Nusantara perlu diraih
kembali untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
negara kita dan bukan untuk kepentingan pembeli seperti yang
terjadi pada era sebelum dan era kolonial. Arah pengembangan
sistem usaha rempah yang perlu diwujudkan memiliki empat
karakteristik utama, yaitu andal, kompetitif, inklusif, dan
sensitif lingkungan.
Namun, upaya mewujudkan sistem usaha rempah ini
perlu disertai dengan rebranding untuk menonjolkan keunikan
produk rempah Nusantara melalui promosi pemasaran dan
perdagangan serta komunikasi publik yang luas.