Tampilkan postingan dengan label gadis 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gadis 2. Tampilkan semua postingan

gadis 2

m sembilu
merembes dari ventiLaSi
jendela. menyertai suara hingar
bingar air hujan yang turun
entah sejak kapan. Sesuatu yang
terdengar jatuh, jelas bukan
bunyi genting pecah. Mengikuti
gerak kacau tangan dingin
dalam genggamanku. pelan
pelan aku bersijingkat ke pintu.
Lampu kamar kupadamkan. 
   Menempelkan telinga ke daun
pintu. kucoba mendengarkan
sesuatu yang tadi berisik di
lantai bawah. Terpaan hujan di
atas dan dinding luar masih
mengganggu, sehingga aku tidak
dapat mendengar apa apa. Pintu
kubuka hati-hati. Dan tubuh
dingin menempel dengan cara
mengejutkan ke tubuhku.
Lengan-lengan sebeku salju
melingkari salah satu lenganku.
disertai desis terengah engah
ketakutan. 
   Kontak yang semakin nyata
itu, tidak membuatku gembira. 
   Kutepuk halus apa yang
kuperkirakan bahu milik dia.
Lantas berbisik dekat dengan
apa yang kuperkirakan telinga
dia; 'Kau diamlah di sini.
Jangan bersuara!" 
   Ia bersuara" Memekik'" 
   Aku hampir tertawa. Dan
meninjau ke bawah. Lantai
utama masih terang benderang.
Namun aku belum melihat
apa-apa, kecuali perabotan yang
tidak berpindah tempat. apa lagi
ada yang hilang. Kurang puas.
aku bersijingkat ke tepi beranda.
   Lalu aku melihatnya. 
   Melihat sesosok tubuh hitam
mengendap endap ke... aneh, ke
pintu kamar mandi. ia baru saja
memungut sesuatu yang tadi
jatuh dan menimbulkan bunyi
asing di rumah itu. Semacam
besi pengungkit... ya, ya aku
pasti itu besi pengungkit melihat
bentuknya yang panjang dan
tajam salah satu uiungnya.
Tajam, melekuk. 
   Aku bertindak mundur, ketika
tubuh hitam itu mendongak ke
atas. 
   Wajahnya tak dapat kukenali,
karena tertutup sehelai kain
hitam. sehitam kemeja, celana
maupun sepatunya. Ada
bungkusan di tangannya yang
lain. Bungkusan itu ia letakkan
hatihati di lantai. lantas bersiap
membuka pintu kamar mandi. 
   Sayang, aku punya sifat tak
sabaran menghadapi orang
orang asing yang tidak kukenal,
apalagi yang punya
maksud-maksud tak baik.
Mestinya aku menunggu, untuk
dapat mengetahui mau apa dia
di kamar mandi. Toh tak ada
barang-barang berharga di situ.
kecuali pakaian-pakaianku yang
kotor. Bak mandi dan kloset
memang terbuat dari marmer
dan kalau. dijual laku cukup
berarti. Tetapi buat apa ia
susah-Susah mencungkilnya.
Mengapa tidak barang lain saja
di rumah itu.... 
   Tak sabar, aku membentak:
"Bangsat!" 
   Terdengar seruan kaget.
Tubuh hitam itu tak jadi
membuka pintu kamar mandi.
Tanpa berpaling ke beranda
atas tempatku berdiri. ia sambar
bungkusan kecil di lantai lantas
ambil langkah seribu menuju
pintu depan. Aku berlari-lari
menuruni anak tangga.
Mengejar. 
   'Berhenti!" aku berteriak. 
   Tetapi mana ada maling mau
berhenti, tatkala dipergoki. Ia
langsung kabur lewat pintu
depan yang ia buka dengan
mudah. Air hujan merembes
masuk ke dalam, membuat lantai
menjadi licin. Aku yang tidak
mengenakan alas kaki, terpeleset
ketika mencapai pintu.
Beruntung, tanganku sempat
menyambar daun pintu yang
dapat menahan agar aku tak
sampai terjerembab. Namun toh
sempat aku sempoyongan dan
susah payah untuk bangkit
kembali. 
   Waktu aku mengejar ke
halaman. sosok tubuh hitam itu
sudah lenyap ditelan kegelapan
subuh yang berselimut hUjan
badai. Selagi aku mencari-cari
bingung terdengar Suara mesin
mobil dihidupkan. Aku mengejar
ke jalan raya, bersiram hujan.
Yang kuperoleh hanya bayangan
samar lampu-lampu kecil merah
bagian belakang sebuah mobil
yang ngebut arah 
ke luar benteng kota hutan terlarang, untuk kemudian
sirna tinggal cucuran air hujan
belaka. 
   "Sialan!" aku memaki. dan
bergegas masuk rumah. 
   Berhenti di pintu, aku meneliti
lubang kunci. Di situ menempel
anak kunci. Buatannya kasar.
tetapi itu tetap saja bernama
anak kunci dan telah berhasil
membuka pintu dari luar. Pintu
kututup. Anak kunci palsu itu
kutimang timang, setelah itu
membuangnya dengan marah ke
lubang kakus. " 
   Kuperhatikan kamar mandi. 
   Benar, tak ada apa-apa yang
menarik untuk dicuri. Ataukah
bangsat itu mendadak tak kuat
menanggung hajat dan ingin
santai sejenak di kamar mandi.
sebelum mulai beroperasi" Atau
ia telah beroperasi. Bukankah ia
bawa bungkusan" Bergegas aku
meneliti sekitar ruangan bawah.
meski sadar aku belum sempat
membeli atau membawa barang
barang mahal setelah menetap
di rumah ini. 
   Ia mungkin mengambil
perabotan dapur. 
   Tetapi selain itu, tak ada
sesuatu yang hilang 
   Aneh! 
   Namun keanehan yang satu itu
segera terlupa. ketika keanehan
lain muncul tiba-tiba. Ada
handuk melayang-layang
mendekat. Handuk kering itu
tentu dia sodorkan. Aku mau
mengambilnya, tetapi dia
rupanya tidak memaksudkan
agar aku melap sekujur tubuhku 
yang basah dengan tanganku
sendiri. 
   Dia melap sekujur tubuhku. 
   Mengusap-usap di sana sini,
terutama pada kaki dan lutut.
Aku terpaksa berkata
menghibur: "Tenanglah. Aku
tidak cidera. kemudian memaki
marah: "Sungguh sialan. Entah
Siapa bangsat itu, dan mau apa
dia. Coba kalau aku dapat
membekuk..." 
   Sudahlah! 
   Mungkin itu yang dia
maksudkan, ketika menutup
mulutku dengan jari telunjuknya
yang dingin membeku.
Pakaianku maSih lembab.
melekat ke badan. Aku
menggigil, dan selagi aku
menggigil kedinginan... ia telah
merangkulku. Erat dan kuat. 
   Kontak itu kurasakan dengan
ta'jub. 
   Air hujan membuat pakaianku
dingin. Tetapi aku percaya.
tubuhku tetap hangat. Dia
memelukku, sedang tubuhnya
tentu saja terasa dingin. Namun
semakin ia merapat. semakin
terasa kehangatan di tubuhku
berpindah ke tubuhnya. 
   Sudahlah! Mungkin itulah
yang dia maksudkan. 
   Maka. aku balas memeluk.
"Maafkan. sayang. Aku telah
membuatmu panik. ya?" Lalu
aku tertawa. Tertawa, mengingat
akulah yang panik saat itu.
sampai tak sadar mengucapkan
kata "sayang'. 
   Tubuhnya tergetar, dalam
pelukanku. 
   Ada hembusan napas di
wajahku. la menatap, atau
tengadah. Sebelah tanganku
meraba ke atas. Menemukan
lengan lembut yang halus.
pundak yang sama lembut. leher
yang halus dan kemudian pipi
yang tergetar. 
   "Boleh aku menciummu?" aku
mengeluh. Resah. takut ia
menolak. "Kuingin
berterimakasih untuk apa yang
selama ini kau berikan padaku. 
   Demi Tuhan. 
   Bukan karena dorongan nafsu
seksuil, melainkan semata-mata
karena sudah lama aku
kebingungan mencari sesuatu
yang paling tepat untuk
mengucapkan terimakasih pada
dia. 
   Hembusan napas itu lebih
mendekat. 
   . Aku merunduk 
   Dan mencium bibirnya. 
   Dadanya memukul keras di
dadaku Kemudian terasa
hentakan-hentakan. lalu suara
isak tangis yang sayup-sayup
sampai. Aku menarik wajahku.
menatapnya... menatap udara
hampa di depanku, lantas
bertanya gelisah: "Menga...
mengapa menangis. sayangku'" 
   Pelukannya merenggang,
sebelum aku sadar apa yang ia
perbuat. 
   Kemudian terdengar langkah
kaki kecil berlari-lari, menjauh.
Kurasakan kehampaan beberapa
detik dalam dada, kemudian
perlahan-lahan kehampaan itu
berubah jadi keharuan yang
mendalam' telah berapa lama ia
tidak dicium seorang laki-laki" 
   Lama aku mencari-cari.
Kehilangan dia 
   Kucoba memanggil dengan
'he-hei' dan membujuk dengan
suara memelas, bahwa kalau
aku salah supaya ia memaafkan
dan mau memegang tanganku
sebagai pernyataan berdamai.
Karena tak ada sahutan atau
tanda-tanda. dengan pikiran
maSygul aku menaiki tangga
dan masuk ke kamar tidur. 
   Dia telah masuk ke situ. 
   Karena pintu lemari terbuka.
Dan pakaian ganti yang kering
dan hangat, terhampar di tempat
tidur untuk kupakai. 
   Tetapi dia tidak di situ, saat
aku bersalin pakaian. Karena,
dari kamar mandi kudengar
suara keributan kecil. Ember,
gayung dan air yang
dicurah-curahkan, suara
menggusruk gusruk. Aku baru
tahu kalau ia sibuk mencuci
pakaianku yang kotor, setelah
matahari terbit dan kulihat di
halaman samping terjemur
pakaian-pakaian itu dalam
keadaan sudah bersih berseri. 
   Keharuanku baru reda, setelah
hari itu aku dikunjungi beberapa
orang tamu. Pak Sulaeman dan
isterinya yang ingin mengetahui
apakah aku baik saia tak kurang
suatu apa .. dan mengapa aku
tidak sempat berkunjung ke
rumah mereka. Kujanjikan akan
menguniungi mereka, dan basa
basi lain sampai mereka pamit. .
   Siang hari sampai sore,
tamu-tamu lain datang apa yang
mestinya mereka bawa. karena
kebetulan persediaanku sudah
mulai menipis. Dua orang
wartawan dari salah satu
majalah membawa sebuah
amplop berisi. "Bos minta kau
kirimkan naskah cerita
berikutnya. Bulan depan. naskah
yang sedang diterbitkan akan
habis pemuatannya,' kata Alex.
wakil Pemimpin Redaksi dengan
suara riang. Kemudian
menambahkan malu-malu: 'Tak
apa 'kan. isinya sudah tak utuh"' 
   Ia tidak memotong
honorariumku begitu saja. 
   Ia dan Toni yang datang
bersama-sama karena sekalian
akan meliput peristiwa longsor
besar tak jauh dari tempat
tinggalku, telah membeli
sekeranjang buah-buahan.
sekeranjang kueh dan berbotol
botol minuman keras untuk
dihabiskan bersama sama
beberapa rekan lain yang ikut
datang bersama mereka. Ia juga
memberitahu, bahwa cerita
bersambungku yang hampir
habis pemuatannya, akan
dibukukan seperti yang
sudah-sudah. 
   "Boss bilang, setiap saat kau
dapat datang mengambil
pembayaran buku itu!" 
   'Aku tak punya waktu,"
jawabku, jual mahal. Kalian
maSukkan saja uang itu ke
dalam rekening bankku!" Sambil
menenggak minuman sampai
hampir mabuk, tak habis-habis
mereka mencemoohku: 'Kau
rugi, tak kawin kawin!" 
   Selama mereka bertamu, dia
seperti biasa. ngumpet entah di
mana. Tak tahulah aku, apakah
dia akan bangkit dari kubur,
ketika salah 
seorang tamuku meledek: 'Kau
tahu" Si bre mungli munggi mencari-carimu.
Mengapa tidak kau tulis surat,
bahwa kau sudah melupakan
dia" Lalu aku akan menggaet si
montok yang pemalu tapi binal
itu!" 
   Kualihkan percakapan ke arah
lain: "Kalian tadi bicara soal
longsor. Begitu parahkah,
sampai kalian beramai-ramai?" 
   "Cukup parah." jawab salah
seorang tamuku. "Enam korban
meninggal. tujuh luka parah dan
tiga rumah lenyap ditelan bumi."
   "Wah. Di mana itu?" 
   "Hanya sepuluh kilo dari sini,"
Alex yang menjawabkan. "Subuh
tadi kami terus saja ke sana.
melewati rumahmu... rumah ini
begitu sepi, kami kira kau lagi
pergi...." 
   Untung mereka tak singgah
pada waktu itu. Kuperkirakan.
dia lagi sibuk menyiapkan
sarapan pagiku. atau masih
mencuci di kamar mandi. "Apa
yang longsor. Lex?" 
   "Sebuah bukit!" 
   "Wouw!" 
   "Selain rumah dan kebun yang
hancur berantakan, juga ada
sebuah bus penuh penumpang
jatuh tertimpa?" 
   "Bus" Bukan mobil?" aku
teringat sosok hitam yang
terbang dengan mobil ke arah
yang mereka ceritakan. 
   "Bus. Bus antar benteng kota hutan terlarang, bukan
mobil.' Alex menguatkan.
"Mengapa rupanya?" 
   "Ah. tidak-tidak. Hem, jadi ada
yang celaka."' 
   'Hampir setengah dari
penumpang bus." Alex
bersungut-sungut setengah
berpikir. Lalu: "Nanti dulu.
Rasanya ada sebuah mobil...
tetapi tidak terperangkap tanah
longsor. Hubungan lalu lintas
putus. dan subuh tadi hanya bus
dan mobil itu saia yang kami
temukan di sana. Penumpang
mobil itu selamat dan ia
berjalan seiring dengan
rombongan kami. Sayang tak
mau diajak singgah. ketika kami
mampir di sini...." 
   "Hai," aku tertarik. "Warna
mobilnya" Pengemudinya?" 
   'Merah hati. Sebuah mobil
mahal. dan pengemudinya
kukira juga pemilik mobil itu
sendiri. Seorang pengusaha di
Jakarta. begitu yang kami
ketahui dalam pembicaraan
singkat."' 
   "Oom biyungiyung," tukas salah
satu tamuku. 'Ia kukenal baik.
Perusahaan ekspedisi muatan
kapal laut, itulah usahanya.
Sedang maju pesat. tetapi tidak
berbahagia dalam rumah
tangganya. Beberapa kali kawin
cerai" dan perceraian itu selalu
tak berusia lama. Belum lagi
anak-anaknya. Yang satu sakit
lumpuh. Dua yang lain mati
muda, dan yang bungsu. lahir
gagu...." 
   Aku merasa iba. 
   Dan berkata pada diri sendiri:
bukan orang macam pengusaha
terkenal itu yang mau memasuki
rumah orang pakai kunci palsu.
Siapa
pun orang yang subuh tadi
berhasil lolos dari rumahku.
tentulah telah menghilang di
suatu tempat. Barangkali juga,
ia bukan pakai mobil sedan...
mungkin kendaraan umum,
pik-up atau semacamnya. Aku
tak begitu yakin. Namun begitu.
tetap penasaran: apa yang mau
dia curi" Apa isi bungkusannya"
Mengapa dia harus ke kamar
mandi" 
   Coba kalau aku tak keburu
membentak pencuri itu! 
   Setelah tamu-tamuku pulang.
Suasana rumah kembali sunyi
sepi. Seorang anak tetangga
datang memberitahu, kalau hari
telah mulai senja dan cucianku
di jemuran belum diangkat. Aku
pergi ke samping rumah,
mengangkat kain jemuran dan
ngobrol sebentar dengan salah
seorang ibu-ibu yang katanya
tinggal di rumah petak sebelah
bawah. Sambil lalu ia
memberitahu, bahwa ada batu
yang runtuh ke kebunnya. Batu
itu berasal dari tebing penguat
rumah tempatku berdiri. Ketika
kuperiksa, memang kulihat ada
bagian yang retak pada tebing
batu penahan rumah itu. tetapi
tidak begitu mengkuatirkan. 
   Kuputuskan untuk melihat
lihat keadaan lebih dulu,
sebelum menemui pemilik rumah
untuk membicarakan kerusakan
itu. Cukup kuat untuk enam
tahun mendatang, pernah ia
meyakinkan, dan melihat
kokohnya tebing di bagian
belakang rumah, aku percaya
katakatanya. 
   Puas. aku masuk kembali ke
dalam rumah. 
   Dan. ta'jub melihat segala
sesuatunya telah bersih rapih.
Tidak ada lagi bekas pesta pora
yang ditinggalkan terlantar oleh
tamutamuku. Sampah bertumpuk
di sudut ruangan lantai bawah.
dan aku membuangnya lewat
jendela belakang 
   Lama aku menunggu di kamar.
   Kalau-kalau dia datang, atau
memperlihatkan tanda tanda
untuk bercengkerama. Setelah
penungguanku Sia-Sia, aku
berpendapat ia ingin
membiarkan aku sendirian,
supaya aku dapat bekerja
dengan tenang. Barangkali, dia
juga mendengar. aku harus
membuat novel yang baru. 
   Tengah malam. selagi aku
tekun mengetik dan tenggelam
dalam kisah yang kutumpahkan
pada toets toets mesin tik.
segelas kopi kental dan sepiring
kueh sisa oleh-oleh rekanku tadi
siang, telah terhidang di sudut
meja. Aku hampir
menumpahkannya karena tidak
sadar kopi itu telah terhidang di
sana. Lagi lagi aku mencari.
lagi-lagi kuketahui bahwa dia
tidak ingin mengusik
keasyikanku. 
   Pagi-pagi benar, kudengar
kesibukan di dapur. Ia tengah
mempersiapkan sarapan . 
   Lama-kelamaan. aku merasa
benar-benar berada di rumahku
sendiri. dengan seorang teman
yang tidak terlihat tetapi baik
hati. rajin dan menyenangkan.
Banyak pekerjaan-pekerjaan
yang telah selesai dengan
sendirinya ketika aku bangun
pagi. atau ketika aku pulang
setelah pergi keluar untuk
berbagai keperluan. 
   Segalanya sudah terbiasa
bagiku. 
   Bantuannya yang diberikan
diam-diam. Protes yang ia
berikan melalui suara gaduh
kalau aku berbuat sesuatu hal
yang tidak sesuai dengan
keinginannya. serta semakin
banyaknya hal-hal ganjil yang
harus kualami. Misalnya, setrika
listrik yang bergerak sendiri.
dapur yang sibuk. kamar mandi
yang ramai. pakaian dan segala
macam benda yang melayang
layang di udara bebas. 
   Ia menghidangkan sarapan
pagi secara tetap. 
   Kopi. telur rebus dan diseling
dengan roti panggang. Aku
memang tidak biasa makan
siang, dan itu kuterangkan
padanya ketika suatu hari ia
menyediakannya kira-kira jam
sebelas pagi. Menu makanan
sore, selalu bervariasi. la
menyesuaikan diri dengan bahan
yang kubeli sendiri ke pasar
pada tempo-tempo tertentu. 
   Pakaianku dicuci jauh malam.
Ketika ayam berkokok. pakaian
pakaian itu sudah terjemur di
halaman samping yang sempit
itu. Tentu saja tidak lucu kalau
ada orang melihat
pakaian-pakaianku melayang
masuk rumah satu persatu, maka
ia membiarkan aku mengambil
pakaian itu setelah kering dan
membawanya masuk ke dalam
rumah. Di dalam, segala sesuatu
bebas melayang-layang tanpa
ada yang melarang. 
   Benda-benda terbang yang
mirip kejadian sehari-hari di
angkasa luar itu baru terhenti.
kalau ada tamu mengetuk pintu. 
   "Menyenangkan sekali
suasana rumah ini." tamu atau
tetangga-tetanggaku memuji
dengan suara yang tulus
bercampur heran. 
   "Biar aku betah." tak lupa aku
memuji diri. 
   Tetapi sesekali, ada juga
pertanyaan itu: 
   'Tidak ada yang menganggu." 
   "Orang luar" Tidak." 
   "Eh. makSudku... penunggu
rumah ini." 
   "Yang menunggu rumah ini.
hanya aku sendiri,' sahutku
tertawa lebar. 
   "Kalau begitu. mengapa tidak
mengajak seorang teman atau
mempekerjakan seorang
pembantu?" 
   "Oh. Aku lebih senang bekerja
sendiri. Lumayan. bisa
melenyapkan rasa sepi.?" 
   Dan kepada dia yang tidak
terlihat, aku bersungut setelah
tamu-tamuku pergi: 
   'Kau dengar" Aku sudah
bermulut besar!' 
   
***
   
DELAPAN 
   Kontak kami yang berikutnya,
terjadi ketika aku demam karena
kehujanan waktu pulang dari
kantor pos. Ia meraba dahiku
yang panas. mengelus lenganku
yang menggigil dengan
tangannya yang dingin tetapi
lembut itu. Terasa kasih sayang
yang tersembunyi dikedinginan
jari jemari atau telapak
tangannya. 
   Ketika ia menyuapkan bubur
ke mulutku. aku tahu ia duduk di
pinggir tempat tidur. Karena.
dapat kulihat kasur di bagian
yang ia duduki. membuat
cembungan dalam. Benda lunak
dan dingin. menyentuh
pinggangku. Mungkin pahanya.
Entah pakaian apa yang ia
kenakan. 
   Ingin aku menyentuh udara
hampa itu. 
   Tetapi aku sadar, kalau itu
kulakukan. ia akan segera
menghindar. Karena itu kutekan
keinginanku, dan aku menurut
dengan patuh terhadap segala
yang ia lakukan atas diriku.
Termasuk ketika ia melap
tubuhku dengan handuk yang
dibasahi air hangat. karena aku
tak mampu untuk turun ke kamar
mandi. . 
   Sendok bubur tertegun di
udara. ketika 
   aku berujar: 
   "Kau seorang wanita yang
baik dan patut dikasihi." 
   Ketika ia melap tubuhku
dengan tidak melepas celana
dalamku. aku mengatakan hal
yang lebih menjurus. 
   "Baru kau seoranglah yang
pernah menjamah tubuhku
dalam keadaan begini rupa"." 
   Gerak lap tertegun lebih lama.
   Entah terharu oleh ucapanku.
entah tahu kalau aku berbohong.
Tetapi handuk basah itu terus
bergerak. kadang kadang
setengah menekan, memijit-mijit
bagian-bagian uratku yang
kejang. Dan aku segera tertidur
begitu selesai mengganti
pakaianku. 
   Dalam tidurku. gadis yang
sama muncul. 
   Dengan gaun tidurnya yang
putih. rambutnya yang panjang.
Tetapi senyumnya tidak lagi
penuh rahasia, serta matanya
berkaca-kaca. Ia tidak minggat
ke balik kabut waktu aku
menggapai. Tiba-tiba saja kami
telah berpelukan. Tubuhnya
dingin. sedingin salju tempatnya
selalu lenyap. Ketika aku
menciumnya bibirnya juga
dingin. 
   Kaget. aku membuka mata. 
   Aku yakin kali ini aku tidak
bermimpi. Aku tidak melihat
gadis itu. Tetapi aku dapat
merasakannya. Tepi tempat tidur
lekuk ke dalam kemudian rata
kembali. Uap dingin menyapu
wajahku. Kemudian
langkah-langkah kaki menjauh
ke pintu. lalu lenyap. 
   Pada hari-hari senggang
kusempatkan bertamu ke
tetangga. memenuhi apa yang
selalu kujanjikan. Dan pada
suatu hari. aku bertamu khusus
di rumah Pak pung oil, untuk
menanyakan apa yang
diam-diam mulai menggerogoti
benakku. 
   Dengan jujur kuakui aku baru
saja sembuh sakit. ketika ia
terkejut melihat wajahku yang
lebih pucat dari biasa. Setelah
marah marah karena aku tidak
memberitahu sehingga tidak ada
yang menolongku selama sakit...
menurut dia. tentu!." Pak
pung oil bertanya: 
   "Tentu ada maksudmu datang
ke mari. Nak ibnu nautilus . Dapat kulihat
dan sinar matamu...." 
   Aku memilih pokok
pembicaraan yang diplomatis. 
   "Tentang itu. Pak! Desas desus
mengenai rumah yang saya
tempati....' 
   Pak pung oil memegang
tanganku. Kuat. 
   "Kau... kau telah bertemu
dengannya?" tanyanya,
bernafsu. 
   "Bertemu"' aku bingung. 
   'Maksudku. diganggunya.' 
   'Ah.... Tidak." 
   Duduknya kembali tegak
seperti semula. Matanya
memandang kecewa. 
   "Lalu?" dengusnya. lirih. 
   "Ingin tahu saja, Pak.
Maklum... saya hidup dari
kisah-kisah seram seperti yang
orang orang di sini ceritakan.
Siapa tahu, barangkali ada kisah
menarik yang bisa kuangkat ke
mesin tik."' Meskipun masih
kecewa, ia mau juga
menceritakan. 
   ***
   
Rumah yang kutempati dibangun
oleh seorang laki-laki dari
ibubenteng kota hutan terlarang. untuk isteri muda.
Laki-laki itu jarang berkunjung
menemui isterinya. Tak heran,
kalau isteri yang masih muda
belia itu tergelincir menempuh
jalan yang tidak terhormat, 
   Ia mulai main mata dengan
pemuda-pemuda setempat. Mula
mula diam diam, lama lama
terang-terangan. Belakangan,
suaminya mengetahui hal itu.
Terjadi pertengkaran sengit,
tentu saja. Hasilnya: si lelaki
lebih sering berkunjung dari
biasa. dan si wanita menolak
uluran cinta pemuda pemuda
yang selama ini mengisi
kesepian hatinya. Namun desas
desus iuga keluar. lewat
pembantu mereka yang mulutnya
tak pernah terkatup. 
   Suami isteri itu sering
bertengkar. Malah pernah
berkelahi. Rupanya yang
perempuan tidak cinta sama
sekali kepada yang lelaki. Ia
mau kawin dengan laki-laki itu,
karena desakan ekonomi
keluarganya yang morat marit
Sebaliknya. si suami
mencintainya. tetapi takut
menceraikan isteri pertama,
yang telah mengaruniai lakilaki
itu setengah lusin anak-anak.
Beberapa kali perempuan muda
itu minta cerai, tetapi tak pernah
dikabulkan. 
   Desas desus agak reda setelah
pembantu yang tak bisa
menyimpan rahasia itu
diberhentikan, dan diganti oleh
seorang pembantu yang jarang
keluar rumah. Beberapa hari
kemudian. isteri muda belia itu
tidak tampak lagi batang
hidungnya. Konon sang suami
sudah memberi ijin cerai, lantas
mengusirnya tengah malam
buta. Laki-laki itu masih
menetap di sana selama
berbulan-bulan serta membawa
isteri tua dan anak-anaknya
sesekali untuk berlibur di sana.
Tetapi sang isteri mengetahui
siapa yang tinggal di rumah itu
bersama suaminya, sehingga
mereka pun bertengkar. Cerai
tidak terelakkan lagi. 
   Rumah itu kemudian dijual.
dan sudah sering berpindah
tangan. 
   "Tetapi tak lama".' Pak
pung oil mengakhiri ceritanya
yang ringkas itu. "Karena kata
orang. ada hantunya"." 
   "Hantu siapa?" desakku. ingin
tahu. 
   'Mana aku tahu?" Pak
pung oil angkat bahu. "Tak
pernah ada yang melihatnya
secara nyata. Hanya terdengar
desas desus yang sukar
dipercaya kepastiannya..." 
   "Mengenai apa pula itu?" 
   'Sang isteri muda. Konon. ia
tidak diusir. Tetapi dibunuh!" 
   Aku menggigil, meski cerita itu
kuharap memang demikian pada
akhirnya. 
   "Tentu setelah mayatnya
diketemukan!" 
   aku memancing. 
   Pak pung oil gelang kepala. 
   "Jangankan mayat. Kabar
beritanya pun tidak pernah
terdengar lagi," katanya,
setengah tertawa puas karena ia
dapat membalas kekecewaannya
dengan membuatku mengalami
hal yang sama. "Itu cuma kabar
burung belaka. Polisi sudah
pernah memeriksa ke sana.
tetapi hasilnya" Nihil. Nak. itu
cuma kabar burung. bukan?" 
   Ia yang memancing sekarang. 
   Dan aku mengkik balik dia
seketika. 
   'Tentu. Karena di rumah itu
tak ada hantu!" 
   Pak pung oil mengantarku
sampai di pintu. dengan wajah
malu. Aku agak menyesal juga.
Tetapi yah... hantu itu memang
ada. Tetapi ia terlalu baik,
terlalu menyenangkan, terlalu
sayang untuk digubah jadi
dongeng yang bisa
menakut-nakuti anak-anak agar
segera masuk ke rumah. tidak
kelayapan malam di luar. 
   
***
   
SEMBILAN 
   Meski merasa seram
mengingat kemungkinan adanya
sesosok mayat tertanam di salah
satu bagian rumah. aku
berusaha sedapatnya
memperlihatkan sikap
biasa-biasa. seolah tidak tahu
apa-apa. Menyapa suasana
temaram di dalam: "Hai. Sedang
apa?" kemudian menekuni
pekerjaanku dan pada
waktu-waktu senggang ngobrol
secara rutin dengannya. 
   Dia seorang pendengar yang
baik dan setia. ' ' 
   Dan paling senang kalau aku
ceritakan suasana kehidupan di
luar rumah kami, atau keadaan
para tetangga; Pak Sulaeman
akan menikahkan anak gadisnya
yang sulung". Ibu Endah
bertengkar dengan ibu Rukman
karena soal kucing... si Dudung
ketahuan menghamili anak pak
lurah dan kini buron entah ke
mana. Bung Lee yang bekerja
jadi kuli bangunan di Arab
Saudi tadi siang mengirim uang
banyak sekali pada orang
tuanya.... Pak Barli cerai
dengan isterinya karena
panenan sawah tahun ini gagal
lagi." Dan banyak kisah-kisah
lain. Sebagian menurut apa yang
kudengar dan kuketahui, tetapi
kebanyakan dari celoteh Bi
Saodah. tukang sayur yang rutin
datang ke rumah tiap pagi
menawarkan dagangannya. ' 
   Kalau aku sedang malas ngetik
dan dia hilang dalam kesunyian
rumah. kusempatkan sesekali
memeriksa lantai. memeriksa
tembok sampai tempat
pembuangan sampah. Bahkan
sudut sudut pekarangan di
sekeliling rumah iuga kuteliti.
Siapa tahu ada tembok yang di
bangun tidak semestinya:
kelewat tebal, atau bentuknya
tidak wajar. Adakah lantai yang
bekas dibongkar dan ditutup
lagi" Atau rerumputan, ilalang.
kembang yang tumbuhnya lebih
muda dari bagian lain, pada
bekas galian lanah" Barangkali
juga: tulang kaki tersembul di
antara tumpukan sampah! 
   Rupanya diam diam ia
perhatikan juga apa yang
kulakukan. 
   Suatu hari, selesai
membersihkan diri untuk
membuang kuman-kuman
sampah, di meja kerjaku
terhampar sehelai kertas yang
ditulis kata kata: "Sibuk benar.
Cari apa sih?" 
   Tulisan dia! 
   Aku menatap sekeliling kamar,
dan setelah kurasakan
kehadirannya, aku menyeringai:
"Ada deh. Mau tahu saja!"
Sebuah ungkapan kuno, namun
ternyata tidak membuatnya
senang karena kertas yang tadi
ia tulisi dirampas dari tanganku
lantas dirobek berkeping-keping.
   "Tak usah curiga, manis," aku
cepat-cepat membujuk. "Kau
tahu,aku menyukai rumah ini...
dan kau juga!" kucoba
tersenyum, jujur. "Jadi tak ada
salahnya kalau semua sudut
kuperiksa dulu. agar kelak aku
tidak rugi atau tertipu. bukan?" 
   Sepi sejenak. 
   Lalu kepingan-kepingan kertas
yang berserakan. melayang satu
persatu ke ranjang sampah.
Menyusul segelas kopi panas
diletakkan di mejaku. lalu
usapan dingin tetapi lembut
menyenangkan di pipiku.
Kusentuh tangan yang halus
dingin itu. dan menunjuk ke
kertas kertas kosong serta
pulpen di mejaku. Berkata:
"Ayo. Tulislah. Sesuatu lagi. Aku
senang membacanya. Senang
pada tulisan tanganmu yang
cantik...." 
   Tangan itu menjauh. 
   Tetapi kertas-kertas di meja,
tetap kosong. 
   'Ayo dooong!" aku merajuk. 
   Pulpen bergerak. Lalu: 'Apa
yang harus kutulis?" 
   Aku langsung menembak
sasaran yang selama ini ingin
kubidik: "Tentang siapa kau
sabenarnya'" 
   Pulpen tertegun di permukaan
kertas. Meninggalkan titik biru.
lantas berdentang terkulai.
bergulir sebentar lalu berhenti
di tepi meja. Aku terjengah,
menyadari ia begitu gigih untuk
tidak memberitahu keterangan
mengenai pribadinya. 
   'Apa sih yang harus
disembunyikan?" rungutku,
dongkol. "Kau sudah banyak
tahu tentang aku. Malah, kukira
kau lebih banyak tahu dari pada
aku sendiri.... Sedang kau?"
Kuperlihatkan wajah tak senang.
Wajah kecewa yang teramat
sangat. Baru menambahkan
dengan tekanan; Ini namanya
sepihak. Kau mau menang
sendiri" 
   Sepi menyentak. 
   Dan... ah. pulpen itu bergerak,
bimbang. kemudian srat-sret. di
sehelai kertas ia menulis: "Aku
malu, sayang. Aku bukan
perempuan baik-baik.?" 
   "Teruskan." desakku, ketika
pulpen itu tertegun lagi. 
   Ragu-ragu, ia meneruskan:
"Ketika aku putuskan untuk
merobah tingkah lakuku.
semuanya sudah terlambat!" 
   "Apanya"' tanyaku, bernafsu.
"Apanya yang terlambat?" 
   Pulpen tertegak lagi. Kaku.
Beberapa detik yang
mencengkam berlalu. sebelum
pulpen itu akhirnya terjatuh di
permukaan meja. seolah tangan
yang memegangnya tidak sadar
kalau pulpen terjatuh.
Terdengar hentakan kaki samar
dalam kesunyian kamar. lalu
Suara sayup seperti mengisak.
Aku menggapai ke udara dingin
yang paling keras. Menemukan
tubuhnya. dan membawanya
dalam pelukanku. 'Sudahlah...."
aku membujuk. 
   Ia balas memelukku 
   Ada tekanan-tekanan keras di
dada. serta kedinginan yang
kian menajam. Oh. Dia
menangis di dadaku Rambutnya
kubelai, lembut. Berkata
menghibur: 'Tak usah kita
perpanjang lagi, okey. Dan kau
tak usah malu. Aku sendiri pun
bukan pemuda baik-baik. Aku
telah mengecewakan Sejumlah
orang. Membuat ibuku mati.
Menyebabkan anakku terkubur
tanpa aku.?" 
   Jari jemari yang dingin
menyentuh bibirku. 
   Artinya: 'Ssssttt....' 
   Tubuhnya pelan-pelan
menjauh. Pulpen melayang
sebentar, dan pada sehelai
kertas yang masih kosong, dia
menulis: "Tenteramkan
pikiranmu. Dan ingat. Siang tadi
ada surat yang menagih
naskah!" 
   Sebelum aku sempat berkata
apa-apa, sebuah ciuman dingin
hinggap di pipiku. Dorongan
aneh menggerakkan
lengan-lenganku untuk
memeluknya untuk memperoleh
lebih dari sekedar ciuman di
pipi. Namun udara dingin itu
telah menjauh. Pintu terbuka
lalu menutup lagi. Udara di
dalam kamar kembali hangat.
Tak lama. Udara berubah dingin
perlahan lahan. Bukan karena
dia hadir untuk menemaniku. 
   Tetapi, karena hujan tiba-tiba
jatuh di luar rumah. 
   Hujan deras terus menggebu
di luar rumah ketika malam itu
aku mengetik bagian-bagian
terakhir dari naskah yang akan
kukirimkan ke Redaksi. Topan
membadai dengan suara yang
nuh rendah. Butir-butir air
menghantam kaca jendela
dengan suara yang membuatku
khawatir kalau-kalau jendela itu
sampai pecah. 
   Kumatikan rokok ke asbak. 
   Lalu berjalan ke jendela.
menyingkapkan tirai. Tidak
tampak apa apa sama sekali di
luar, selain kegelapan yang
hitam pekat. Bagian luar jendela
dialiri air hujan yang deras
seolah ada sungai besar meluap
dari langit. 
   Ketika guntur menggelegar.
aku tergoncang mundur. 
   Darahku tersirap sebentar.
Benarkah guntur itu yang
membuatku tergoncang sebentar
tadi" Atau sesuatu yang lain.
pada tempatku berpijak" Aku
mundur kembali ke kursi,
mengnadapi mesin tik. Mungkin
hanya dugaan saja. atau tadi
aku terlalu letih karena
terus-terusan berdiri. 
   Di kejauhan, terdengar suara
pohon besar. berderak.
Tumbang. 
   Tanganku yang sedang
memaSukkan kertas tik ke ban
mesin, tertegun. Ada goncangan
halus lagi terasa di kakiku.
Hanya sekilas. kemudian tenang.
Di luar, hujan mulai reda.
Namun suara angin masih
terdengar ribut. berkecamuk. 
   Pintu terbuka tiba-tiba. 
   Angin dingin menerpa ke
dalam. 
   Aku menggigil, dan merasa
tenang kembali setelah melihat
sebuah baki melayang di udara.
setinggi dada. Di atas baki
tampak kopi tubruk kental.
beberapa potong singkong
goreng pada piring, yang
kesemuanya kemudian
diletakkan di atas meja tempatku
bekerja. 
   Napas yang dingin menyentuh
tengkukku sesaat. 
   "Terimakasih," aku bergumam.
seperti biasa. 
   Terdengar langkah-langkah
halus berjalan menjauh. Pintu
tertutup kembali. Selama
beberapa saat aku menunggu.
Setelah mengunyah sepotong
singkong dan mereguk kopi yang
panas, aku meneruskan
ketikanku yang tertunda. Baru
berjalan setengah lembar, ketika
napas yang dingin menyentuh
tengkukku lagi. 
   Berarti, ia tidak keluar. 
   Aku tertegun. Heran. 
   "Kau masih di Sini?" aku
bertanya. 
   Sebagai jawabannya,
kurasakan sentuhan. halus dan
dingin di pundak kananku. 
   "Sudah larut malam," lanjutku.
"Pergilah tidur. Istirahat. Kau
sudah lelah bekerja sepanjang
hari. Jangan merepotkan diri
lagi denganku.?" 
   Langkah-langkah kaki itu
berhenti. 
   Lalu. Sreeeekkkk! 
   Kertas di ban mesin, tertarik
sampai lepas, lalu reeetlt.
reeeett... sobek dua. melayang di
udara, jatuh ke lantai tak
berdaya. 
   Aku terkejut. 
   Langkah-langkah halus lagi,
tetapi terdengar gelisah. 
   Aku menggerakkan leher
sesuai dengan arah irama
langkah, dan bersungut. "Ada
apa dengan kau, manis?" 
   Diam. 
   DI luar, sisa sisa hujan
menerpa jendela. 
   "Kau tak mau tidur?" 
   Kuputar kursi, menghadap ke
arah pintu maSUk, karena
langkahnya yang terakhir aku
dengar di sana. Tetapi segera
berpindah lagi. ke arah tempat
tidur. Kuperhatikan kasur. Tidak
ada yang melekuk, sprei tidak
berubah bentuk. Jadi, ia tanya
berdiri saja disana. 
   Kucoba tersenyum. 
   "Aku tak tahu mengapa kau
gelisah Tetapi... adakah sesuatu
yang dapat kulakukan, untuk
menyenangkan hatimu?" 
   Sepi. 
   Sepi sekali. 
   Lalu. napas dingin,
langkah-langkah kaki yang
lembut. Tiba-tiba. kertas di
lantai melayang ke udara,
pindah dengan gerakan tetap ke
atas meja. Sobekannya
dirapatkan. seolaholah ia ingin
menyatukannya kembali dengan
perasaan menyesal. 
   "Tak usah dipikirkan, sayang,"
aku bergumam, terharu, 'Toh
jalan ceritanya masih kuingat.
Aku bisa mengetiknya
kembali".." 
   Kureguk kopi panas yang ia
hidangkan. 
   "Sungguh tak enak rasanya
minum sendirian, sementara
engkau kedinginan....' ujarku.
"Dan singkong ini." aku
mengunyah. "Bagaimana kau
menggorengnya" Gurih dan
enak sekali rasanya." 
   Lama. tidak ada reaksi. 
   Apakah ia telah keluar melalui
kemampuan empat dimensinya" 
   Barangkali ia ingin melihat
aku bekerja. Baiklah. Kuambil
sehelai kertas, memasukkannya
ke ban mesin. dan pelan-pelan
mengonsentrasikan diri. Tik-tak
tik-tak mesin tik mulai
memperdengarkan suara
kembali. Tetapi agak tertegun
tegun, karena kesadaran bahwa
dia masih ada di dalam kamar
sehingga konsentrasiku agak
terpecah. 
   Tiba-tiba, musik mengalun
lebih keras. 
   Tidak terlalu hingar, tetapi
ternyata sangat cocok untuk
mengatasi suara angin di luar
rumah. Tetapi barangkali buat
dia sendiri, mungkin punya
pengaruh lain. Karena tahu tahu
saja aku sudah merasakan
hembusan dingin di pundak,
disusul sepasang lengan yang
lembut melingkar ke depan dan
mendekap dadaku. Sesuatu yang
lunak menekan di punggung.
Sepasang bukit kembar yang
menonjol lembut, sayang betapa
dingin, namun aku tentu saja
sangat gugup dibuatnya. 
   "Kau... kau kedinginan?"
tanyaku, lirih 
   Sebagai jawaban. sebuah
kecupan bibir ' mendarat di pipi
kananku. Kecupan yang lama.
disertai geseran lidah yang
basah dan lunak. Kontak seperti
itu telah dua tiga kali kualami
semenjak ia menciumku di kala
aku tertidur waktu masih sakit. 
   Aku pun sudah dapat merasa
sedikit sedikit. 
   Ia masih muda, dengan lekak
lekuk tubuh yang apabila
terlihat mungkin akan membuat
hatiku tergetar. Dan aku sangat
yakin, bahwa ia mengenakan
gaun malam, yang meski
warnanya tidak dapat kulihat.
aku tahu tentulah berwarna
putih seperti yang sudah
beberapa kali kulihat dalam
mimpiku. 
   Rambutnya yang panjang,
menebarkan harum semerbak ke
hidungku. 
   "Baiklah,..." aku berbiSik,
parau. "Kalau kau tak ingin aku
mengetik...." 
   Aku memutar setengah
tubuhku di kursi, lalu menerima
ciuman yang lembut itu pada
bibirku. Ia menggigitnya sedikit.
penuh getaran. pertanda
kegemasannya. Bagaimanapun
aku membelalakkan mata toh
aku tidak akan dapat melihat
dia. 
   Karena itu kupejamkan mata. 
   Lantas aku memeluk, dan
membalas ciumannya dengan
hangat. 
   Tekanan wajahnya kemudian
terasa di dadaku. disertai
hendusan-hendusan napas 
   "Kau... kau kedinginan"'
tanyaku, lirih Sebagai jawaban.
sebuah kecupan bibir  mendarat
di pipi kananku. Kecupan yang
lama, 
   disertai geseran lidah yang
basah dan lunak .Kontak seperti
itu telah dua tiga kali kualami
semenjak ia menciumku di kala
aku tertidur waktu masuh sakit. 
   Aku pun sudah dapat merasa
sedikit sedikit. 
   Ia masih muda, dengan lekak
lekuk tubuh yang apabila
terlihat mungkin akan membuat
hatiku tergetar. Dan aku sangat
yakin, bahwa ia mengenakan
gaun malam, yang meski
warnanya tidak dapat kulihat.
aku tahu tentulah berwarna
putih seperti yang sudah
beberapa kali kulihat dalam
mimpiku. 
   Rambutnya yang panjang,
menebarkan harum semerbak ke
hidungku. 
   'Baiklah."' aku berbisik, parau.
"Kalau kau tak ingin aku
mengetik.. ." 
   Aku memutar setengah
tubuhku di kursi, lalu menerima
ciuman yang lembut itu pada
bibirku. Ia menggigitnya sedikit.
penuh getaran. pertanda
kegemasannya. Bagaimanapun
aku membelalakkan mata toh
aku tidak akan dapat melihat
dia. 
   Karena itu kupejamkan mata. 
   Lantas aku memeluk, dan
membalas ciumannya dengan
hangat. 
   Tekanan wajahnya kemudian
terasa di dadaku, disertai
hendusan-hendusan nafas 
yang terengah-engah. 
   Getaran ganjil mengaliri jalan
darahku. Aku seolah-olah
memeluk makhluk perempuan
yang lembut dan hangat, dengan
gairah yang minta dipenuhi.
Kubayangkan wujudnya yang
sering kulihat dalam mimpi.
semakin lama semakin jelas." 
   Tetapi ketika aku menariknya
ke tempat tidur.... Ah,
sesungguhnya. dialah yang
menarikku ke tempat tidur. aku
tidak melihat apaapa. selain
merasakan kehadiran dirinya.
sentuhan tangannya. desah
napasnya yang serba dingin.
Anehnya. gairahku
perlahan-lahan lepas dari
kendali. Aku mengikuti
gerakannya dengan
tertegun-tegun, setengah gugup,
setengah berhasrat, kemudian
kami telah berbaring di tempat
tidur. 
   Musik mengalun
mendayu-dayu, penuh goda.
Diluar, angin masih menderu. 
   Dingin sekali di sini. 
   Tetapi pakaianku sudah
dilepas oleh tangan-tangan gaib,
dan pada saat berikutnya
tubuhku telah menyentuh kulit
tubuh yang licin, halus dan
dingin. Sentuhan itu secara
lambat tetapi nyata mulai
berubah hangat. Barangkali
oleh kobaran api yang
bergejolak dalam darahku, dan
menebar dengan liar di seputar
kamar. 
   Dengan lampu tetap menyala.
kami bermain cinta. 
   Dan aku merasakan. betapa
hebat gejolak 
   birahinya, seorang telah
sekian lama terpendam, tanpa
menemukan pipa untuk
menyalurkannva keluar.... 
   
***
   
SEPULUH 
   Tak ubahnya manusia hidup
dan berperasaan normal.
ternyata dia dapat juga marah.
Kemarahan yang sungguh luar
biasa. Aku sampai kalang kabut
dia buat. Bingung memikirkan
bagaimana cara mengatasi
tingkah lakunya yang serba
diluar dugaan itu. 
   Pagi pagi. aku bangun.
Sekujur tubuhku letih lesu. 
   Aku bangkit dan seketika
tersentak mengetahui di bawah
selimut. tubuhku dalam keadaan
bugil. Sprei acak-acakan. Salah
satu bantal terguling di lantai.
Baik piyama maupun pakaian
dalamku. tidak kutemukan dalam
kamar. Baru kemudian aku tahu
piyama dan celana dalam telah
dia cuci dan dijemur di luar
rumah. Perlahan-lahan aku
ingat apa yang terjadi tadi
malam. 
   Dan, aku menggigil 
   Kucari tanda tanda kalau ia
ada di kamar. Nihil Aku
membuka pintu, menjenguk ke
luar. Rupanya ia sedang sibuk di
dapur, karena aku mencium bau
masakan dan suara perabotan
yang samar-samar. Berkerudung
selimut, aku 
turun ke lantai bawah. Terus ke
dapur. 
   Di pintu dapur aku berhenti. 
   Penggilingan melayang di
udara. Rempah rempah yang
telah digiling lumat bercucuran
jatuh ke katel beriSi minyak
mentega. dengan bantuan
sendok besar. Penggilingan
kemudian hinggap sendiri di
meja. Sendok maSih melayang
layang, mengaduk sendiri
adonan di katel. Sebutir telur
rekah, kemudian belah. Bagian
dalamnya masuk ke mangkok
kecil dan sebuah sendok lagi
lantas mengaduknya. Beberapa
hari belakangan ini ia memang
suka mengganti menu sarapan
pagiku. Kopi tetap tersedia.
tetapi telur rebus telah ditukar
dengan telur dadar dan nasi
goreng .
   Aku terbatuk menCium bau
sengit dari katel 
   Gerakan di sekitar kompor
terhenti. cuma sesaat Kemudian
segala sesuatunya kembali
'memasak sendiri". Sambil
menyeringai. aku bergumam:
"Kau membuatku lapar... " 
   Tak ada sahutan. 
   Perabotan terus saja bekerja.
NaSi goreng terus saja diaduk di
katel. Kutunggui dengan asyik.
Sebuah serbet mengudara pula
hinggap di kuping kiri kanan
panci. Ternyata ada air
mendidih, yang dalam sekejap
telah berpindah tempat ke dalam
ember yang sudah tersedia.
Pegangan plastik ember itu
terangkat, ember bergerak dan
berhenti di depan kakiku.
Pegangannya jatuh lagi. Dan
uap panas menyelinap nakal
lewat celah selimut. merayap
sampai di kelangkanganku. 
   "Hem. Jadi aku harus mandi
dulu. Habis itu. baru ngobrol?"
aku nyeletuk. Daun pintu dapur
bergerak tiba tiba. Sebelum
menghantam batang hidung.
cepat aku menyingkir mundur.
Untung ember berada di luar
dapur. kalau tidak tentulah
isinya tumpah mengenai kakiku.
Sambil geleng-geleng kepala
memikirkan pernyataan
kesalnya. aku membawa ember
itu ke kamar mandi.
Bersenandung sumbang, karena
pikiranku masih tercurah pada
kejadian malam tadi. Aku masih
bersenandung ketika menaiki
tangga, dan baru menghentikan
suaraku yang memang tidak
enak didengar, setelah kaleng
panci berbunyi ribut dari dapur.
dipukuli sendok sebagai musik
pengiring bernada mengejek. 
   "Sialan!' aku memaki pelan.
masuk ke kamar. Ganti pakaian. 
   Pagi itu. seperti biasa aku
sarapan sendiri. Ia, seperti biasa
pula. duduk di seberang meja
dan kadang-kadang berdiri
untuk menuangkan teh atau
beranjak ke dapur waktu aku
ingin kecap. Selesai aku makan,
dia beberes. Sembari
memandangi perabotan bekas
makan pada mengudara, aku
bergumam tak tahan: "Hei,?" 
   Piring tergantung di
permukaan meja. 
   Ia tengah menatapku. aku
yakin. 
   "Mau duduk sebentar" Ada
yang mau kuperbincangkan....' 
   Piring itu mendarat dengan
halus. seperti benda dari
angkasa luar saja layaknya.
Kursi di seberang meja
bergeser. la duduk. seraya
mengisi gelasku yang kosong
dengan air teh panas.
"TerimakaSih." ujarku. tulus.
Teko mendarat pula di tempat
semula. Mulus. Setelah itu.
kesepian tergantung di
langit-langit. Agak lama. baru
aku dapat menemukan kalimat
yang kuanggap paling baik:
"Kau sadar apa yang telah kita
lakukan tadi malam, bukan?" 
   Diam. 
   Dia diam. 
   "Aku menyukainya." "aku lagi.
terus terang Apakah ia juga
menyukainya" Apakah ia malu"
Apakah ia tersipu-sipu" Apakah
kulit mukanya bersemu merah.
lantas merunduk atau berpaling
menyembunyikan isi hati"
Sungguh malang. aku tidak akan
pernah tahu. Karena itu
kulanjutkan saja: "Mungkin
yang kita perbuat itu tidak punya
arti apa-apa buatmu.?" 
   Kalimatku terputus oleh
gerakan taplak meja yang
setengah tertarik ke seberang,
melipat dan menekan ke arah
bawah. Ia telah
mencengkeramnya. 
   "Kuharap. seperti aku maka
kau juga menyukai dan bahagia
dengan apa yang telah kita
perbuat,' kataku. memperbaiki
kalimat sebelumnya. Lipatan
dan tekanan di ujung meja.
pelan-pelan mengendur.
"Kuulangi sekali,lagi. 
   Aku menyukainya... dan,
menikmatinya. Belum pernah
aku... sebahagia tadi malam." 
   Tersenyumkah dia'" 
   Atau, mencibir" 
   'Hei .. kau masih di Situ?" 
   Ada detakan-detakan kaki
lembut di bawah meja_ dan
taplak yang dilurus luruskan di
depan. 
   'Aku masih di sini." tentu itu
yang dia maksudkan. 
   Aku meneguk tehku. Masih
ragu ragu. kujilati pula bibir
sebentar. Baru kemudian; .
begini.. Setelah apa yang terjadi
tadi malam, antara kita berdua ..
yah. kita semakin intim dan
semakin dekat satu sama lain
Itulah yang kumaksud. Dan. . ' 
   Dan. taplak meja terlipat-lipat
lagi. 
   Dia tak sabar. 
   "Untuk tidak berbelit." kataku
cepat cepat. "Kau telah tahu
Siapa aku. Aku tak mendengar
kau memanggilku. tetapi kukira.
dari duniamu kau sudah sering
memanggil namaku. Nah. Apa
salahnya. kalau aku juga
mengetahui namamu" Jadi aku
tak usah berhei hei lagi
Semenjak ini. aku dapat
memanggilmu Misalnya Tien.
Lies, atau Neneng"." kutunggu
reaksi dari seberang meja Sepi.
Diam. 
   Demikianlah yang terjadi. 
   Tanpa dapat dikendalikan. aku
telah menembak. Menembak
tanpa berpikir panjang, lewat
mulutku yang tergetar karena
sudah 
lama penasaran ingin
mengatakannya: 'Aku... kau
lebih suka kupanggil madame ralantula"
Itulah namamu yang benar.
bukan" madame ralantula Magdalena.
sebuah nama yang "' 
   Taplak meja
sekonyong-konyong tertarik ke
depan. Tidak pelan. tidak pula
sedikit. Taplak meja itu tertarik
seluruhnya. Perabotan bekas
makan terhumbalang kian
kemari. Baskom berisi sisa nasi
terlempar ke lantai. Teko
terguling membentur salah
sebuah kursi. lalu pecah terderai
setiba di lantai. Menyusul
sebagian perabotan bekas aku
makan. Sebagian, kubilang.
Karena sebagian lagi punya
tugas tersendiri 
   Mula mula gelas 
   Sebelum gelas itu jatuh. dia
telah menyambarnya dan
melemparkannya ke arahku.
Reflek. aku mengelaka Namun
toh sisi kepalaku terserempet
juga. Sendok garpu kemudian
terbang bagaikan senjata masa
datang yang ditembakkan dari
lubang kanon. Meluncur cepat
sekali. Kursi yang kududuki
terbanting setelah aku berguling
guling untuk menghindari
ceceran peluru peluru ajaib itu.
Sendok berdentang menghantam
rak di dekat tembok. Garpu
menghunjam dalam ke tembok di
atasnya. 
   Aku tercekat. 
   Pucat pasi. Andaikata garpu
itu menghantam jidatku." 
   Selagi bersiap menunggu
serangan berikutnya. .mataku
liar mengawasi ke depan. ke kiri.
ke kanan karena aku tidak tahu
di mana ia saat itu ambil ancang
ancang. Yang penting kulakukan
hanyalah merapat ke tembok
dan siap menunggu serangan tak
terduga. 
   Lalu krompyang, taak! Baskom
nasi terhumbalang di lantai.
Tunggang langgang. Kukira ia
telah menyepaknya sambil
berjalan pergi ke... ya. kemana"
Atau pura-pura pergi, me
nunggu aku lengah dan ia
melakukan serbuan dadakan" 
   Sepi bagai di kuburan. 
   Setelah hingar bingar yang
hanya beberapa detik itu. benar
benar terasa sangat sepi seperti
di kuburan. Dan ah... apakah
rumah itu bukan merupakan
kuburannya" Tingkah laku dia
jelas menunjukkan aku benar.
Dia adalah madame ralantula Magdalena.
madame ralantula yang dibunuh oleh laki
laki yang mencintai dan
memeliharanya sebagai isteri
muda, lama berselang. Di rumah
ini. 
   Pak pung oil bilang, madame ralantula
telah pergi. Minggat
meninggalkan rumah ini. Rahib
tanpa kabar berita. Tetapi Pak
pung oil bilang, timbul juga
desas desus madame ralantula telah mati. la
dibunuh. Di rumah ini" Mungkin
juga di tempat lain. Lalu
arwahnya kembali ke rumah ini,
karena ia mencintai rumah ini.
Kalau saja aku tahu di mana
mayatnya ditanam.... 
   Sepanjang hari, pintu
berdentam-dentam. 
   Ya pintu dapur, ya pintu kamar
mandi, ya pintu-pintu kamar
tidur. Isi rak berhamburan di
lantai bawah. Tetapi tidak ada
lagi serangan 
   yang ditujukan ke arahku.
setelah suatu saat aku berteriak
melawan kesunyian yang
menakutkan di sekelilingku:
"Mengapa harus marah" Apa
salahnya aku mengetahui
namamu" Aku menyukainya!
Aku juga menyukaimu! Tak usah
malu mengenai masa lalu! Kau
tetap adalah kau yang kukenal
selama ini. Tak akan aku
berubah pikir!" 
   Tak ada reaksi untuk beberapa
jam. 
   Apakah karena apa yang
kuucapkan" Atau, yah... apalagi
kalau bukan! Ada tamu tibatiba
muncul di rumah. bu dejah . tukang
sayur. Sambil meninjau ke
dalam. ia bertanya: "Lagi
berteriak pada siapa?" 
   'Berteriak"' sahutku. malu.
"Apakah tadi aku berteriak?" 
   "He-eh. Kudengar kau
mengucapkan?" 
   'Oh. Oh. Rupanya aku terlalu
larut dalam lamunanku." 
   'Lamunan?" 
   'Ya. Aku hidup dari melamun,
bukan?" 
   bu dejah  bingung sebentar.
kemudian tertawa bergelak.
Katanya: "Kau orang beruntung,
Nak. Orang lain akan pusing
kepala dan bisa gila kalau
terus-terusan melamun. Sedang
kau, justru dapat duit!" 
   Sebelum pergi, ia dengan
sengaja mengantarkan barang
belanjaanku ke dapur. Dan
mengeluh heran: "Kok
berantakan begini" Apakah
kalau kau melamun. seisi rumah
kau hancurkan?" Bukan
pengarang namanya. kalau aku
tak segera menemukan jawab:
"Tadi ada tikus naik ke meja
makan, Bi. Lima ekor,
bayangkan' entah dari mana
datangnya. Aku begitu marah,
sampai taplak meja kurenggut
sekaligus dalam usahaku
meringkus binatang-binatang
menjijikkan itu. Tetapi aku kalah
pengalaman Kalah cepat...." aku
tersenyum. bu dejah  ikut pula
tersenyum. "Seekor hampir
tertangkap olehku. tapi keburu
lolos. Habis. terganggu ketukan
bu dejah  di pintu!" 
   'Maaf. Nak ibnu nautilus . Bibi sungguh
engga tahu. Tetapi ya... kukira
bukan hanya lima ek0r. Mungkin
ratusan ekor tikus di rumah ini.
Maklum. sudah lama kosong tak
berpenghuni dan kalau sedang
kosong, bukan sekali dua
kudengar suara berisik di
dalam"." 
   "Oh ya?" 
   Seorang tetangga berseru
dikejauhan. "Bi" bu dejah " Kau
bawa ayam potong?" 
   bu dejah  berlalu. 
   Dan, pintu demi pintu
berdentam dentam lagi. Aku
sibuk beberes segala perabotan
yang bergelimpang di bawah.
Menyapu, mengepel. Namun
segera berantakan lagi. Karena
begitu kususun atau kuletakkan
di tempat semestinya. dia sudah
mengacak-acaknya lagi. 
   Karena jengkel. akhirnya
kubiarkan! 
   Aku mengenakan sepatu dan
jaketku, beranjak ke pintu
depan. Di Situ. aku mengawasi
ke dalam dan berkata:
"Puaskanlah kemarahanmu. 
   Aku akan pergi.
Bersenang-senang di luar!" 
   Sebuah buku besar terangkat
dari rak. melayang di udara. 
   Buru buru pintu kututup di
belakangku. Buku besar itu
menghantam deras di balik
pintu. Aku geleng kepala, tak
habis pikir. Kemudian
benar-benar mencari
kesenangan di benteng kota hutan terlarang. Minum
sampai mabuk di rumah seorang
rekan dan hampir jadi bercumbu
di kamar seorang pelacur kelas
menengah. 
   Kukatakan hampir, sebab
begitu aku mulai menggeluti
pelacur itu. pikiranku terbayang
pada madame ralantula. Kutahan
gelutan-gelutan bernafsu si
pelacur. Membayar uang lelah
yang semestinya  kemudian
meninggalkannya tanpa
menjelaskan mengapa pikiranku
berubah. Rekanku masih asyik di
kamar lain. Jadi ia
kutinggalkan. 
   Aku langsung naik ke
kendaraan umum, pulang 
   Tiba di rumah. kutemui
kesunyian yang merasuk dalam
sampai ke sanubari. Suasana
tidak lagi berantakan. Semua
telah bersih.Rapi dan licin habis
disapu. Tetapi dia tidak
memperlihatkan diri. Tidak pula
terhidang makan sore, atau kopi
dan penganan ringan waktu aku
duduk di belakang meja,
menghadapi mesin tik. 
   Satu setengah bungkus rokok
telah kuhabiskan dengan hasil
paru-paruku gersang, beberapa
kali aku batuk-batuk, dan entah
sudah berapa puluh lembar
kertas yang kurobek karena
gagal menemukan ilham.
Benakku hanya diisi oleh dia.
dia dan dia lagi. 
   Tengah malam, aku tegak
diberanda. 
   Menatap ke lantai bawah.
Entah mengapa, setiap kali dia
kucari, aku selalu berbuat sama:
menatap ke lantai bawah.
Apakah itu suatu magnit atas
kehadirannya" Barangkali bisa
juga berarti: mayat madame ralantula
Magdalena ditanam di lantai
bawah. Atau di sekitar lantai
bawah. Entah di dapur. entah di
ruang tamu. entah di kamar
mandi. 
   Gelisah
menghubung-hubungkan
kemungkinannya. aku berdesah
lirih: "madame ralantula?" 
   Lengang. 
   Dingin menusuk. 
   "madame ralantula. Dengarkan," aku
mengeraskan suara, karena tak
juga ada reaksi. "Kutahu. kau
ada di situ. Jadi. dengarkan. Aku
meminta maaf, karena telah
berusaha mengorek masa lalumu
dari orang lain...." Teringat
semuanya sudah rapih ia
bereskan, aku menambahkan:
"Kutahu pula, kau telah
memaafkan aku. Jadi. Mengapa
kita tidak kembali pada keadaan
semula" Aku merindukan
kehadiranmu. Dengar" Aku
merindukan kehadiranmu. tak
perduli siapapun kau adanya.' 
   Diam. 
   Membeku. 
   'Hei!' aku setengah berteriak.
'Hei. Perlihatkanlah dirimu
barang sejenak!" 
   madame ralantula memperlihatkannya. 
   Tidak di lantai bawah. Tidak
ketika aku sedang sadar
sepenuhnya. Ia baru muncul.
setelah aku memutuskan untuk
tidut saja; apapun yang terjadi.
terjadilah! Mataku sudah berat
menahan kantuk. Tetapi aku
belum pulas benar. manakala
dia muncul. 
   madame ralantula datang menembus daun
pintu. 
   Langkahnya pelan. Bimbang.
Ia masih tetap mengenakan gaun
putih yang sama. Hanya kini.
gaun putih itu berubah warna di
beberapa tempat. Ada
noda-noda merah. Darah. Aku
juga melihat genangan darah di
sisi kepala dan telinga
kanannya. Kemudian aku
melihatnya. Melihat luka
menganga di atas telinga, dan
barut-barut bengkak membiru
melingkari lehernya. 
   Mimpi buruk itu membuat
napasku sesak. 
   Lalu kudengar dia berkata.
getir: 'Kau ingin tahu siapa aku,
bukan" Nah. inilah diriku yang
sebenarnya....' suara madame ralantula
terus bergaung: sebenarnya...
sebenarnyaaaa." 
   Mataku terpejam. 
   Rapat bercampur ngeri. Waktu
kubuka lagi. bayangan tubuh
mengerikan itu mulai mengabur.
Suaranya pun makin sayup: "...
apakah kau masih tetap akan
menganggapku sebagai "hei'mu
yang cantik" "Hei'mu yang tidak
bernoda" Masihkah kau akan
tetap menyayangiku...
menyayangiku...
menyayangikuuuu....' 
   Gaung suaranya semakin jauh
dan jauh. 
   Kemudian lenyap. tak
berbekas. 
   Seperti juga bayangan
tubuhnya. Sirna, tak berbekas. 
   Aku terlonjak bangun. Tak
sadar, berteriak: "madame ralantula.. !' 
   Dan hujan, terhempas-hempas
jatuh di atas rumah. 
   Aku mengerang: "madame ralantula,
madame ralantula. madame ralantula... aku bermaksud
menolongmu. Aku ingin
membuat rohmu hidup tenteram"
Meski. itu berarti... kita mungkin
harus berpisah." 
   HUjan kian menderas. 
   Gigiku bergemeletukan, tak
kuat menahan udara dingin yang
melesat bersama uap hujan dari
ventilasi jendela. Dalam gigilku,
aku merintih: 'Aku sayang
padamu, madame ralantula.' 
   Angin dan uap hujan berhenti
merembes. Waktu aku melirik,
ternyata sehelai kain tebal telah
digumpal-gumpalkan pada celah
celah ventilasi. Udara berubah
hangat. tetapi masih tetap dingin
di satu arah. Tak ada yang
bergerak. Tak ada yang
bersuara. 
   Tahu-tahu saja. pundakku
sudah dielus. 
   Aku terpaku. Tenggelam dalam
keharubiruan, hampir menangis
karena tidak tahu bagaimana
caranya mengungkapkan
perasaanku. 
   Lalu, dia mencium bibirku. 
   Lembut. bergetar. 
  
   Bukan sekali itu saja dia
marah besar. 
   Pernah aku mengetik dua hari
tiga malam nonstop. Lupa
makan lupa tidur, saking
keranjingan cerita yang tengah
kukerjakan. Kertas yang sedang
kuketik. tanpa pemberitahuan
mendadak sontak disentak dari
depanku. Mesin tik
melayang-layang ke langit dan
hampir terbang menuju mukaku.
Aku baru mau mengelak. mesin
tik sudah mundur sendiri lantas
terhempas jatuh dengan suara
ribut di meja. 
   Selagi aku ternganga-nganga
kaget. terdengar suara menepuk
nepuk di kasur dan bantal. Dia
menyuruhku tidur. Tetapi baru
juga aku mau rebah. kembali
tubuhku diseret ke lantai bawah.
Langsung didudukkan di
belakang meja makan,
sementara dia sibuk ke luar
masuk dapur. Habis makan, aku
buang hajat di kamar mandi. 
   Rupanya aku tertidur di kloset
duduk. 
   la menggedor gedor pintu
dengan marah. Pintu bukan
sekali dua dia gedor. Suatu hari,
aku sedang mengetuk-ngetuk
tembok dan lantai untuk mencari
bunyi hampa udara. kalau-
kalau di sebaliknya kutemukan
tempat mayat madame ralantula ditanam.
Pintu ia gedor. ia
hempas-hempaskan. Kertas tik
berhamburan di kamar tidur.
dan pada ban mesin tik terjepit
sehelai kertas yang sudah diketik
olehnya, dengan umpatan kesal:
"Kau ingin cepat berpisah
dengan aku. ya?" 
   Aku terpaksa sibuk membujuk
agar dia tidak sakit hati: "Bukan
begitu madame ralantula. Kuingin, kau
hidup aman dan damai. Di
manapun kau juga adanya.
Apakah itu salah?" 
   Jawabnya: "Kalau toh kita
harus berpisah, biarlah waktu
yang menghendaki. Kecuali. kau
sudah bosan"." 
   "Bosan?" aku memeluknya
mesra. 'Lebih Suka aku
kehilangan ilham. ketimbang
kehilangan dirimu.' 
   Lalu aku berhenti ngetik
selama beberapa hari. 
   Kuisi waktu itu dengan
bercumbu dan main
kucing-kucingan bersama
madame ralantula. Tentu saja seisi rumah
jadi porak poranda, karena aku
tidak dapat melihat dia yang
kukejar atau ingin kutangkap,
sedang ia dengan mudahnya
mempermainkan dan tentulah,
mentertawakan diriku. Lututku
sampai bengkak karena
terbentur kaki meja. la
mengoleskannya dengan minyak
gosok. dan mengajaknya naik ke
ranjang. 
   "Lututku masih nyeri." Ujarku.
berlagak. 
   Ia tetap menyeretku ke
ranjang. 
   "Aduh, sakit!' aku berteriak. 
   Tetap saja. aku ditindihnya.
Ditindih udara dingin. hampa
tak berwujud tetapi lembut,
penuh gairah itu. 
   
Suatu hari. di luar dugaanku
bre mungli munggi muncul di rumah. 
   Ia datang sendirian. Menyapa:
"Belum menikah?" 
   Aku terpana oleh
penampilannya. Ia makin
dewasa. makin mengundang
lewat tatap mata dan bibirnya.
'Dari mana kau tahu aku tinggal
di sini," tanyaku. 
   "Aku punya mulut untuk
bertanya. Dan telinga untuk
mendengar. Lalu. kaki untuk
mencari. ia tertawa "Tak senang
dengan kehadiranku, Bang
ibnu nautilus ?" 
   "Aku, oh... aku...." belingsatan
aku dibuatnya. Mataku liar
mengerling kian kemari. Apakah
dia melihat" Apakah dia
mendengar" Akibat apa yang
bakal dia pertunjukkan sebagai
imbalan kehadiran bre mungli munggi" 
   'Menyembunyikan seseorang?"
tanya bre mungli munggi, menyeringai. 
   "Eh. tidak." 
   "Kau tidak mengirimku
n0vel-novelmu yang baru.' 
   "Mau" Sebentar
kuambilkan...." 
   'Tak usah. Abang kelihatan
ribut benar. Kuatir ketahuan
seseorang ya" Baiklah
kuberitahu. Aku tak lama. Bang
ibnu nautilus . Cuma mau memberitahu
dan sekalian mengundangmu....' 
   "Untuk?" 
   "Aku akan menikah. Minggu
depan." 
   "Kuucapkan selamat." dan
kuulurkan tangan sebagai
ucapan selamatku yang tulus
hati. bre mungli munggi menyambutnya.
tetapi kemudian tidak
melepaskannya. Ia malah
menarik tanganku sehingga
tubuhku rapat dengan tubuhnya.
Katanya: 'Hanya sekedar uluran
tangan" 
   "bre mungli munggi..." 
   "Ciumlah aku, Bang ibnu nautilus ." 
   "Uh?" 
   'Cium perpisahan Yang
berkesan. tentu saja Sebelum
aku dimiliki laki-laki yang bakal'
jadi suamiku, dan aku suatu
ketika merasa penasaran kalau
kebetulan membaca novelmu " 
   "Nggg. .." 
   "Ayo dong?" bre mungli munggi menaikkan
tumit kaki nya mendongakkan
wajah. Mata setengah terpejam.
mulut terbuka mengundang.
Sempat kulihat lidahnya
menggapai. Merah. basah. Aku
gemetar. Merunduk tak sadar.
Moncium bibir merah hangat
itu, mengulum lidah lembut
basah itu. 
   Musik menghentak di kamar
tidurku yang terbuka. 
   Dia telah memasang tape,
menghidupkan ampli dan
memutar volume tinggi sehingga
seiSi rumah seakan mau pecah
berantakan. Tak sampai di situ. 
   'Blam! Blam! Blam! Pintu
kamar tidur dihempas tertutup
terbuka. 
   bre mungli munggi mundur dengan kaget. 
   "Jadi kau sudah punya
sekretaris baru." katanya. 'Boleh
dong ya aku berkenalan ' 
   Ia bergerak menuju tangga. 
   'Jangan!" aku berteriak
mencegah. 
   "Kenapa"' 
   "Dia.. dia galak. Sangat galak.
Kalau tak percaya.. .' 
   bre mungli munggi terpaksa harus percaya
kata-kataku Karena botol
Tipp-Ex penghapus ketikan.
pulpen dan benteng kota hutan terlarangk perlengkapan
barang melayang lewat pintu.
lurus menerjang ke arah tempat
aku dan bre mungli munggi berdiri. Gadis itu
ternganga sejenak. benteng kota hutan terlarangk kayu
itu terbang ke arah mukanya.
Aku melesat maju, menahan
benteng kota hutan terlarangk itu sehingga lenganku
bagai terpotong oleh benda
keras dan Hem, dan benteng kota hutan terlarangk
terhumbalang ke lantai. Hancur
berantakan. 
   "Sekretaris macam apa dia
itu"' keluh bre mungli munggi, pucat pasi
   Ia merayap ke pintu depan.
Memandang tajam ke lantai
atas. mengawasiku dengan
bingung. kemudian: "Sampai
ketemu." ia mencoba tersenyum,
lantas terbang masuk ke dalam
mobilnya di depan rumah. 
   Setelah mobil meluncur pergi.
baru terasa lenganku yang sakit
alang kepalang. 
   Siku kananku. berdarah, 
   'Jadah." aku mengumpat. 
   Sebagai jawabannya,
perabotan di dapur
berkelentangan riuh rendah dan
baru berhenti ketika malam tiba.
Aku terpaksa masak sendiri sore
hari itu. Membuat kopi sendiri
malamnya, dan terbaring
kesakitan di tempat tidur karena
siku yang membengkak biru. 
   Kali ini ia tidak muncul untuk
mengobati lukaku. 
   Ia tidak pula hadir selama
beberapa hari berikutnya
Terpaksa aku sibuk melakukan
pekerjaan rumah yang selama
ini tidak ia perkenankan aku
kerjakan sendiri. Untungnya,
tidak pula dia mengganggu.
Semua kemudian tampak bersih
rapih. dan dari beranda aku
menatap ke lantai bawah. sedikit
mengangkat dagu. 
   Tak ada yang kuucapkan. 
   Tetapi kuharap ia tahu apa
yang kumaksud: "Tanpa kau,
akutoh dapat berdiri sendiri'" 
   Masih saja sepi. 
   Masih saja lengang.'seolah
rumah itu benar-benar tak
berpenghuni. Mendadak. aku
mulai ketakutan. Ketakutan yang
dialami setiap orang yang
pernah jatuh cinta begitu
mendalam, dan suatu ketika
menyadari Cinta itu telah
berakhir begitu kejam. 
   Aku takut. ya takut kehilangan
dia! 
   Lalu, suatu hari tamu asing itu
muncul di rumah. 
   Ia tegak di depan pintu yang
kubuka, dengan mobil mulus
berwarna gelap yang diparkir di
pekarangan, sebagai latar
belakang. Malam baru saja
jatuh, dan agak lama baru aku
dapat mengenali laki-laki itu
yang melempar seulas senyum
manis sebagai ganti kata
selamat bertemu. 
   "Mogok lagi?" aku
menyeringai. 
   "Syukur tidak.' jawabnya,
ramah. "Boleh masuk" Kau
pernah menawarkan segelas
minuman, kalau tak salah.' 
   "Tentu saja. Silakan,' kataku,
suka ria. Aku sedang tidak
bernafsu mengetik, dan sudah
lama aku tidak ngobrol dengan
dia yang telah menghilang
begitu saja ke alam gaib. 
   Tamuku masuk dan
meletakkan tas yang ia bawa
dekat kursi yang ia duduki. 
   "Aku baru pulang dari luar
benteng kota hutan terlarang. Biasa, tugas." katanya
menjelaskan. "Rupanya saking
gembira karena usahaku yang
menemUi sukses, aku tadi terlalu
banyak minum. Waktu
mengemudi mobil. baru tahu
kalau aku masih agak mabuk.
Tak ada hotel atau penginapan
di sekitar sini... jadi ketika aku
lihat lampumu masih menyala.
kuputuskan untuk singgah' 
   Kuamat-amati tamuku itu. Ia
sudah setengah baya. Masih
kekar, berotot. 
   Wajahnya yang subuh hari itu
hanya kelihatan samar-samar.
kini tampak jelas dalam 
jilatan lampu ruang tamu.
Matanya tidak berseri. Mungkin.
ia memang masuh mabuk.
Lipatan pada dahi,'sudut sudut
mata dan bibir terpeta jelas.
Buatku lipatan-lipatan serupa
mengingatkan aku pada bekas
mertuaku dulu; ayah Rosnah
seorang pekerja keras, ulet.
Tetapi juga mengingatkan aku
pada lipatan-lipatan wajah
salah seorang rekanku sesama
pengarang' tidak pernah
bahagia pada saat terakhir
kariernya yang semakin
meluncur ke bawah. 
   "Secangkir kopi mungkin
membantu "' ujarku. lalu bangkit
dan menyedu dua cangkir kopi
di dapur. 
   Waktu aku kembali lagi ke
depan. tamuku nampak setengah
tertidur. 
   "Ngantuk?" aku bertanya. 
   "Kepalaku berat sekali
rasanya." ia mengangguk.
'Tetapi setelah minum kopi.
kukira aku akan segar
kembali....' Ia mengawasi
keadaan di sekitar kami.
Mendesah; "Masih tetap
sendirian?" 
   Ya
   'Bung mestinya menikah ' 
   "Aku ingin." 
   'Kau ditinggalkan" Atau kau
yang mengecewakan mereka?" 
   'Entahlah. Mungkin karena
belum ada yang cocok di hati."
aku tersenyum dan
mempersilahkan ia meneguk
minumannya. Bersamasama
kami mengangkat cangkir.
Berjilatan lampu ruang tamu.
Matanya tidak berseri. Mungkin.
ia memang masih mabuk.
Lipatan pada dahi,'sudut-sudut
mata dan bibir terpeta jelas
Buatku lipatan-lipatan serupa
mengingatkan aku pada bekas
mertuaku dulu; ayah Rosnah
seorang pekerja keras, ulet
Tetapi juga mengingatkan aku
pada lipatan-lipatan wajah
salah seorang rekanku sesama
pengarang' tidak pernah
bahagia pada saat terakhir
kariernya yang semakin
meluncur ke bawah. 
   "Secangkir kopi mungkin
membantu ...' ujarku. lalu
bangkit dan menyedu dua
cangkir kopi di dapur. 
   Waktu aku kembali lagi ke
depan. tamuku nampak setengah
tertidur. 
   'Ngantuk?" aku bertanya. 
   "Kepalaku berat sekali
rasanya." ia mengangguk.
'Tetapi setelah minum kopi.
kukira aku akan segar kembali."'
la mengawasi keadaan di sekitar
kami. Mendesah: "Masih tetap
sendirian?" 
   Ya !! ' 
   'Bung mestinya menikah ' 
   'Aku ingin." 
   "Kau ditinggalkan" Atau kau
yang mengecewakan mereka?" 
   'Entahlah. Mungkin karena
belum ada yang cocok di hati,'
aku tersenyum dan
mempersilahkan ia meneguk
minumannya. Bersama-sama
kami mengangkat cangkir.
Bersama-sama kami meneguk.
Dan sama pula lamunannya:
tegukan yang sedikit. Tegukan
tak berselera. Cangkir-cangkir
diletakkan kembali di meja.
maSih terisi penuh. 
   'Maaf " katanya. "Boleh minta
gula sedikit" Aku keranjingan
yang manis-manis belakangan
ini , 
   Tamu yang terang-terangan
tetapi sopan. pikirku seraya
beranjak ke dapur. Aku kembali
lagi membawa sendok dan botol
kecil tempat gula. Tamuku
buru-buru menjauhkan tubuhnya
dari meja duduk. tampak sedikit
gugup. Selagi aku berpikir
mengapa ia gugup. tamuku
sudah berkata: "Ah. betapa
lancangnya aku." dan ia
menerima benda yang
kusodorkan menambahkan
setengah sendok gula ke cangkir
dan mengaduknya. 'Lebih enak
sekarang," katanya tersenyum
setelah meneguk isi cangkirnya. 
   Aku minum pula. untuk
menghormati tamuku. 
   Habis setengah cangkir. Tidak
kutambah gula. tetapi kopi di
cangkirku kok rasanya lebih
lezat, lebih harum dari biasa.
Sisa yang dicangkir habis pula
selagi kami ngobrol tentang
cuaca akhir-akhir ini dan
tentang damainya hidup di
pedesaan. 
   Mungkin karena obrolan itu
membosankan. aku mulai
mengantuk. 
   Begitu hebat keinginan untuk
tidur, namun aku tetap bertahan
agar terjaga karena tamuku 
belum memperlihatkan
tanda-tanda mau pamit. Melihat
aku menguap. tamuku mengerti.
Katanya: "Wah, sudah larut
rupanya. Masih senang ngobrol,
tetapi?" 
   "Mengapa tidak tidur saja di
Sini?" aku mengundang. 
   Ia tampak ragu sebentar.
Kemudian: "Hem, bagaimana
ya. Besok memang aku harus
kembali ke luar benteng kota hutan terlarang. Ke tempat
yang sama. Tak begitu jauh dari
desa ini. Tetapi?" 
   "Cuma cuma." aku tersenyum.
sebagai tuan rumah yang baik
dan memahami kesulitan
tamunya. "Tak perlu segan." 
   "Aku senang sekali."
jawabnya. 
   "Mari kutunjukkan kamar
untuk Anda"." tasnya mau
kutolong bawakan. 
   "Biar olehku." katanya, dan
memegang tasnya kuat-kuat.
Barang berharga, pikirku.
Emangnya aku seorang pencuri.
pikirku lagi, agak sakit hati.
Namun sakit hati itu semakin
lenyap, bersamaan dengan
semakin merosotnya pula
kesadaranku. Begitu kamarnya
kutunjukkan. aku sudah tidak
kuat lagi berdiri tetap. Yakin
segala sesuatu siap pakai di
kamar tamu, aku meminta maaf:
"Tak apa saya terbang dulu ke
dunia impian?" 
   "Silahkan," ia tertawa. "Siapa
tahu. ketemu peri cantik." 
   Peri cantik itu memang ada di
rumah ini. 
   Ke mana dia gerangan" 
   Masuk ke kamar. aku langsung
rebah di 
kasur empuk hangat. Sekilas
terlintas pertanyaan di benak:
siapa sih nama tamu tadi" Aku
lupa bertanya. Hanya
samar-samar dalam obrolan
kami kuketahui ia seorang
pengusaha di "Jakarta dan tak
jauh dari desa ini ia punya anak
perusahaan yang belum lama
diresmikan. Ah, namanya. Siapa
ya" Nama perusahaannya apa"
Beroperasi dalam bidang apa"
Di mana ia tinggal" Berapa
orang anaknya" 
   Aku pulas dengan segera. 
   Tak ingat apa-apa lagi. Hei.
suara apa itu.... Siapa yang
membuka pintu dan kemudian
menutupkannya lagi
perlahan-lahan" 
   Terpejam lagi mataku. 
   Kian rapat. Seolah kelopak
mataku direkat dengan plester. 
    
   Gadis bergaun putih itu
menari-nari di depanku. Menari
nari liar. Tak beda dengan
orang kesurupan, ia menceracau
kacau. berteriak-teriak histeris.
Pekak telingaku dibuatnya. Tak
tahu apa yang ia ucapkan. Tak
tahu apa yang ia teriakkan.
Dalam kebingunganku. kulihat
gadis itu menunjuk nunjuk. Aku
diam saja. Ia melonjak-lonjak,
terus menghempas hempas
marah. Karena aku tetap diam,
ia mulai menangis. Putus asa. 
   Aku menggeliat. Resah. 
   Mata tetap berat. Hasrat tidur
masih juga menggebu-gebu.
Tetapi dia terus mengganggu
Muncul sekali lagi. Kali ini. ia
tidak menari. Dia berjalan
lemah gemulai ke tempat
tidurku. Pinggulnya bergoyang,
menimbulkan gairah. Susah
payah. mata kubuka. Ia semakin
dekat. semakin nyata. Tiba di
tepi tempatku tidur. ia
membungkuk tiba tiba. Matanya
melotot hampir ke luar. mulut
menyeringai seram. Dari luka
menganga di kepalanya darah
mengucur deras. Lehernya yang
bengkak membiru pelan pelan
rekah. berdarah. 
   Sambil menyeringai, ia terus
membungkuk. 
   Mau menciumku. 
   'Jangaaaann...!" aku berteriak
nyaring. Dan tenaga seketika
Sekujur tubuhku banjir keringat.
Kantuk masih terasa. menggoda
Tetapi rasa takut menyerbu lebih
kejam. Liar mataku mencari
cari. Tetapi aku tidak
menemukan gadis bergaun putih
di kamarku. 
   Yang ada, cuma udara dingin. 
   Menyergap. menghentak
hentak kacau. bagaikan orang
yang dilanda panik. Kemudian
aku mendengarnya. Suara
berisik di ruang bawah. Apakah
pencuri itu tetah datang lagi"
Apa yang menarik hatinya di
rumah kosong ini" Aku toh tidak
punya sesuatu yang berharga.
   Berjingkat-jingkat aku
mendekati pintu. 
   Lantai bawah gelap gulita.
Begitu pula ruang tamu. Dapur
sunyi sepi. Tetapi pintu kamar
mandi terbuka. Lampu menyala
di dalam. seseorang sedang
sibuk mengungkit tegel kamar
mandi dengan sebuah linggis
kecil. Ada bungkusan kecil
tergeletak dekat kakinya. Dialah
pencuri yang dulu itu. Dan
waktu aku berjingkat jingkat
menuruni tangga, ia mendengar
dan berpaling. dia kukenali
sebagai... wah. tamuku. Tamu
asing yang begitu gampang
diajak menginap di rumahku! 
   "Lagi apa?" tanyaku. heran 
   Si tamu meloncat berdiri
'Menyingkirlah" ia berbisik.
Kemudian menggeram.
"Menyingkirlah!" 
   'Apa"' lampu kunyalakan.
Lantai bawah terang benderang
seketika. Lantas seraya
menuruni anak tangga demi
anak tangga, aku berkata
mengejek; "Kau suruh aku
menyingkir" Biar kau seorang
yang mengangkangi harta karun
itu?" 
   "Tak ada harta karun di sini!"
ia berjalan ke luar dari kamar
mandi. 'Begini....' katanya. pas
ketika aku sudah tegak di
depannya. 
   "Duk." 
   Sebuah pukulan keras dan jitu
menghantam tengkuk. Aku
sempat berkelit. Toh pukulan itu
mendarat iuga, tetapi tidak
telak. Sakit bukan main Mataku
berkunang-kunang. "Aku sudah
menyuruh kau supaya pergi"." ia
mendengus dan menyerbu ke
depan. Aku melompat mundur.
Sambil mundur tanganku
menangkis datangnya pukulan.
Malang. terpegang olehnya.
Tubuhku dibetot. Kutendang
kakinya. la menjerit pelan. tetapi
tidak terjatuh. Malah dengan
buas ia mencengkeram
pinggangku. 
   Tanganku menggapai apa
saja. 
   Terpegang pahanya. Kujepit
dengan kedua lengan. Dalam
posusi yang tanpa aturan itu.
kami berdua jatuh bergulingan
di lantai. Ganti berganti di
bawah, di atas. memukul dan
dipukul. 
   "Kau memasukkan obat bius
ke cangkir kopiku!" aku
berteriak marah. setelah dapat 
memahami Situasi. 
   "Dan kau. terkutuk! Kau
ternyata cukup kuat melawan
pengaruh pel itu.. ia balas
berteriak sambil menjepit
leherku dengan kuat 
   Bukan. Bukan karena aku
mampu melawan pengaruh obat
itu. 
   Tetapi dia telah
membangunkan aku. Dia
memperingatkan aku. Dia'
madame ralantula. 
   Tersengal sengal kehabisan
napas. aku mengeluh: " .. kau...
kau mau mencekik aku pula...
seperti kau... mencekik madame ralantula?" 
   Itu suatu dugaan dan tuduhan
yang membabi buta. 
   Namun herhasil mengurangi
jepitan tangannya yang kekar
pada leherku. Kaki kugerakkan
dengan cepat. la terguling.
tetapi tidak melepaskan jepitan
mautnya, Karena kondisiku
belum pulih benar-benar.
dengan mudah ia menjatuhkan
dan menekan tubuhku di bawah
tubuhnya. 
   Tidak seorang pun boleh tahu
itulah syaratnya!" ia mendengus
dengan mata berputar putar liar.
"Kau dengar" Itulah syaratnya!
tidak seorang pun boleh tahu.
Kalau tidak. aku terpaksa
membunuh sekali lagi!" 
   Aku menjerit waktu
selangkanganku ia hantam
dengan lututnya. 
   Sekujur tubuhku lemah lunglai.
Jepitan pada leherku membuatku
sesak napas. pusing!  Mata
semakin berkunang kunang.
Tibalah saatku pikirku. Ya
Tuhan.. ! 
   Lalu terdengar suara
perempuan menjerit. 
   Suara yang datang dari alam
baka. Samar samar. aku melihat
sebatang linggis yang tadi
dipergunakan musuhku
mengungkit tegel kamar mandi,
meluncur ke tempat kami
berkutet. Meluncur deras bagai
panah dilepas dari busur. 
   "Hei .. apaa .!" laki-laki di
atas tubuhku. tertegun 
   Heran. bercampur takut. 
   Lalu Duk! Ujung linggis
menghantam lehernya. Untung
bagian yang tumpul. Namun toh
meninggalkan barut dan sakit
yang luar biasa, karena korban
serbuan linggis itu tercengkat.
mundur menjauhi tubuhku.
Mundur, terus mundur dengan
linggis terus pula mengejar.
memukul-mukul kacau tanpa
terlihat ada tangan
mengendalikannya. 
   Laki-laki itu tiba di pintu 
   Berkelit dari linggis
menghantam jendela. Kaca nako
pecah berderai-derai. Tamu
yang bingung dan ketakutan itu
kukira telah berlari memasuki
mobilnya. karena kudengar
suara mesin mobil
bergerung-gerung. Ban berdecit
ribut ketika dimundurkan ke
jalan raya, berdeCit lagi waktu
kabur meninggalkan tempat itu.
Namun sebelum ia sempat
kabur. masih kudengar Suara
kaca pecah hingar bingar dan
bunyi linggis jatuh di ialan
aspal. Mobil itu tentulah hancur
berantakan. setiba di benteng kota hutan terlarang .
   Aku bangkit sempoyongan. 
   Sekujur tubuhku tersiksa azab
sengsara yang menyakitkan.
Beberapa kali aku terjatuh.
bangkit lagi. mengeluh.
mengerang. merintih. Sampai
tangan-tangan yang halus tetapi
dingin itu mencengkeram
lengan-lenganku. Dia
membantuku berdiri Dan
memapahku ke arah tangga.
Dekat dengan telingaku, aku
dengar suara menangis yang
sayup-sayup sampai. 
   Lalu. 
   "Wah. Apa yang terjadi...
aduh. Nak ibnu nautilus ! Mengapa kau
?" seseorang berlarian masuk.
Tangan tangan gaib yang
menuntunku tadi, hilang lenyap
seketika. Karena tanpa
pemberitahuan. aku
terhumbalang jatuh. Syukurlah,
seseorang segera menangkap
tubuhku. Lamat lamat kukenali
dia sebagai bapa prabu, kepala
keamanan di daerah kami. "Ya
Allah. Siapa yang berbuat
sejahat ini padamu, Nak ibnu nautilus "
Ayo, tahanlah. Biar kubantu kau
naik ke atas..." 
   Ia merebahkan aku di
pembaringan. 
   "Tadi kulihat seseorang."
katanya seraya memeriksa leher
dan kepalaku kalau kalau ada
yang terluka. "Waktu kudekati.
ia sudah kabur dengan mobil.
Apakah dia.?" 
   "Pencuri!" aku mengeluh.
sakit. 
   "Dia" Tetapi Nak ibnu nautilus .
Mobilnya sejak tadi malam ...
   "Ia pura pura kemalaman.
Minta menginap. Lalu... haram
jadah, Apa dia kira aku punya
berkilo kilo emas di rumah ini?" 
   "Sudah. Istirahatlah. Sebentar
kupanggilkan Pak mpu jawijampi ." ia
berlari-lari turun dan tak
sampai seperempat jam ia telah
kembali pula dengan orang yang
ia maksud. Pak mpu jawijampi kukenal
sebagai menteri kesehatan di
puskesmas setempat dan sering
menggantikan tugas dokter
kalau dokter sedang
berhalangan datang 
   'Hanya luka memar. Tak
berbahaya.?" kata Pak mpu jawijampi
setelah memeriksa di sana sini
"Wouw. pasti luar biasa ketika
selangkanganmu kena ya" Aku
juga pernah menerimanya. Dari
isteriku." ia tersenyum. "Tak
usah kuatir. Aku punya
obatnya.?" 
   Aku juga tersenyum. 
   Bukan kepada Pak mpu jawijampi atau
Pak bapa prabu. Tetapi pada
seseorang yang berdiri di pojok
ruangan. Seorang yang begitu
putih, samar dan kabur. Dia
menatapku dengan mata kuatir
dan butir-butir air bening
melelehi pipi Pipi yang lembut
lunak halus, rambut yang
bergelombang indah, kepala
yang mulus tanpa luka leher
jenjang tanpa noda, gaun putih
yang tanpa bercak darah .
   'Minumlah ini," Pak mpu jawijampi
menyodorkan gelas. Setelah aku
melahap minuman sangat pahit
dan bau pesing itu, ia
meletakkan dua ples kecil di
meja. "Obat gosok," ia
menerangkan "Oleskan di leher
dan... itumu,' ia tertawa ringan.
"Sekali lagi. sekali waktu mau
tidur." 
   Pak bapa prabu yang sempat
menghilang se 
bentar muncul di pintu. 
   'Kaca depan berantakan.
Besok akan kupanggilkan
seseorang untuk
memperbaikinya_' ia berkata
Lalu meletakkan sebuah
bungkusan kecil di meja.
Bungkusan itu belum terbuka,
tetapi bayangan putih samar di
pojok menghilang seketika. 
   "Aku juga menemukan ini. Di
kamar mandi," kata Pak bapa prabu.
"Kau punya"' 
   "... ya. Ya itu aku punya."
sahutku, setelah bimbang
sejenak. 
   "Hem. Buat apa semua ini?"
Pak bapa prabu membiarkan kain
pembungkus terbuka. Di situ
campur aduk berbagai rempah
rempah. Bawang putih, beras
putih, kemiri, dan akar-akaran.
Juga sebutir telur ayam
kampung. sekuntum bunga
kamboja dan sebonggol garam. 
   Aku meram melek sebentar.
Baru menjawab, seenaknya:
'Obat sakit perut, Pak bapa prabu!" 
   "Oh ya. Mengapa ada di
kamar mandi?" 
   "Tadinya mau dicuci" ' 
   "Lantas?" 
   "Ya, dimasak. Putih telur
dibuang, ambil merahnya.
Bawang putih, kemiri, kembang.
dan garam ditumbuk sampai
lumat. Beras di... he. disangrai.
ditumbuk lumat pula. Masukkan
panci. Jerang di atas kompor.
Jangan lupa, pakar air...." aku
tertawa. Merasa geli dengan
leluconku. 
   "Kukira aku harus
memperhatikan resep 
itu," Pak mpu jawijampi berpikir-pikir.
"Obat kampung memang
kadang-kadang lebih mujarab
dari obat keluaran pabrik. Sakit
perut, hem. Mules" Melilit'"
Atau kembung?" 
   "Aku baru mau mencoba.
Seorang rekan yang
memberitahu," potongku. kuatir
manteri kesehatan itu
menganggap serius. 
   "Tegel kamar mandimu
rusak"." Pak bapa prabu memotong,
dengan mata curiga. 
   Pak mpu jawijampi yang mewakiliku
memprotes: "lni interogasi apa,
heh?" 
   "Aku kepala keamanan di
sini." jawab yang ditanya,
tandas. 
   "Kalau begitu. tangkaplah si
pencuri. Bukan korbannya. 
   Kikuk, Pak bapa prabu mengeluh:
'Maksudku... kalau ia merasa
perlu bantuan untuk
membongkar lantai kamar
mandi, aku sih setuju saja.
Kapan?" 
   "Nantilah. Setelah aku
sembuh." jawabku. "Lagi pula.
uangnya belum terkumpul...." 
   "Mau diapain lagi. Nak ibnu nautilus ?"
   "Tegel itu sudah pada licin
dan retak di sana sini. Aku mau
menggantinya dengan tegel baru
yang lebih bagus. Terbuat dari
karet sintetis. Pernah dengar?" 
   Kedua orang itu
menggelengkan kepala. 
   Kemudian pamit sambil
berjanji akan menjenguk lain
waktu. Begitu mereka pergi.
seraya meringis menahan sakit
aku menggapai bungkusan itu.
Kuamat amati sejenak, teringat 
   pada pelajaran yang pernah
diberikan guru kebathinanku. Isi
bungkusan itu jelas
dimakSudkan sebagai pembuang
sial. sekaligus pelepas kutuk. 
   Aku membuka daun jendela. 
   Membuang semua
rempah-rempah dan
pembungkusnya ke luar. Dan
apa yang kuperkirakan segera
terjadi. Dia tidak takut lagi. dan
pelan pelan masuk ke dalam
kamar. Tanpa wujud. Hanya
udara hampa yang dingin sejuk
itu saja sebagai pertanda.
Disusul usapan lembut di
rambut. kemudian di pipi lalu
bibirku. 
   Jari jemari yang dingin tetapi
tidak terlihat itu, kukecup. 
   Terasa sesuatu berjatuhan di
kain kemeja yang kupakai.
Sesuatu yang cair kukira, karena
ada lekukan kecil berupa
titik-titik halus yang semakin
melebar. seolah membuat
kemejaku lembab 
   "Sudahlah. Jangan menangis
lagi." aku berbisik. haru. "Kau
lihat. aku baik-baik saja
bukan?" 
   Ia kemudian pergi. 
   Lalu kembali lagi dengan
sebuah baskom berisi air
hangat, sehelai handuk kecil
yang dia celupkan ke air hangat
itu. Diperas sedikit. lalu
digosokkan ke dahi dan leherku.
Sementara itu. pahanya terasa
menyentuh pahaku. Aku
mengusap paha tanpa wujud itu.
berkata lembut. "Kau tahu
mengapa mereka kubiarkan
bingung madame ralantula?" 
   la terus saja membasahi dahi
dan leherku. 
   Memberi kehangatan. 
   Mencurahkan kasih dan
sayang, 
   "Supaya mereka tidak
menemukanmu dengan segera,
madame ralantula. Kalau kuceritakan hal
yang sebenarnya, mereka akan
ribut membongkar kamar mandi
itu. DiSitulah kau ditanam... eh,
maksudku. di tempat itulah kau
berbaring selama ini. bukan?" 
   Kain lap tertegun di leherku. 
   Naik lagi. mengudara. hingga
di dalam baskom. diperas dan
kembali mengusap-usap jidatku
yang berdenyut-denyut
menyakitkan. Peningku mulai
berkurang. Rabaan di pahanya
perlahan-lahan membangkitkan
gairahku. Apalagi setiap kali ia
membungkuk untuk melap
leherku yang sebelah dalam,
payudaranya beberapa kali
menekan dadaku 
   "Peluklah aku, madame ralantula. Peluk
dan lepaskanlah rinduku
padamu.' 
   Kami berpelukan, berciuman
dengan mesra. Tetapi terpaksa
harus menahan birahi. karena
selangkanganku masih terasa
ngilu. 
   Pagi harinya aku belum dapat
bangkit. 
   Pak pung oil datang
menjenguk bersama isterinya.
Sementara isterinya
menyibukkan diri di dapur untuk
membuatkan sarapan pagiku.
aku ngobrol berdua dengan
pung oil. madame ralantula telah pergi,
begitu pintu depan diketuk
orang. 
   'Pintumu tidak terkunci. Nak."
kata Pak 
pung oil. 
   'Aku tak sempat." jawabku,
senang dikunjungi. "Kukira
pencuri itu tak akan nongol
lagi.' 
   "Jadi kau sempat
melemparinya dengan linggis
ya" Kami temukan benda itu
dekat selokan." 
   "Untung cuma mengenai
mobilnya. Kalau kena orangnya,
wah .. aku paling ngeri
membayangkan hidup dibalik
jeruji besi." aku berkata seenak
perut. 
   "Benarkah lantai kamar mandi
akan kau ganti?" 
   "Oh, oh. MaSih rencana."' 
   '.Tak heran. Nak. Tanah di
bawah kamar mandi itu
kadang-kadang bergerak.
Kalaulah bukan tembok, pasti
lantai yang retak.
Penghuni-penghuni sebelum
kau. sudah sering
mengeluhkannya. Tiap
diperbaiki retak lagi. Pak
bre dipanusantara, pada Siapa aku
menyewa rumah ini. malah
berniat untuk meruntuhkan
kamar mandi itu suatu ketika.
Tetapi rupanya ia melupakan
hal itu. setelah ia pindah.?" 
   "Tanah di bawah kamar mandi
pasti belum dikeraskan, Pak
Usman. Mestinya setelah di
keraskan."' 
   'Sekeras apapun. Nak.
Percuma saja. Habis. Bak mandi
yang kau pergunakan. dulunya
bekas sumur yang sangat dalam.
Ketika rumah ini dipermak, pipa
saluran air minum memasuki
daerah kita. Pendatang pertama
yang menempati rumah ini.
lantas menutup sumur dan keran
air ledeng menggantikan tugas
sumur itu...." 
   "Pendatang pertama?" 
   "He-eh. Dulunya di atas tanah
ini hanya ada gubuk bobrok.
Lalu dia membelinya. dibangun
untuk isteri mudanya." 
   'Dia...." kepalaku berdenging.
"Dia siapa?" 
   'Tuan biyungiyung." 
   "Tuan biyungiyung?" aku
mengeluh. Bingung. Dimanakah
aku pernah mendengar nama itu
disebut-sebut, dan oleh Siapa" 
   "Kau belum dengar rupanya
ya" Orang yang dulu
kuceritakan padamu itu.
terdaftar di kantor lurah dengan
nama Gilang Sb. Nama itulah
yang pernah kusebut padamu.
kalau tak lupa. Lalu.... setelah
sekian tahun. orang itu dilihat
beberapa orang anak sering
mundar mandir dengan
mobilnya di depan rumahmu.
bapa prabu yang belum lupa kepada
madame ralantula yang hilang misterius.
meniadi curiga. Ia biarkan
orang itu lalu lalang. dan
diam-diam menyelidiki
identitasnya dengan patokan
merk dan nomor plat mobil yang
ia pakai Ternyata Sb di belakang
Gilang, kepanjangan dari
biyungiyung. Gilang itu rupanya
panggilan nama keCil. Seorang
pengusaha ekspediSi muatan
kapal laut, dan 
   "Dia!" aku ingat sekarang.
seorang rekan pernah
menceritakan. "Pengusaha
dengan nama besar, tetapi
kehidupan rumah tangganya
murat marit. Kalau tak boleh
dikatakan: 
   buruk dan menggaibkan " 
   "Jadi... kau Sudah kenal dia
eh?" 
   "Bukankah dia menginap
semalam di rumahku?" aku
balas bertanya. "Katanya,
kangen. Ingin lihat-lihat
Nostalgia. bukan begitu Pak
Usman?" aku tersenyum. 
   Orangtua itu tidak tersenyum. 
   la menatapku dengan seksama.
lalu memberengut. "Jadi, ia
bukan mau mencuri apaapa di
rumah ini. Memang. sungguh tak
masuk di akal!" 
   'Kami cuma bertengkar," cepat
aku berkata "Ya. ampun. Aku
telah membuat Pak bapa prabu
bingung. Nantilah aku minta
maaf. Dan memberitahu. kami
Cuma bertengkar.?" 
   'Apa yang kalian
pertengkarkan. Nak?" 
   "Apa?" aku angkat bahu.
Selancar aku menuangkan cerita
di mesin tik. selancar itu pula
aku menumpahkan dusta besar
ke telinga Pak pung oil "Aku
ini buangan, Pak Usman. Tetapi
tak begitu lapuk. Beberapa kali
pacaran, sayang tak ada yang
sampai ke penghulu, Dan, hem.
Begitulah. Tuan biyungiyung
bertamu untuk bernostalgia. Aku
menerimanya dengan senang
hati. Ngalor ngidul, tentu saja.
Akhirnya. yah. Pembicaraan
sampai ke persoalan sesama
lelaki. Apalagi kalau bukan
tentang perempuan. Kami
menyebut nama nama. Dan,
terbentur pada satu nama.?" 
   "Siapa"' Pak pung oil
bertanya. tertarik. 
   "Rahasra dong. Pak. Rahasra
lelaki." aku 
menyeringai. "Pendeknya, nama
yang satu itu membuat kami
mulai tegang. Salah seorang
gendak Tuan biyungiyung. ternyata
kekasih yang sangat kucintai....'
dan, itu adalah pengakuanku
yang sesungguhnya benar seribu
persen. Aku mencintai madame ralantula,
biar pun cuma arwahnya saja! ' 
   "Pasti rame!" Pak pung oil
tersenyum simpul. 
   'Bukan rame lagi. Dari tarik
urat leher. kami tarik otot. Pukul
memukul, dan yah... aku kepepet.
Linggis pun mulai main. Agak
curang memang. Tetapi lebih
baik begitu. daripada aku
dipecundangi dua kali. bukan?" 
   Pak pung oil manggut.
setuju. 
   Isterinya memanggil dari
bawah: "Tolong bantu aku
mengangkat ini ke atas. Pak!" 
   Sarapan pagi bukan untuk satu
orang. 
   Pantas isteri Pak pung oil
perlu bantuan. Sarapan pagi,
mungkin cukup untuk enam
orang. Tetapi kami bertiga dapat
meludaskannya. karena terus
ngobrol. tertawa mendengar
kicauan Nyonya pung oil yang
ribut menggunjingkan salah
seorang tetangga yang ditipu
mentah-mentah oleh
menantunya. 
   Masih ada beberapa tamu hari
itu. 
   Malamnya, barulah madame ralantula
mendapat tempat.
   Ia masuk ke kamar tidur,
memelukku dengan penuh rindu,
menciumiku bertubi-tubi.
Pertanda betapa ia tidak sabar
sepanjang hari 
karena tersisih oleh orang-orang
yang baik hati itu. 
   "Sayangku." aku berbisik, dan
menyeka pipinya yang basah.
"Aku kira. kondisiku lebih baik
malam ini." 
   Lalu kami bersenggama. 
   Dengan penuh rasa cinta. 
   
   Semenjak malam itu dia tidak
lekang-lekang lagi dari sisiku.
Karena dia, aku jadi malas ke
luar rumah. Dan karena aku. dia
enggan kembali ke tempat
peristirahatannya yang tak
pernah kuketahui letaknya itu.
Dia akan Sibuk di dapur selagi
aku mandi. Menyetrika selagi
aku membaca surat kabar atau
majalah. Aku tidak membaca
dalam hati. Atas permintaannya.
aku membaca sedikit keras. Jadi
dia dapat mengikuti kemajuan
pesawat ulak alik Amerika di
angkasa luar, perang di Timur
Tengah yang seolah tanpa akhir;
efek letusan Gunung
Galunggung yang sempat
menarik perhatian PBB;
meningkatnya perampokan
bersenjata di dalam negeri
meski KOpkamtib telah turun
tangan; perkembangan harga
logam mulia sampai ke harga
kebutuhan pokok seperti beras.
gula, cabai; munculnya kembali
bintang layar putih tempo
doeloe; timbulnya gejala baru di
kalangan artis kita... ya aktor, ya
penyanyi, ya wartawan, ya
pengusaha kursi antik. Aku baru
membaca dalam hati (dan dia
sangat setuju) kalau kebetulan
yang kubaca 
mengenai berita pembunuhan. 
   Dia tetap melayani
keperluanku. Tetap menemaniku
ngobrol dengan setia. Dia akan
ikut menyelinap kalau aku
masuk kamar, Duduk atau
rebahan selagi aku tekun
mengetik. Terkadang, kertas
hasil ketikanku mengudara tidak
menentu. lalu hinggap kembali
di meja dalam susunan yang
sudah rapih menurut
angka-angka di sudut atas
halaman. Kapan saja aku mau.
dia sudah siap melayaniku di
tempat tidur. Seringkali inisiatif
datang dari dia. Terutama kalau
ia lihat aku sedang buntu
inspirasi. Kalau aku tidur, ia
akan rebah di sebelahku.
Bangun pagi. ia maSih di
sampingku. Pernah kusarankan
agar kami tidur di kamar
sebelah saja. karena ranjangnya
lebih besar. Jawabnya "Makin
sempit. makin hangat" Dan tentu
saja makin sering kami
terangsang untuk bercumbu! 
   Apabila ada tamu, dia tetap
hadir. 
   Entah di pojok, entah di
tengah ruangan. entah di salah
satu kursi yang kosong. Asal
tempat itu temaram, gelap. atau
lembab. ia tidak hanya hadir
dalam bentuk udara dingin
menusuk, ia makin sering hadir
dalam wujud samar samar. Si
gadis bergaun putih. Selama aku
melayani tamuku. ia berdiri atau
duduk diam diam. Matanya terus
menatapku. Tanpa berkedip.
Seolah. kalau ia berkedip, aku
akan minggat tanpa setahunya.
Sinar matanya ketika
menatap-ku membuatku
terenyuh: rindu, takut
kehilangan. 
   Pak bapa prabu merupakan tamu
tetapku. lantai kamar mandi
itu,ia menuntut. 'Tak jadi
kuperbaiki," jawabku. 
   Lain hari: "Tebing terjal di
belakang kamar mandi itu mulai
retak." Ujarnya lagi .
   Jawabku: "Pak bre dipanusantara
bilang. masih kuat bertahan
enam tahun lagi." 
   Suatu ketika: "Ini menyangkut
pembunuhan!" katanya gigih. 
   Aku mengelak: "Sudah punya
bukti, Pak" Sudah ada petunjuk
kuat" Membongkar bekas sumur.
bukan pekerjaan mudah. Banyak
resikonya. Aku sudah berniat
membeli rumah ini. Karena aku
menyukainya. sebagaimana
adanya. Suatu perubahan
mungkin saja membuatku tidak
terkesan...." 
   "Pikirkanlah lagi, Nak." 
   "Akan saya pikirkan, Pak." 
   "Beritahu aku, kalau kau
sudah mengambil keputusan.' 
   "Oke. Eh. Mari. diminum
airnya".' 
   Alex pernah pula muncul.
"Kudengar kau sudah punya
sekretaris pribadi " 
   "bre mungli munggi yang bilang ya?"
ejekku. "Jadi dia menikah?" 
   'Ditunda." 
   'Lho Mengapa?" 
   'bre mungli munggi keburu bertemu
seorang pemuda Arab." 
   "Wah! King-size. pasti!"
ujarku. dan kami tertawa
bergelak gelak. 
   bu dejah  makin sering pula
melongok ke dalam rumah.
Semua rapi. semua bersih. dan
ia mengangkat pikulannya
seraya geleng-geleng kepala,
melanjutkan pergi ke rumah
tetangga. Ibu pung oil
kemudian memberitahu: "bu dejah 
bilang, kau rupanya hidup tanpa
didampingi perempuan.' 
   "Ah. masa iya. Emangnya aku
impoten. Bu?" 
   Sudah berapa lama berlalu.
entahlah Aku tidak teringat
menghitung waktu. Pada suatu
hari. dia terus menempel di
SiSiku Lekat bagai lintah. Ia
tidak menyediakan sarapan
pagi. tidak pula makan sore. Ia
ikut kalau aku mandi, dan marah
kalau aku mulai memegang
mesin tika Sekujur'tubuhku terus
saja diraba. Semula kukira
rabaan birahi. Tetapi kemudian
kuketahui, rabaan kasih sayang.
Ia memintaku ngobrol apa saja.
dan memohon agar dia
kubiarkan terus meraba raba
setiap inci tubuhku.
menciuminga sesekali. memeluk.
merangkul, mengajakku rebah di
tempat tidur tanpa sekalipun dia
melepaskan aku dari
rangkulannya. 
   Hari itu hujan badai jatuh
menggempur bumi 
   Mungkin ia takut dan
kedinginan, pikirku dan
berusaha mengobrol apa saja
seriang mungkin, membalas
Ciumannya. membalas
rangkulannya. Entah berapa kali
kami bercumbu sepanjang siang
dan malam hari itu, tidak
kuhitung. Anehnya, dia tidak
pernah merasa 
letih, dan aku sendiri seakan
memperoleh kekuatan luar biasa
yang Casanova pun pasti tidak
mampu melakukannya. Namun,
diantara curah hujan di luar
rumah sempat kudengar isak
tangis sayup-sayup sampai. 
   "Apa yang kau tangisi,
madame ralantula?" tanyaku. 
   Dia malah memelukku semakin
kuat. Sayup sayup terdengar
Suaranya: kekasihku. Kekasihku.
Sayangku. sayangku...!" 
   Dan tanpa dapat kutahan. aku
pun ikut menangis bersamanya.
Aku merasa sesuatu akan
terjadi. Sesuatu yang sangat ia
takutkan, sesuatu yang tidak ia
ingini terjadi. Diam-diam.
naluriku berbisik; apakah telah
tiba waktunya untuk berpisah" 
   Menjelang subuh, aku
tersentak bangun. oleh
goncangan yang hebat di dalam
kamar. Aku segera melompat
turun dari tempat tidur dan
kaget waktu menyadari bahwa
aku telanjang. Pakaian yang
kukenakan sebelumnya.
tertumpuk di pojok ranjang. 
   Aku memperhatikan ke
sekitarku. ketika goncangan itu
mereda. Kemudian aku
melihatnya. Bukan dia.
Melainkan pakaianku yang
melayang di udara. kemudian
didesak desakkan ke tanganku
yang gemetar. 
   Seolah ia ingin berkata: 
   "Pakailah! Pakailah!
Pakailah...!" 
   Masih dalam keadaan takjub
oleh kontak kami yang mesra
sepanjang malam itu, kuterima
pakaianku dan segera
mengenakannya. Aku mendengar
bunyi srek-srek yang halus,
mungkin suara pakaianku
sendiri. Tetapi mungkin juga
suara gaun tidurnya. ketika ia
mengenakannya. 
   Musik telah lama berhenti. 
   Tetapi angin di luar rumah,
tidak! Justru semakin keras.
semakin kencang. Hwan deras
kembali membadai. Butir-butir
air menerpa kaca jendela
menimbulkan suara
tersentak-semak yang
menyeramkan. Rumah
bergoncang lagi. Lantai
tempatku berpijak, terasa
goyang. 
   "Hai!" aku berseru. panik. 
   Kupandang berkeliling,
mengharap ia memberitahu aku
apa yang tengah ia lakukan.
Tiba tiba aku sadar, semua itu
bukan berasal dari dirinya.
Karena di luar rumah aku
mendengar suara yang lebih
hiruk pikuk. Seolah ada gunung
yang belah dikejauhan... 
   Aku berdiri membeku. 
   Sadar dengan apa yang
terjadi, tetapi tidak cukup sadar
untuk berbuat sesuatu. Tempat
tidur bergeser ke sudut. Meja
menjadi miring, dan mesin tik
membentur dinding. Suara
berderak membuat aku
berpaling. Ternyata sice
terbalik, dan tape deck