Kuliner yang menjadi sorotan dalam artikel ini, secara
etimologis merupakan terjemahan dari kata dalam
bahasa Inggris ’culinary’. Kata ini berasal dari bahasa
Latin ’culinarius’ yang didapat dari kata ’culina’ yang
berarti dapur, tempat memasak makanan. Memasak
memiliki makna universal, yaitu transformasi dari
alam menuju ke budaya. Selain itu, memasak juga
merupakan ’bahasa’ yang kita gunakan untuk
berbicara tentang diri kita dan tempat kita berada
di dunia. Mungkin kita bisa memetik ungkapan
Descartes dan mengubahnya menjadi ”Saya makan,
maka saya ada”
Apa yang kita makan menunjukkan banyak hal
tentang siapa diri kita, serta tentang budaya dari
keberadaan kita. Makanan adalah medium dari
masyarakat untuk menyatakan tentang dirinya.
Ungkapan ” we are what we eat” dan ”we are what
we don’t eat” menunjukkan suatu identitas dalam
budaya dari satu komunitas, bahkan secara lebih
luas dapat menunjukkan identitas suatu bangsa.
Lebih tajam lagi, ungkapan dari Jean Anthelme
Brillat-Savarin, “Tell me what you eat, I’ll tell you
who you are”. Jean Anthelme Brillat-Savarin (1 April
1755-2 February 1826) seorang pengacara Perancis
dan politisi, namun memperoleh ketenaran sebagai
epicure dan gastronomer.
Edo ergo sum - I eat, therefore I am
Dari ulasan tersebut di atas, makanan walau
nampak sepele, ternyata memilki peran penting
dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Makanan
adalah faktor motivasi yang mendorong tindakan
secara individual pada suatu komunitas tertentu atau
keseluruhan masyarakat. Makanan adalah bagian
dari pola siklus hidup. Makanan dapat dikatakan
sebagai pengikat keterpisahan satu komunitas
dengan komunitas yang lain. Ketika berada jauh
dari rumah, makanan mempertautkan rasa memiliki
dalam dunia yang asing. Makanan berfungsi
sebagai kunci untuk mengikat. Kuliner merupakan
konsep tentang makanan, dengan demikian kuliner
merupakan elemen dari kebudayaan, yang berkaitan
dengan akar historis, kolonialisme, mitos, agama,
dan nilai dalam suatu masyarakat.
Dari tinjauan pustaka tentang kuliner terdapat
bukti adanya proses komunikasi lintas budaya,
seturut dengan pengaruh globalisasi. Proses ini
merupakan suatu dialog antar identitas budaya
dari masyarakat dengan munculnya suatu identitas
multikultural. Kaitan identitas budaya dan kuliner
menyeruak di tengah peradaban global. Menurut
Tomlison, globalisasi merupakan suatu proses
yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat dunia
secara keseluruhan. Globalisasi adalah proses yang
multidimensional, yang secara bersamaan mampu
menginduksi bidang ekonomi, politik, lingkungan,
institusionalisasi teknologi, dan budaya
Dalam masyarakat terjadi interaksi kebudayaan
yang berbeda-beda, merupakan suatu keniscayaan
bahwa penyebaran budaya yang tak terpisahkan
dengan adanya kekuasaan. Bentuk paling mendasar
dari kekuasaan pada hakikatnya adalah membentuk
pikiran manusia. Dengan pengaruh pada pikiran
manusia maka akan menentukan cara manusia
bertindak. Menurut Tomlinson budaya secara
instrinsik bersifat constitutive terhadap globalisasi.
Budaya dalam hal ini didefinisikan sebagai
konstruksi secara sosial, yang digambarkan sebagai
representasi, pengalaman hidup dan konteks yang
mengarah pada kehidupan secara individual maupun
kolektif. Kaitan budaya dan globalisasi adalah ketika
bagaimana secara kultural perilaku-perilaku lokalitas
kemudian bisa terglobalkan sebagai konsekuensi dari
interkoneksitas globalisasi.
Penyebaran budaya terjadi lewat komunikasi
antar budaya yang semakin luas membuat budaya-
budaya tertentu kemudian ter-universal-kan bahkan
diterapkan dalam aspek kehidupan seperti dalam
politik dan hukum. Manusia pada masa kini tiada
mungkin menghindar dari pengaruh globalisasi
yang menimbulkan kekuatan yang sangat signifikan
dalam menciptakan dan mengembangkan identitas
budaya. Permasalahan dalam artikel ini apa dan
bagaimana pengaruh kuliner sebagai identitas
budaya dalam kehidupan manusia didunia, dan
mengapa komunikasi lintas budaya dapat menjadi
agen perubahan kuliner sebagai identitas budaya.
Adapun tujuan penulisan artikel ini agar dapat lebih
memahami kuliner sebagai identitas budaya yang
terus menerus mengalami proses perubahan dan
akan memengaruhi kualitas hidup manusia dalam
globalisasi.
Secara ringkas alur pemikiran dalam paper ini
dapat dilihat pada gambar 2.
Pemahaman tentang Kuliner
Kuliner merupakan elemen budaya dari suatu bangsa
yang sangat mudah dikenali sebagai identitas suatu
masyarakat. Kuliner merupakan salah satu unsur dari
budaya dan menunjukkan adanya hubungan sosial.
Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan,
dan bagaimana penyajian makanan menunjukkan
peranan yang penting dalam memaknai relasi sosial.
Makan adalah bentuk dasar dari semua transaksi
dengan pihak lain dan setiap pertukaran obyek
Dalam hal ini saya
sependapat pada ungkapan bahwa setiap negara,
bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki kuliner
sesuai dengan seleranya masing-masing dan sesuai
dengan kondisi alamnya. Secara spontan pikiran
kita akan mengarah pada suatu makanan spesifik
bila menyebut selera makan tertentu. Lebih lanjut,
Anna Meigs menunjukkan bahwa kuliner adalah hasil
konstruksi budaya yang mengeksplorasi bagaimana
makanan dan makan dipahami sebagai alat yang
menyatukan beragam organisme, baik fisiologis dan
mistis, dalam kehidupan tunggal
Makanan selain merupakan kebutuhan biologis
agar manusia dapat bertahan hidup, juga merupakan
kebutuhan sosial dan budaya manusia dalam
komunitas atau masyarakat. Pilihan makanan untuk
asupan makanan dibentuk oleh faktor-faktor sosial
dan budaya yang memberi makna simbolis pada
makanan. Faktor-faktor budaya merupakan bagian
dari pengalaman manusia yang selalu berkembang
dan berubah. Dalam artikel ini, penulis akan
membahas bagaimana proses membentuk produksi,
distribusi, persiapan, dan konsumsi makanan lintas
budaya dalam banyak cara. Dalam hubungan ini,
kuliner dapat dimaknai sebagai sumber kekuasaan
dalam heterogenitas hubungan lintas budaya.
Hasil silang budaya terjadi dalam ‘dialog’
antar kuliner dari bangsa-bangsa yang saling
bertemu. Agen dari ‘dialog’ yang dominan adalah
media komunikasi yang saat ini makin terbuka dan
merasuk dalam kehidupan manusia di seluruh
pelosok dunia. Melalui komunikasi lintas budaya,
kuliner berkembang dengan membentuk banyak
pilihan dengan memperluas inovasi gastronomi,
memadukan multietnis makanan. Untuk itu
dilakukan banyak penelitian dalam konteks literal
produksi dan konsumsi ke dalam kolosal budaya yang
melintasi batas antara antropologi, sosiologi, seni,
dan humaniora.
Makanan memiliki banyak arti dan bahwa
“persiapan, ritual, bau, kondisi sosial, perubahan
iklim, serta di manamakanan itu ditabur,
dikumpulkan, disusun, dan dimakan adalah bentuk
ekspresi budaya dan identitas”
Sedangkan menurut Brian Street, budaya merupakan
proses aktif dalam pembentukan makna, dengan
mengemukakan pemikiran bahwa budaya adalah
kata kerja bukan kata benda (culture is a verb, not a
noun) , Bila budaya adalah hasil
konstruksi berarti bisa didekonstruksi. Berarti budaya
bukan sesuatu benda riil, tetapi sesuatu imaginasi
yang kita bentuk agar dapat diterima dalam dunia
di sekitar kita. Dari pengertian ini, budaya bukan
sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang aktif.
Terbukti bisa didekonstruksi, yang berarti bisa
berkembang dan berubah. Demikian juga halnya
dengan kuliner sebagai identitas budaya, terus
berkembang dan berubah.
Identitas Budaya
Eduardo Mendieta mengatakan:
“Our identities are never discovered. They
are always constituted,constructed, invented,
imagined, imposed, projected, suffered, and
celebrated. Identities are never univocal,
stable, or innocence. They are always an
accomplished and ceaseless project. For this
reason, in the process of constituting them and
negotiating them, we discover that we were
like we never imagined to have been.”
Ungkapan Eduardo Mendieta di atas menjadi
awalan untuk mengulas masalah identitas, yang
dalam kekinian marak menjadi topik mengemuka
berkaitan dengan perdebatan berbagai kajian,
terutama yang berkaitan dengan pascakolonialisme,
multikulturalisme, dan globalisasi. Menurut
Mendeita, multikuturalisme dan globalisasi secara
kontemporer berkelindan dengan suatu wacana
yang teramat kompleks.
Pengertian tentang identitas merupakan suatu
kombinasi paradoksial antara yang sama dan yang
lain (sameness and difference). Merunut dari asal kata
identitas dari bahasa Latin ”idem’ yang mempunyai
arti ’sama’. Dari arti etimologis ini, kita mendapat
term ’identical’, yang memiliki arti penting bahwa
kita tidak hanya identik dengan diri sendiri (the same
being from birth to death), tetapi kita juga identik
dengan yang lain. Dengan demikian kita secara umum
memiliki identitas sebagai manusia, tetapi juga
sebagai perempuan atau laki-laki, orang Indonesia,
ras berkulit coklat, dan sebagainya. Pada saat yang
bersamaan, terdapat aspek identitas yang lain, yang
menunjukkan keunikan, perbedaan dengan yang
lain. Singkat kata, tak seorangpun hanya memiliki
satu identitas. Hal ini berarti terdapat kombinasi dari
kegandaan ini, tidak sekedar penambahan jumlah
identitas. Berbagai bentuk identitas dipandang
sebagai interaktif dan saling konstitutif, juga bersifat
dinamis. Beberapa bentuk identitas dipahami
sebagai mutually exclusive, sehingga tidak mudah
untuk mengombinasikannya
Semua identitas merupakan suatu bentuk
konstruksi sosial, sehingga menjadi sumber makna
dan pengalaman manusia. Hal ini dinyatakan oleh
Calhoun:
”Tiada orang tanpa nama, serta tanpa bahasa
dan tanpa budaya yang menjadi pembeda
antara diri dan liyan. Pengetahuan tentang diri
senantiasa merupakan hasil konstruksi dan
tidak pernah sama sekali terpisah dari klaim
bagi cara khas untuk diketahui yang lain.”
Identitas menjadi suatu sumber yang lebih kuat
bagi pemaknaan diri manusia daripada perannya, yang
disebabkan proses konstruksi diri dan individulisasi
yang melibat. Dalam pengertian sederhana, identitas
membentuk makna dan semua identitas adalah
dikonstruksi. Yang menjadi pertanyaan penting,
yaitu bagaimana, dari apa, oleh siapa, dan untuk
apa. Konstruksi identitas menggunakan materi
pembentuk yang dipetik dari sejarah, dari geografi,
dari biologi, dari institusi produktif dan reproduktif,
dari memori kolektif, dari khayalan pribadi, dari
perangkat kekuasaan, dan revelasi religi. Perorangan,
kelompok sosial, dan masyarakat memproses
keseluruhan materi pembentuk, dan menata ulang
sesuai dalam struktur sosial. Konstruksi sosial atas
identitas selalu berkaitan dengan kekuasaan. Tak
mudah untuk menentukan siapa yang membentuk
adanya jenis identitas yang beragam. Ini merupakan
term abstrak, dan berhubungan dengan konteks
sosial.
Konstruksi identitas, sepanjang menyangkut
pengalaman kolektif yang berbeda, seperti identitas
Timur atau Barat, hampir selalu melibatkan
konstruksi antitesis dari liyan yang aktualitasnya
selalu menjadi obyek interpretasi dan reinterpretasi
yang berlangsung tanpa henti. Kita tidak bisa
menghilangkan rasa permusuhan terhadap identitas
liyan ini, karena setiap zaman dan setiap masyarakat
selalu menciptakan kembali liyan dalam wujud dan
bentuk yang beraneka ragam. Identitas diri atau
liyan tidak berada dalam proses statis, melainkan
berlangsung secara historis, sosial, intelektual,
dan politis. Proses ini kemudian mewujud menjadi
persaingan tanpa henti. Dari persaingan identitas
ini, lahir semacam proses interpretatif yang
berujung pada legitimasi identitas-identitas liyan,
yang berbeda dengan identitas diri. Konstruksi
identitas hampir selalu diiringi dengan upaya untuk
mendisposisi kekuatan dan ketidakberdayaan pada
kelompok masyarakat tertentu. Identitas manusia
tidak dapat hanya dilihat sebagai identitas alamiah
dan stabil, melainkan juga dikonstruksi, bahkan tak
jarang diciptakan secara langsung. Suatu proses
penciptaan identitas berlangsung tanpa henti.
Mengurai masalah identitas, dengan
mendapatkan suatu proses ‘menjadi’ dan memiliki
suatu kemiripan dengan apa yang kita pikirkan.
Dalam hal ini antara ‘what we are’ dan ’what we
have become’ menjadi faktor lain, yaitu bagaimana
kita melihat identitas dan bagaimana kita akan
’menjadi’ Identitas memiliki banyak hubungannya
dengan kesan (images), khayalan (imaginaries),
dan imajinasi (imagination). Dari uraian tersebut
di atas, identitas merupakan sesuatu yang secara
aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang
melampaui waktu, bukan kondisi yang terberi begitu
saja dalam kesadaran semenjak lahir. Dalam identitas
itu, terdapat sesuatu yang bersifat ’imajiner” atau
difantasikan mengenai keutuhannya. Identitas
menyisakan ketidaklengkapan, selalu ’dalam proses
sedang dibentuk’
Saya setuju dengan pendapat bahwa identitas
selalu dalam proses ’menjadi’ dan tidak akan pernah
selesai secara tuntas. Ini berarti bahwa identitas
merujuk pada suatu titik temu antara wacana
dan praksis yang berupaya pada satu sisi untuk
memperjelas kedudukan sebagai subyek dari wacana
tertentu, dan pada sisi lain sebagai proses yang
menentukan subyektivitas. Identitas adalah suatu
imajinasi yang lahir ketika kita dipandang berbeda
oleh pihak lainnya. Artinya, identitas hadir ketika
diri berhadapan dengan sosok liyan. Sebagai sebuah
proyek, identitas bermakna apa yang kita pikirkan
sekarang dipandang dari keadaan masa lampau dan
masa kini, sejalan dengan pikiran, hendak menjadi
apa, yang merupakan lintasan antara harapan bagi
masa depan. Inilah yang menjadi dasar pokok untuk
mengulas kuliner sebagai identitas budaya yang
mempunyai semua faktor yang diuraikan di atas.
Komunikasi Lintas Budaya
Dengan pesatnya laju perkembangan teknologi
trasportasi dan informasi, memungkinkan manusia
di berbagai penjuru dunia saling mengenal dan
berhubungan. Faktor penting dalam hal ini adanya
dialog tentang berbagai hal, terutama untuk saling
memahami budaya dari orang lain. Budaya asing
telah menjadi bagian penting bagi penduduk
suatu negeri. Edward T. Hall dalam bukunya yang
berjudul The Silent Language (1959) mengatakan,
kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi
adalah kebudayaan. Pendapat tersebut menandakan
suatu komunitas manusia yang tidak bisa terbangun
tanpa adanya komunikasi. Budaya sendiri tercipta
karena komunikasi yang juga terbangun dari
komunitas manusia. Alam, tanda, dan berbagai
produk konsumsi manusia berawal dari cara pandang
bagaimana sesuatu bisa dikomunikasikan. Dengan
kata lain, tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa
memikirkan konteks dan makna kulturalnya.
Pendapat senada diungkapkan oleh Ngugi wa
Thiong’o bahwa komunikasi menciptakan budaya
dan budaya adalah prasarana dari komunikasi.
Bahasa memengaruhi budaya, dan budaya
memengaruhi keseluruhan nilai-nilai yang kita miliki
dan keberadaan kita di dunia
Sedangkan Brian V Street mengemukakan bahwa
culture is a verb, not a noun, kebudayaan merupakan
proses aktif dalam membentuk makna . Dari pemikiran tentang budaya
tersebut, dapat dimaknai bahwa budaya merupakan
bagian tak terpisahkan daripada eksistensi manusia.
Melalui budaya dan apa yang ditinggalkannya, kita
dapat menguak keberadaan manusia pada masa
lampau. Kepemilikan budaya dalam diri manusia
sangat berperan dalam pembentukan identitas
budaya. Lebih mendalam dapat kita ketahui bahwa
budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Hal
ini disebabkan karena budaya muncul dari tindakan-
tindakan yang menandakan bahwa mereka itu
“hidup”, seperti berpikir, merasa, dan memercayai.
Larry A. Samovar mengemukakan bahwa budaya
adalah suatu konsep yang membangkitkan minat.
Secara formal, budaya juga di definisikan sebagai
tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan,
hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-
objek materi, dan milik yang diperoleh sekelompok
besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha
individu atau kelompok. Untuk mengkaji komunikasi
antarbudaya, Samovar dan Porter menyatakan bahwa
perlu ada pemahaman hubungan antara kebudayaan
dengan komunikasi. Melalui kebudayaan, manusia
belajar berkomunikasi serta memandang dunia
mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep,
dan label-label yang dihasilkan budaya. Kemiripan
budaya dalam perspektif ini memungkinkan
pemberian makna yang mirip terhadap suatu objek
sosial atau peristiwa. Oleh karena itu, hubungan
antar budaya dan komunikasi bersifat timbal balik,
di mana keduanya saling memengaruhi
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa
komunikasi lintas budaya terjadi dalam ruang lintas
budaya yang berbeda. Dalam hal ini akan muncul suatu
bentuk komunikasi yang unik di dalamnya. Keunikan
ini turut mempertimbangkan peranan dan fungsi
budaya dalam proses komunikasi. Komunikasi mutlak
dibutuhkan dan dilakukan oleh manusia, namun
perbedaan identitas budaya pada setiap kelompok
manusia memunculkan berbagai kerumitan. Budaya
dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis.
Intinya budaya adalah komunikasi, karena budaya
muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada
gilirannya budaya yang tercipta pun memengaruhi
cara berkomunikasi anggota budaya bersangkutan.
Hubungan antara budaya dan komunikasi
bersifat timbal-balik. Budaya tak akan eksis tanpa
komunikasi dan komunikasi pun takkan eksis
tanpa budaya. Selanjutnya harus diakui bahwa
budaya menentukan cara kita berkomunikasi: topik
pembicaraan, siapa boleh berbicara atau bertemu
dengan siapa, bagaimana dan kapan, bahasa tubuh,
konsep ruang dan waktu. Jadi dalam negosiasi
antar budaya, proses komunikasi yang terjadi lebih
rumit daripada dalam negosiasi dengan orang yang
berbudaya sama. Kepekaan terhadap perbedaan
budaya dan kesadaran bagaimana perbedaan
tersebut, menjadi faktor penting dalam komunikasi
lintas budaya
Menurut Samovar, komunikasi lintas budaya
adalah komunikasi antara orang yang berbeda
kebudayaannya, misal pada suku bangsa, etnik,
dan ras atau kelas sosial. Komunikasi ini terjadi
di antara produser pesan dan penerima pesan
yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
Hal ini berarti, komunikasi lintas budaya adalah
proses pertukaran pikiran dan makna antara
orang-orang yang berbeda budaya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa komunikasi lintas budaya pada
dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh
terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan
verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya
bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan,
bagaimana cara mengomunikasikannya kapan
mengomunikasikannya, dan sebagainya
Kuliner Sebagai Identitas Budaya dalam Globalisasi
Setiap bangsa memiliki budaya kuliner yang
berbeda yang merupakan karakter nasional
yang kuat dan keragaman wujudnya. Perbedaan
dalam budaya kuliner juga memunculkan adanya
komunikasi lintas budaya. Sebagai contoh dalam
memahami perbedaan kuliner China dan kuliner
Eropa menghasilkan konotasi budaya yang menelisik
warisan budaya dan memancarkan perubahan
budaya secara complementary and compatible.
Pemikiran postmodern memengaruhi perkembangan
kuliner dalam globalisasi. Dalam karya Jean François
Lyotard “The Postmodern Condition,” terdapat
penegasan bahwa pengetahuan dan kebenaran
tidak pasti dan bisa diubah. Hal ini nyata nampak
terjadinya pengaruh pada perubahan kuliner secara
global, terutama dengan dipicu perkembangan
teknologi informasi. Budaya postmodern merasuk
yang mempertanyakan dunia, mempertimbangkan
kebenaran dan realitas yang relatif dan tidak tetap,
serta menolak adanya pembatasan.
Keterkaitan antara budaya dan globalisasi,
diperjelas dalam pemikiran Douglass Kellner dalam
“Globalization and the Postmodern Turn” dengan
ulasan bahwa dalam globalisasi terjadi pengikisan
budaya dan tradisi lokal melalui budaya global.
Selanjutnya Kellner menyatakan bahwa selain
pengembangan ekonomi pasar global baru dan
sistem pergeseran negara-bangsa, kebangkitan
budaya global. Globalisasi melibatkan penyebaran
teknologi baru yang memiliki dampak luar biasa
pada ekonomi, pemerintahan, masyarakat, budaya,
dan kehidupan sehari-hari. Kuliner dalam globalisasi
mudah ditelusuri dari kolonialisme pada masa lalu,
karena secara historis banyak makanan dan praktek
makan telah dipertukarkan dalam pemerintahan
kolonial
Makanan merupakan ranah budaya dalam
kehidupan sehari-hari yang telah sangat dipengaruhi
oleh globalisasi. Makanan menghubungkan manusia,
dan mungkin semua makhluk hidup, oleh kebutuhan
umum untuk itu semua. Hal ini dalam banyak hal
yang biasa, tetapi penting untuk semua. Kenyataan
adanya hasil konstruksi melalui komunikasi lintas
budaya, antara lain dengan tersebarnya resto cepat
saji McDonald yang dapat ditemukan di lebih dari
115 negara di dunia. George Ritzer menciptakan
istilah”McDonaldization” untuk menyebut
masyarakat yang mencerminkan pengaruh restoran
cepat saji di seluruh dunia. Dengan penyebaran dan
pertukaran makanan, masing-masing pihak dan
budaya diletakkan dalam kontak dengan yang lain,
dan saling memengaruhi.
Makanan saat ini terintegrasi ke dalam
globalisasi kapitalis, yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Semua macam makanan, dari daging
atau buah-buahan tropis merupakan barang
mewah yang kini beredar di seluruh dunia, selalu
tersedia tanpa memperhatikan musim atau lokasi.
Makanan mencerminkan identitas budaya dan dapat
menciptakan batas-batas dan perbedaan antara
budaya. Makanan menjadi salah satu cara yang paling
dasar dan umum bagi seseorang untuk membedakan
diri dari orang lain atau untuk masyarakat atau
budaya untuk membedakan diri dari lain.
Kuliner Indonesia Sebagai Identitas Budaya
Multikultur.
Dari uraian tentang kuliner yang merupakan
identitas budaya multikultur secara global, kuliner
Indonesia pun tidak luput dari pengaruh komunikasi
lintas budaya tersebut. Kuliner Indonesia memiliki
spektrum yang sangat luas, dengan bentangan
kepulauan Nusantara dan memiliki lokasi strategis
untuk terwujudnya dialog antar bangsa, dan yang
terpenting memiliki kekayaan hayati yang dapat
ditrasformasikan menjadi bahan makanan. Kuliner
Indonesia perlahan mulai mendunia karena memiliki
citarasa yang beragam dan unik. Penyajian secara
tradisional dengan menggunakan daun pisang,
janur (daun kelapa yang masih kucup), dan daun
pandan menarik perhatian banyak kalangan dari
mancanegara.
Dalam perkembangannya kuliner tradisional
berubah menjadi kuliner non-tradisional yang terjadi
melalui proses komunikasi lintas budaya dalam
kolonialisasi dan globalisasi. Dengan melakukan studi
pustaka, penulis menemukan adanya proses mimikri
dalam kuliner Indonesia terdapat pada hidangan
kalangan bangsawan yang memiliki kedekatan
dengan kalangan pejabat kolonial Belanda.
Konsep mimikri dalam teori pascakolonial
dikemukakan oleh Homi K. Bhabha dalam buku
The Location of Culture. Menurut Bhabha, mimikri
kolonial adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda
menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi
tidak sepenuhnya sama (as subject of a difference,
that is almost the same, but not quite). Peniruan
yang dilakukan pribumi atas penjajah Belanda
lebih banyak melalui gaya hidup, yang menurut
Bhabha sebagai hasrat masyarakat terjajah untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan untuk
mencapai kemajuan, dan menempatkan diri setara
dengan bangsa penjajah. Hasrat dari terjajah untuk
mendapat kesejajaran dengan penjajah, menjadi
dasar konsep mimikri. Dalam konsep mimikri,
selintas seakan meniru penjajah (colonizer), padahal
sebenarnya merupakan sikap perlawanan terjajah
(colonized) untuk mendapatkan kesejajaran dengan
penjajah. Bhabha menyatakan bahwa mimikri
merupakan upaya mengukuhkan dan sekaligus
mendistorsi otoritas penjajah. Mimikri menunjukkan
ketidaktergantungan terjajah terhadap penjajah.
Terjajah menikmati adanya ambivalensi yang terjadi
pada proses mimikri, sebagai strategi menghadapi
dominasi penjajah. Konsep mimikri dari Homi Bhabha
untuk mengulas kuliner Indonesia, yang merupakan
suatu perpaduan yang nyata dalam gaya hidup dan
dalam cara berpikir.
Secara ringkas kuliner Indonesia sebagai
identitas budaya multikultur terdapat dalam tabel 1.
Peran kolonialisme dalam perubahan kuliner,
nyata nampak dalam kuliner Indonesia. Contoh
pada masa kolonial, Kartini telah membuat buku
masakan yang merupakan bentuk mimikri dari
hidangan Belanda. Penulis memaknai keputusan
Kartini membuat buku resep adalah upaya
mengonstruksikan adat atau kebiasaan bersantap
orang Jawa dengan paradigma Eropa. Hal ini sebagai
bentuk upaya penyejajaran martabat dengan budaya
kolonial Belanda. Misalnya resep ‘bestik’ yang
merupakan mimikri dari ‘steak’. Selintas hampir
sama, perbedaan ada perubahan sausnya yang
disesuaikan dengan citarasa orang Jawa. Di kalangan
Mangkunegaran dan Kraton Kasunanan Solo,
mimikri dari steak menjadi selat solo. Contoh yang
menarik untuk ditampilkan adalah custard pudding
yang bermimikri menjadi klappertart di Minahasa,
Sulawesi Utara. Juru masak Kraton Yogya melakukan
mimikri menjadi manuk enom. Manuk Enom
(artinya burung muda), nama hidangan penutup
dalam jamuan makan di Kraton Yogyakarta, dicetak
dalam ukuran bulat diameter 5 cm dan diberi hiasan
emping goreng sehingga menyerupai burung. Bahan
pembuatnya: telur, susu, santan kelapa, dan tape
ketan hijau, sehingga menghasilkan semacam puding
lembut berwarna kuning muda kehijauan. Resep
tersebut penulis dapat dari buku Kekayaan Kuliner
Yogyakarta, Kersanan Dalem ( 2010).
Ketiga hidangan penutup ini menggunakan
bahan dasar sama, yaitu paduan susu, telur, dan
gula. Custard Pudding berpadu dengan caramel. Di
Minahasa sentuhan caramel diganti dengan kelapa
muda dan kenari, dan diberi aroma kayu manis.
Sedangkan di Yogyakarta menjadi hidangan penutup
yang unik dengan tambahan tape ketan hijau dan
santan kelapa, juga tanpa caramel.
Walau tetap “almost the same, but not quite”,
hal ini merupakan upaya agar tidak berbeda dengan
Belanda, seraya menunjukkan bahwa bahan makanan
dari alam pribumi bisa tampil setara dengan bahan
olahan yang digunakan Belanda. Proses mimikri tidak
hanya berhenti pada peniruan hidangan kolonial
Belanda saja, namun pada saat ini, bergeser dengan
mimikri pada makanan Barat lainnya, termasuk dari
Amerika, juga dari Jepang, India, Arab, dan negara-
negara yang memiliki kekhasan dalam kulinernya.
Proses peniruan menunjukkan adanya relasi
kuasa dalam komunikasi lintas budaya yang menerpa
kuliner di Indonesia. Adanya terpaan media
massa yang tiada henti yang secara tak langsung
memunculkan hegemoni budaya dari negara yang
memiliki kekuatan dalam politik dan ekonomi.
Dampak dari adanya kekuasaan di balik
komunikasi, memacu perubahan dalam kuliner
Indonesia. Misalnya, gado-gado diberi penambahan
sayuran seperti romaine lettuce dan daun basil agar
lebih wangi dan bergaya Barat. Hidangan tradisional
Indonesia disajikan dalam sederet hidangan
yang dikenal sebagai rijstafel. Hal ini merupakan
‘fusion’, sehingga makanan tradisional Indonesia
akan semakin kaya variasi, dan mengarah pada
modernisasi. Kuliner di Indonesia mulai bergeser
mengikuti perkembangan budaya dalam globalisasi.
merupakan proses konstruksi yang terus terjadi
tanpa henti. Identitas budaya tidak pernah stabil
dan terus berfluktuasi. Penulis memaknainya sesuai
metafor yang diungkapkan Zygmunt Bauman dalam
A Shot History of Identity yang menyatakan, “walau
seolah-olah identitas adalah kata benda, tetapi
berperilaku seperti kata kerja. Meski janggal untuk
memastikannya, karena terjadi dalam konteks masa
depan.” Metafor ini sejalan dengan pernyataan Brian
Street: culture is not a noun, but a verb. Jadi jelas
bahwa kuliner sebagai identitas budaya merupakan
keniscayaan yang aktif, bergerak, akan selalu
mengalami perubahan.
Dalam perkembangannya kuliner sebagai
identitas budaya menunjukkan adanya lompatan
orientasi masyarakat dari orientasi harmoni ke
orientasi materi. Tiada yang dapat dianggap sepele
tentang kuliner yang ada pada saat ini. Kuliner
memberi wawasan dalam cakupan perubahan pada
konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam
masyarakat dunia. Kuliner merupakan salah satu cara
paling mudah dan langsung untuk mempromosikan
pemahaman multikultural.
Dikaitkan dengan multikulturalisme, Indonesia
dapat digambarkan sebagai sebuah mozaik yang
amat luas yang terdiri atas semua peradaban
dari semua komponen bangsa ini. Dalam hal ini
saya sepakat bahwa perlu adanya kesadaran baru
dalam ‘membaca’ kuliner sebagai identitas budaya,
yang terus menerus mengalami proses ‘menjadi’
dalam ruang dan waktu. Kita memang harus
terus membangun kesadaran kritis ini terhadap
multikulturalisme yang berdimensi etis, yang
menuntut tanggung jawab moral berupa pengakuan,
rasa hormat, dan empati atas kehadiran orang lain.
Hal ini bukan paksaan, karena yang ditekankan
adalah suatu kesadaran.
Dengan latar keadaan seperti itu, dapat
dipahami bahwa Indonesia tak dapat menghindar
dari pengaruh peradaban dunia. Peradaban
Indonesia saat ini menjadi peradaban yang banyak
terwarnai dan mewarnai peradaban dunia. ‘Kekinian
dan kesinian’ terus dengan cepat bergulir dalam
semua aspek kehidupan. Termasuk pada konstruksi
sosial terhadap kuliner Indonesia sebagai identitas
budaya bangsa. Hal ini semakin jelas percepatan
prosesnya dengan adanya keterbukaan media massa
yang dipacu kemajuan teknologi informasi, dan
adanya unsur kekuasaan di dalamnya.