Tampilkan postingan dengan label gadis 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gadis 1. Tampilkan semua postingan

gadis 1

   Pertama kali aku melihat
rumah itu. perhatianku sudah
tertarik. Letaknya di pinggir
benteng kota hutan terlarang. berbatasan dengan daerah
kabupaten yang berhawa sejuk
dan nyaman. Rumah-rumah di
sana berjauhan satu sama lain.
Tetapi setiap orang mengenal
dan merasa dekat kepada
tetangga-tetangganya. Karena
bukan Jalur ekonomi, maka lalu
lintas tidak begitu ramai
sehingga tidak terasa
mengganggu biar pun rumah itu
berada di pinggir jalan. 
   Halaman depannya agak
sempit. memang 
   Tetapi tidak menyesakkan.
Karena di situ tumbuh sebuah
pohon cemara, dikelilingi oleh
rerumputan yang tumbuh Subur
dan tanaman bunga yang segar
serta teratur manis. Konon
selain penghuni-penghuni
sebelumnya masih ada tangan
lain yang dengan penuh kasih
sayang merawat taman kecil itu
dengan telaten. Mungkin ada
benarnya. Karena rumah mungil
itu lebih sering kosong daripada
diisi. Dalam keadaan kosong itu,
hampir tidak ada orang yang
berani mendekati rumah bahkan
pekarangan. apalagi untuk
memasukinya. 
   Rumah itu berhantu, kata
orang. 
   Sayang sekali. Padahal
halaman samping nya
senantiasa bersiram matahari
pagi yang hangat, dengan
pemandangan sawah menghijau
bagai beledru di bagian
belakang, sebuah anak Sungai
nun jauh di bawah serta
pegunungan yang kelabu di tepi
langit. Belum lagi rumah itu
sendiri. Meski kecil namun di
bangun menurut selera yang up
to date. Tembok depan diberi
ukiran. berkaca lembut. satu
pandang yang lebar dengan
plafon berlapis mozaik imitasi
berwarna merah hati. kontras
dengan dinding yang dicat
dengan warna cream.
   Semua itulah yang membuatku
terkesan 
   Hawa yang sejuk. Suasana
yang tenang sangat serasi untuk
orang seperti aku yang mau
bekerja tanpa diganggu oleh
orang lain atau riuh rendahnya
lalu lintas di jalan. 
   Tetapi. sungguhkah
ketenteraman ada di rumah itu "
  
   
    
   Aku turun dari bus menjelang
senja. dengan langit yang
kemerah merahan. Barang
bawaanku tidak banyak. Hanya
sebuah koper pakaian, sebuah
tas plastik besar berisi
perlengkapan sehari hari. Dan
tentu saja, sebuah mesm tik
portable yang menunjang
kehidupanku selama ini. Mesin
tik yang tuts-nya hanya bersedia
menari-nan apabila suasana
sepi dan menyenangkan. 
   Beberapa orang tetangga telah
melihat aku turun dan bus 
   Bawaanku yang tidak
seberapa mereka angkat tanpa
menghiraukan protesku sama
sekali, karena jumlah yang tidak
banyak itu toh dapat
kuselesaikan sendiri. Setelah
menumpukkan barang barang
itu di salah satu pojok mereka
meriungiku di ruang tamu.
sementara seorang gadis kecil
pergi ke dapur untuk
menghidangkan teh. 
   Kami berbincang-bincang
sampai bedug Magrib bertalu
dari masjid. 
   Kebanyakan yang kami
percakapkan adalah tentang
pekerjaan atau tempat-tempat di
   mana aku tinggal sebelumnya,
sedangkan mereka menceritakan
segala sesuatu yang perlu
kuketahui di daerah tempat
tinggalku yang baru. Ramah dan
menyenangkan sekali sambutan
mereka. Aku berani mengatakan
begitu karena. tidak seorang pun
di antara panitia penyambut itu
yang mau
menyinggung-nyinggung
persoalan yang buruk mereka
maupun aku sendiri. tidak suka
untuk membicarakannya. 
   Padahal, sebelum ini, mereka
begitu gencar menyerangku
dengan pertanyaan yang
bertubi-tubi: 
   'Apa" Rumah itu" Anda ingin
menyewa nya?" 
   Pertanyaan-pertanyaan yang
jelas tidak memerlukan jawab.
Disertai geleng-geteng kepala. 
   "Sudahkah Anda dengar
kisah-kisah aneh di seputar
rumah itu" Bahwa ada penunggu
nya" Bahwa orang tidak pernah
betah berlama-lama
menempatinya, bahkan ada yang
jatuh sakit dan hilang ingatan
ketika meninggalkannya"' 
   Pembeli rumah yang terakhir.
telah menceritakan semua
kisah-kisah yang mendirikan
bulu roma itu kepadaku, ia
sebenarnya mau menjual dengan
harga yang cukup murah bahkan
menurut dia bisa rugi. Akan
tetapi ia cukup puas ketika
kujelaskan bahwa aku hanya
punya kesanggupan untuk
mengontrak dua 
tahun. 
   "Biarlah." Ujarnya "Daripada
dibiarkan kosong berlama-lama.
Perabotan di dalamnya boleh
Anda manfaatkan. Lengkap
semua Cuma-cuma. Dan tentang
rumah ini.... Yah! Siapa tahu.
suatu ketika kelak, Anda bisa
membelinya. Tentu saja dengan
catatan. kalau Anda betah
tinggal di sini'" 
   Yah. mudah-mudahan aku
betah. Karena begitu aku
melihat rumah ini, aku telah
merasa terkesan. Mereka
tentunya tidak bermaksud untuk
menakut-nakuti aku. Semua itu
didorong oleh itikad baik. agar
aku tidak merasa tertipu atau
menjadi korban seperti yang
lain. Mereka adalah
orang-orang yang ramah dan
ingin bersahabat baik kepada
setiap orang. Dan itu telah
mereka buktikan hari ini. ketika
mereka menyambutku dengan
ramah tamah pada saat pertama
kali kuinjakkan kaki di rumah ini
sebagai penetap yang sah. 
   Alangkah baik hatinya
tetangga-tetanggaku itu. 
   Senja ini. 
   Karena setelah aku bersikeras
untuk tinggal di sini dan kini
barang barangku telah mereka
bawa masuk. tetangga
tetanggaku itu memperlihatkan
wajah yang cerah selama
bercakap cakap. 
   'Kami senang punya tetangga
baru." kata mereka. "Semoga
betah. Kalau perlu apa apa.
beritahulah kami. Tidak usah
segan-segan. 
   Anggap kami semua
keluargamu sendiri "' 
   Tentu saja aku sangat
berterimakasih
   Dan tetap tersenyum manis.
ketika mereka akhirnya pergi
untuk kembali ke rumah masing
masing. Meski waktu pamit,
mereka tidak dapat
menyembunyikan wajah wajah
cemas dan mata menyinarkan
kekhawatiran. 
   Sepi menyentak, setelah aku
tinggal sendirian 
   Selama beberapa saat aku
duduk tercenung. memandangi
suasana di sekelilingku 
   Rumah itu bertingkat. 
   Bagian bawah. di mana aku
duduk sekarang. merupakan
ruangan serba guna. Luas nya
tiga kali empat meter, berlantai
jubin warna cream. sama
dengan warna cat dinding.
Selain barang-barang bawaanku
yang tertumpuk di pojok dekat
tangga ke atas. terletak
seperangkat kursi dan meja
tamu tak jauh dari pintu keluar
masuk. Di tengah tengah, meja
makan ukuran sedang, tegak
dengan diam dikelilingi oleh
empat buah kursi yang diberi
jok. 
   Sebuah lemari makan dengan
perabotan lengkap diletakkan di
pojok kanan. Di seberangnya.
sebuah Sice keCil di atas mana
ada sebuah jambangan yang .. 
   Aku terkesiap. 
   Aneh. Siapa yang telah
memetik bunga dari halaman
depan dan menyusunnya dengan
indah pada jambangan itu"
Ketika kutinggalkan rumah ini
setelah menandatangani surat
kontrak, jambangan itu kosong.
Hem. Mungkin anak gadis
tanggung yang tadi
menghidangkan teh ketika aku
serta orangtua dan tetangganya
yang lain bercakap cakap. 
   Tetapi, ah. Nanti dulu!
Seingatku. anak itu hanya masuk
dapur. Dan baru keluar rumah
ketika yang lainnya juga pamit.
Apakah telah ada seseorang
yang memasuki rumah setelah
aku pergi" Tidak. Tidak
mungkin. Karena pintu keluar
masuk satu-satunya ke rumah
itu, kutinggalkan dalam keadaan
terkunci. Lagipula menurut
desas desus, jangankan untuk
masuk. Untuk berkeliaran di
sekitar rumah ini pun orang
tidak berani, 
   Aku berprkir keras. 
   Namun tak melihat gambaran
yang jelas. Siapa yang telah
menaruh bunga di jambangan
itu. Bunga-bunga yang masih
segar, enak dipandang.
menambah seri ruang di mana
aku duduk. tetapi yang
perlahan-lahan membuatku
sadar akan sesuatu. 
   Naluriku mengatakan.
seseorang telah memetik
kemudian menempatkan
bunga-bunga itu di jambangan. 
   Dan orang itu. tengah
mengawasiku diam diam! 
   Aku menarik nafas. 
   Lalu bangkit perlahan lahan.
Percuma saja aku
memperhatikan kesana ke mari.
karena tidak ada seorang
manusia pun di dalam rumah
kecuali aku sendiri. Dan tidak
pula ada yang mengintip di balik
kaca jendela. Waktu masih
berada di dalam bus.
selangkanganku sudah terasa
menggigit. Tetapi ketika
tetangga tetangga itu muncul
lalu menyambutku dengan
ramah tamah. hal itu telah
kulupakan. Kini terasa kembali
menyentak-nyentak. 
   Aku berjalan ke sebuah pintu
tertutup yang bersebelahan
dengan dapur. Entah mengapa,
aku sempat tertegun di depan
pintu selama beberapa detik.
Tetapi ketika akhirnya pintu itu
kubuka, aku tidak melihat ada
orang di dalam. Yang ada
hanyalah bak mandi yang penuh
air, gantungan untuk handuk
dan pakaian ganti, sebuah
gayung, sebuah ember plastik
dan kakus yang lubangnya
menganga diam. 
   "Jadah!" aku memaki diri
sendiri. "Dasar tukang
mengkhayal!" 
   Lantas. aku membuka
resluiting celana. Karena malas
untuk melepaskannya aku tidak
berminat untuk jongkok. Seraya
berdiri aku mengangkangi
lubang kakus dan. .
seeeeerrrrrr! Air kencingku
mengalir deras. setelah sekian
lama terpaksa dibendung.
Bunyinya keras dan
mengejutkan. sehingga aku
tersentak. kemudian
tersenyum-senyum. Malu pada
diri sendiri. 
   Aku masih tersenyum-senyum.
ketika keluar dari kamar mandi. 
   Kubetulkan letak celana
seraya berjalan ke arah tangga,
dibawah mana tadi
tetangga-tetangga meletakkan
barang bawaanku. Tenang
tenang saja aku melangkah,
sambil bersenandung dengan
suara di hidung. Lalu,
mendadak, aku tertegun 
   Barang barang itu tidak ada di
tempatnya' 
   Aku mengernyitkan dahi.
Bingung! Bukankah tadi mereka
meletakkannya di sini" Dan
belum sempat memindahkan
ketika pamit" Dengan heran, aku
menatap ke seantero ruangan,
Lalu kembali aku tertegun. Pintu
depan terbuka. Lebar. Udara
yang dingin menusuk tulang.
merembes masuk ke dalam
dengan leluasa. Aku menggigil. 
   Baik koper. tas, benteng kota hutan terlarangk mesin tik
dan lain lainnya, sudah
berpindah tempat ke teras 
   Terkejut aku segera bergegas
ke pintu. 
   Kupandangi barang barang
bawaanku itu dengan teliti.
Tidak ada yang terbuka atau
kurang salah satu bagiannya.
Diletakkan di sana begitu saja,
seolah bukan barang berharga
apa apa. Dengan seksama aku
memandang ke sekitar. Sepi
Tidak ada siapa Siapa. baik
yang bersembunyi maupun yang
lewat di jalan. Cahaya temaram
menyentuh bumi, membuat jalan
raya tampak hitam legam.
Malam sudah mulai merambat. 
   "Aneh." gumamku. sendirian.
"Apakah mereka meletakkannya
di sini, bukan di bawah tangga?"
   Seraya berpikir-pikir dengan
bingung, barang-barang itu
kumasukkan kembali ke dalam
rumah. Setelah itu pintu kututup.
Lalu kukunci. Dan tertegun lagi.
Waktu mereka pamit. apakah
pintu dalam keadaan terbuka.
atau tertutup" 
   Aku tegak dengan diam. 
   Dan merasa. betapa aku
diawasi seseorang. Orang yang
tidak kuketahui siapa. di mana.
mau apa, tetapi orang itu ada.
Tidak di luar rumah. demikian
aku membatin. Melainkan di
dalam sini! 
   Kuawasi sekeliling ruangan
bawah itu Meja dan kursi maSih
tetap di tempatnya semula.
Demikian pula lemari makan.
Sice kecil. jambangan dengan
bunga-bunga segar. Pintu dapur
terbuka Tampak seperangkat
perabotan terletak menurut
susunannya. Di sebelahnya.
pintu kamar mandi juga terbuka,
Dan dari tempatku berdiri.
hanya kelihatan sudut tepi bak
air, lalu sedikit temboknya yang
kelabu. Pintu ketiga, kamar
pembantu. tertutup. 
   Mataku bergerak ke tangga.
Memanjatinya satu persatu.
sampai ke atas, dan berharap
ada seseorang yang berdiri di
salah satu anak tangga. Tidak
ada siapasiapa. Kecuali anak
anak tangga yang terbuat dari
papan jati tebal dan tersikat
berSih. Pegangannya yang
coklat. tampak berkilat kilat
dalam jilatan lampu. 
   Anak tangga itu berakhir di
beranda atas. setelah menyiku di
bagian tengah. Pagar beranda
berdiri rapi dan rata. Tidak.
tidak pula ada seseorang yang
sedang berpegangan ke pagar
itu seraya memandang ke
bawah. Sedangkan dua buah
pintu untuk kamar tidur. tampak
tertutup rapat. Sepi. Dan
lengang. Aku menahan napas. 
   Alangkah memalukan. kalau
aku terpengaruh oleh semua itu. 
   "Bah!" rutukku. kering. Lalu
kuangkat koper dan benteng kota hutan terlarangk mesin
tik dan mulai menaiki anak
tangga demi anak tangga.
Berdetak detuk bunyi sepatuku,
memecahkan kesepian dan
kelengangan yang menegangkan
itu. Suara langkah langkahku.
Itu memberi ketenteraman
tersendiri dalam diriku. dan
mengatakan bahwa aku berada
di rumahku sendiri. 
   Kubuka pintu yang pertama. 
   Gelap. Tanganku meraba ke
tembok sebelah dalam. Setelah
menemukan stop kontak. lampu
kamar kunyalakan. Terkejap
sebentar oleh cahaya terang
benderang. aku mengawasi
ruangan. Pemilik rumah yang
lama tidak saja telah
menyediakan tempat tidur besar
dengan kasur yang tebal. tetapi
juga sprei dan sarung bantal
yang bersih. Ada sebuah toilet
berkaca tunggal. dengan lacilaci
yang aku tahu. dalam keadaan
kosong. Kecuali sebuah sisir
yang terletak di depan kaca.
Lemari letaknya sejajar dengan
tempat tidur. di antaranya 
terdapat jendela. 
   Ketika dua hari yang lalu aku
melihat kamar ini, aku telah
memutuskan bahwa kamar itu
akan kusediakan untuk tamu
atau teman teman yang suka
berkunjung Barangkali. bila aku
telah punya cukup uang untuk
membeli rumah dan
perabotannya aku akan
menikah. Dan kamar ini akan
kutempati bersama istriku. Dan
untuk kamar kerja.. . 
   Aku berjalan ke pintu yang
lain, membuka dan menyalakan
lampu di dalam. Tempat kamar
kecil itu lebih sesuai untuk
seorang bujangan seperti aku.
Tidak ada t0ilet yang
mengganggu, dan pintu
lemarinya diberi kaca. Sebuah
meja keCil dapat ditempatkan
dekat jendela, sebuah keranjang
sampah di pojok, sebuah kursi
atau kalau perlu dua, karena
yang satunya lagi bisa
dipergunakan melonjorkan kaki
untuk mengendurkan otot otot
yang kejang karena duduk terus
menerus. Dengan  perlengkapan
itu, kamar toh maSih berasa
lapang .
   Merasa puas aku masuk ke
dalam 
   benteng kota hutan terlarangk mesin tik kusimpan di
atas lemari. Pemilik rumah telah
menjanjikan sebuah meja berlaci
besok Siang untuk tempat mesin
tik dan aku bisa bekerja segera.
Seraya memuaskan diriku
dengan rasa kagum serta
terharu atas kebaikan pemilik
rumah. aku membuka koper dan
memindahkan semua isinya ke
dalam lemari. Tempat di situ
maSih cukup lapang, dan 
   untuk tidak membuat
pemandangan yang pepak maka
koper kusimpan saja di lemari. 
   Kemudian aku keluar dari
kamar. 
   Selama dua tiga detik, aku
tegak di beranda 
   Memandang ke bawah dan
berharap masih ada barang
barang yang telah berpindah
tempat. 'Ternyata tas plastik
beserta perlengkapan
seharihari. kardus beriSi kertas
kertas, map map dan
perlengkapan mengetik lainnya
maSih terletak dekat pintu.
Kuturuni tangga dengan detak
detuk sepatu yang memberi
irama musik menyenangkan di
tengah tengah kesepian rumah.
Hem, tape deck plus cassette
yang dipinjam si Parlan. harus
kuambil pada waktunya. Aku
memerlukan musik yanq
sesungguhnya. untuk menemani
kesendirian di rumah ini,
terutama kalau aku sudah mulai
bekerja.
   Setelah menyimpan segala
sesuatu pada tempatnya. aku
memeriksa pintu dan jendela.
Habis itu mandi. Setelah
menghabiskan setengah gelas
teh dan membaca selembar surat
kabar yang sempat kubeli dalam
perjalanan. aku kemudian
terbang ke alam mimpi. Dan
segera aku mendapatkan tidurku
yang pulas tanpa ada yang
mengganggu sama. sekali, 
   Dalam tidurku aku bermimpi
melihat seorang gadis. 
   Aku tidak mengenalnya. tetapi
aku menyukai gaun malamnya
yang putih, rambut hitamnya
yang terurai panjang, raut
wajahnya yang menarik dengan
senyum serta tatapan mata yang
penuh rahasia. Rasanya ia
beberapa kali berusaha
mendekatiku, tetapi tiap kali aku
bergerak untuk
menyongsongnya. ia segera
menjauh dengan wajah
ketakutan, kemudian menghilang
di balik tabir kabut yang putih
seperti salju. 
   Tidak ada kesan yang kualami
dari impian itu sehingga aku
segera melupakannya begitu aku
terbangun keesokan paginya.
Toh hanya bunga bunga tidur,
yang tumbuh. berkembang, layu,
kemudian menyerap hilang ke
dalam tanah untuk kemudian
berpadu dan tumbuh dalam
bentuk yang lain. 
   
   Angin pegunungan yang segar
menyeruak ke  kamar ketika
jendela kamar kubuka. Lembah
hijau  menyegarkan mata.
Rumah rumah penduduk
berserakan di sebelah sana, di
antara pepohonan rimbun
menghadap anak sungai. Kalau
saja bagian bawah rumah ini
tidak ada tembok batu yang
kukuh. tentulah aku segan untuk
tidur di kamar atas. Lumut hijau
coklat serta  tanaman rambat
menyemaki tembok batu itu dan
di sana sini sudah terlihat rekah
rekah menganga. Pemilik rumah
mengatakan tahun depan ia
punya rencana melapisi tembok
batu  itu dengan yang lebih baru
dan kuat. 
   "Tetapi percayalah.
Penahanan itu masih sanggup
berdiri untuk selama paling
sedikit enam tahun.' katanya
meyakinkan. Aku percaya Saja.
karena ia adalah orang yang
baik dengan menceritakan desas
desus mengenai rumahnya. serta
memberikan perabotan lengkap
untuk kumanfaatkan secara
cuma cuma 
   Selesai sarapan pagi aku
mengunci rumah. Dengan
sebuah map berisi berkas-berkas
aku menemui er-te kemudian
er-we untuk memenuhi
formalitas sebagai pendatang
baru. Mereka sangat ramah dan
menyenangkan. Dan mereka
punya pertanyaan yang sama.
begitu kami bertemu: 
   "Tidur nyenyak tadi malam,
Nak ibnu nautilus '?" 
   "Sangat nyenyak." aku
mengakui. 'Habis, letihnya
enggak kepalang dalam
perjalanan ke mari.' 
   "Syukurlah," ucap mereka
dengan tulus. Namun jelas bisa
kutangkap sinar mata mereka
yang keheran-heranan. Aku
tidak bertanya mengapa. Selain
tidak pantas menanyakan
sesuatu yang tidak terucap, juga
karena aku sudah tahu apa
kira-kira yang akan mereka
utarakan. Tidur nyenyak! Tak
mungkin! Tanpa terganggu!
Aneh! Padahal orang orang
sebelum ini"! 
   Setelah urusanku selesai di
kedua pimpinan daerah itu aku
kemudian naik bus ke pusat benteng kota hutan terlarang.
Tidak banyak tempo yang
kubutuhkan karena ini adalah
sebuah benteng kota hutan terlarang kecil. Setelah
menjatuhkan sepucuk surat
untuk sebuah penerbit di
ibubenteng kota hutan terlarang. aku menemui Parlan
untuk meminta kembali tape
deck serta cassettenya.
Bukannya membayar sewa
pinjam barang, ia malah
menawarkan sepasang speaker
bekas karena ia bermaksud
membeli speaker baru yang
lebih bagus. Karena harganya
sangat jauh di bawah harga
pasaran. dengan senang hati aku
membelinya. 
   Aku masih menyempatkan diri
berbelanja kebutuhan sehari
hari di sebuah toko. kemudian
pulang ke rumah. 
   Aku tiba menjelang sore. dan
menemukan sebuah meja berlaci
yang meski bersih dan
mengkilap namun jelas meja
bekas, sudah ada di teras.
Alangkah gembira hatiku karena
aku tidak melihat satu melainkan
dua buah kursi. Ah. jadi aku tak
perlu memindahkan salah satu
kursi meja makan ke kamar atas.
   Barang berharga itu ditunggui
oleh salah seorang pesuruh. 
   "Tuan meminta maaf.' kata
pesuruh itu seraya setengah
membungkuk memberi hormat.
'Beliau telah menunggu cukup
lama, tetapi Oom belum pulang
juga. Jadi, ia tinggalkan saya di
sini untuk menanti Oom
kembali." 
   Setelah berbasa basi sebentar
kami berdua mengangkat meja
itu ke kamar tidur merangkap
kamar kerja yang kutempati dan
menyuSunnya dengan rapih.
Meja sice di ruang bawah ikut
pindah ke kamar atas, untuk di
pakai tempat tape deck. Pesuruh
masih membantu memasangi
kabel-kabel. Karena tidak mau
membuat kamar itu jadi sesak
sehingga pikiranku bisa tumpul
nanti. maka kedua speaker untuk
sementara diletakkan di
beranda. Satu di pojok. satunya
lagi di sisi tembok yang
mengantarai kedua buah kamar.
Meski pintu tertutup. Suaranya
toh masih terdengar ke dalam.
Malah lebih sejuk, lebih sayup
sayup dan sangat renyah
menyentuh telinga 
   'Kirim salam pada Pak
bre dipanusantara." aku berpesan pada si
pesuruh ketika ia pamit untuk
pulang. "Tolong sampaikan
terimakasihku " 
   ia manggut manggut. dan
kelihatan ragu ragu ketika aku
memberikan tip. Tetapi ia tidak
memprotes ketika uang itu
kuselipkan langsung ke kantong
kemejanya 
   Menjelang ISya. dua orang
tetangga datang menjenguk 
   "Senang melihatmu sehat
sejahtera " kata mereka tanpa
mengapa mereka harus senang
'Tidak ada seSuatu yang bisa
kami bantu?" 
   'Terimakasih, Pak. Hari ini
tidak entah besok " 
   "Kalau begitu. baiklah Kami
pergi dulu ya?" 
   'Eh. koq cepat cepat. Belum
minum ..." 
   'Ah. tak usah repot repot. Lagi
.kami nanti terlambat ke masjid '
   Setelah mereka pergi. baru
aku menyesal. Tetapi hanya
sebentar. Tak mungkin rasanya
mengharapkan seorang
pembantu dari penduduk di
sekitar rumah ini. Menurut yang
kudengar, tidak ada pembantu
yang tahan diam di Sini lebih
dari dua tiga hari. Pernah ada
seorang dua pembantu yang
didatangkan dari benteng kota hutan terlarang atau
kampung yang jauh. NaSibnya
sama saja. Dengan muka getir.
minta pamit buruburu. dan
bersedia tidak diberi ongkos
atau 
   dibayar untuk pekerjaan
mereka sebelumnya. asal
diperkenankan pergi. 
   "Ahhhh." keluhku "Apa boleh
buat Mungkin dengan tinggal
sendirian aku merasa lebih enak.
Dan kesibukan sehari-hari bisa
mengurangi rasa sepi .. " 
   Aku telah makan di sebuah
restoran sehabis belanja di toko.
Karena itu aku hanya
membuatkan kopi kental di
dapur. menghangatkan dua
potong roti bakar lalu
membawanya ke atas. Ketika
akan menaiki tangga mataku
terpaut kepada jambangan
bunga. Karena Sice tempatnya
semula Sudah direbut oleh tape
deck, jambangan itu terpaksa
berpindah tempat ke atas mega
makan. 
   Trdak ada bunga bunga di
dalamnya 
   Apakah aku atau pesuruh tadi
telah membuangnya keluar.
tanpa sadar" Seraya memikirkan
hal itu dengan tak terlalu serius,
aku masuk ke dalam kamar
dengan maksud menyelesaikan
ketikanku yang tertunda sebelum
pindah ke rumah ini. Tetapi baru
saja aku meletakkan mesin tik
dan perlengkapannya di atas
meja, ketika terdengar suara
berdentam dentam di bawah.
Suara benda-benda berjatuhan
atau . dijatuh jatuhkan! 
   Kaget. aku menghambur
keluar kamar. 
   Sepi menyentak. 'Tinggal
suara gaung yang resah. Dalam
sinar lampu utama tampak
posisi meja sudah berubah.
Keempat buah kursinya
berhumbalangan tidak karuan. 
   tergeletak jauh satu sama lain
dengan posisi yang
berbeda-beda. Jambangan di
atas meja, lenyap tak berbekas.
Aku tidak melihatnya baik di
atas meja, maupun di lantai atau
di dekat dekat kursi 
   Aku maSih terpesona
menyaksikan pemandangan yang
ganjil itu pada saat terdengar
suara berdesis disampingku.
Angin dingin menerpa kudukku.
Secara naluriah aku berpaling
seraya menarik mundur tubuhku
dari pagar beranda.
Alhamdulillah, aku selamat.
Jambangan yang kucari.
melayang seperti meteor
melewati tempat dimana aku
berdiri sebelumnya. Setelah
melesat dengan suara bersuit.
jambangan gelas itu hinggap di
tembok dengan suara ribut.
kemudian jatuh ke lantai
beranda Pecah berderai. Air
yang ada di dalamnya. tumpah
menggenangi lantai kayu.
Menimbulkan warna lembab.
merembes ke celah celah lantai. 
   Dalam kesepian yang
mendadak. terdengar bunyi air
menetes jatuh ke lantai bawah.
Tes. . tesss... tes-tess... tessss! 
   Aku bergidik 
   Dan memandang ke ujung
beranda. ke arah tangga dari
mana jambangan itu datang
menyerang. Tidak. Tidak
seorang makhluk pun ada di
sana, kecuali kesepian yang
mencengkeram. dan udara yang
perlahan lahan berubah dari
dingin menusuk menjadi hampa.
kemudian hangat seperti biasa.
Tetapi... 
   Kutajamkan telinga. 
   Dan aku mendengarnya.
Mendengar langkah-langkah
kaki yang bergegas menuruni
anak tangga demi anak tangga.
Seperti langkah kaki orang
berlari karena marah. 
   hei'" aku berseru. tanpa sadar.
   Langkah langkah kaki itu
lenyap seketika. 
   Sepi lagi Mencekam. 
   Aku membasahi bibir yang
kering. 
   Lalu: 
   "Siapa di Situ?" 
   Tak ada sahutan. Juga tidak
langkah langkah kaki. Aku
berusaha lebih diam agar
pendengaranku lebih tajam.
Tetapi tidak ada helaan helaan
napas lain, kecuali helaan
napasku sendiri. 
   Mereka benar! 
   Tetangga tetangga, pemilik
rumah, atau siapa saja yang
pernah menceritakan tentang
rumah ini kepadaku. benar. Aku
telah mendengar dan melihat
buktinya. Tetapi sebaliknya. aku
telah bertekad untuk menetap di
sini, berarti, aku pun telah siap. 
   "Siapa pun kau..." aku
bergumam. rendah namun cukup
keras terdengar di rumah itu.
Bergaung, panjang. "Aku tahu
kau ada di sini. Aku tak tahu
siapa kau, dan mengapa kau
mengangguku....' ' 
   Kutunggu sebentar. 
   Tetapi tidak ada reaksi. Hanya
sepi semata. 
   "Dengarlah " aku berkata
lebih keras 'Kutahu. kau adalah
manusia juga seperti halnya
aku'" dan dalam hati aku
mendengus tentu saja, karena
kau akan marah kalau
kukatakan kau ini hantu. setan.
roh gentayangan, makhluk
jahanam' Dengan mengutuk
demikian dalam hati. aku
mendapatkan keterangan dan
kekuatan Semangatku yang
sempat terbang menjadi pulih
perlahan-lahan. 
   "Bedanya." aku lanjutkan
dengan hati hati. 'Kau dapat
melihatku. sedang aku tidak
dapat melihatmu itulah
kelebihanmu. Tetapi camkanlah.
Aku juga punya kelebihan." Aku
dapat bergaul dengan orang
orang di sekitar sini, tanpa
mereka merasa takut kepadaku.
Sedang kau, tidak" 
   Sepi Lengang. 
   Masihkah ia ada di sana, di
salah satu tempat dalam rumah
ini'" 
   Aku tak yakin. Tetapi aku
melanjutkan juga: 
   "Aku sendirian di rumah ini.
Kau juga. Atau kau punya teman
lainnya" Kukira tidak, karena
hanya langkahmu saja yang
kudengar" Jadi kau juga
sendirian seperti aku. Karena
itu, tidakkah kita lebih baik
menjalin hubungan sebagai dua
orang bersahabat?" 
   Bungkam. Tak ada jawaban. 
   Mungkin ia telah pergi Atau,
mungkin ia takjub akan diriku
Kalau saja ia berterus terang
menyatakannya. akan
kuterangkan kepadanya. Bahwa
aku pernah berguru kepada
seorang lakilaki tua bangka
yang hidup menyendiri di
daerah pedalaman. Orang tua
itu tidak saja tahu tentang
akhirat, tetapi juga la tahu
tentang dunia dan segala isinya,
Yang berwujud. atau yang gaib 
   Aku juga sudah beberapa kali
meneliti kebenaran dan ucapan
guruku itu. Baik ketika aku
melakukan perjalanan 'jauh
untuk mencari ilham, atau
menjaga kondisi pisik dengan
menyepi ke gunung dan
menyeruak hutan hutan
belantara, bahkan di tengah
kehiruk pikukan benteng kota hutan terlarang
metropolitan. Namun sejauh itu,
aku selalu mampu
menghadapinya dengan selamat.
Karena aku mempunyai patokan
yang sudah diperingatkan guru 
   "Hindarilah roh-roh jahat.
Tetapi kasihanilah roh roh yang
baik "!" 
   Sayang, sepi sekali rumah ini. 
   Tidak terdengar lagi apa apa.
kecuali langkah kakiku menuruni
tangga. suara Suara kaki meja
atau kursi yang bergeser ketika
kubereskan ke tempatnya semula
Dapur tidak berubah. Kamar
mandi pengap. Tetapi segala
sesuatunya tetap pada
tempatnya. Hati-hati aku
membuka pintu kamar
pembantu. Berderit nyaring. dan
membuat aku bergidik sesaat 
   Tak ada orang di dalam. 
   Isinya pun, kelihatannya bukan
untuk seorang pembantu. Meski
ada tempat tidur tetapi Sudah
terlipat, ada sebuah rak, tetapi
berdebu. Di kamar itu juga
ditumpukkan beberapa.
perabotan yang tidak terpakai.
Jadi, demikianlah. kamar ini
telah berubah jadi gudang
darurat. Sungguh lucu kalau
mengingat. letaknya justru di
ruangan bawah di mana tuan
rumah atau tamu duduk untuk
istirahat atau makan. 
   Aku kemudian naik ke atas
kembali. 
   Setelah memandang ke bawah,
berharap timbul reaksi dari
tindakanku namun sia Sia. aku
masuk ke kamar. Kuhidupkan
tape dan memutar sebuah
casette. Aku memilih musik
Fausto Papeti yang lembut
Volumenya sengaja kubuat
rendah. Di samping karena aku
maSih mengharapkan terjadinya
sesuatu. juga karena aku
teringat pesan guru 
   "Sebelum kau ketahUi roh
bagaimana yang
mengganggumu. pertama tama
hormatilah dulu kehadirannya.
Jangan berbuat sesuatu yang
bisa membuatnya marah...." 
   Aku telah memutar lima buah
casette. menghabiskan lebih dari
sebungkus rokok sehingga
kamarku pengap oleh asap
tembakau. dan kel0pak mataku
telah memberat. Toh siasia juga.
Hasratku mengetik telah pula
hilang dengan sendirinya.
Dengan malas aku rebah di
pembaringan dan segera tertidur
   Ia muncul lagi Gadis bergaun
putih itu 
   Tetapi hanya sebentar.
Kemudian aku melihat pak er te.
tertawa membahak. Lalu wajah
guru yang kesal. Paling akhir
aku lihat adalah wajah
Pemimpin Redaksi sebuah
majalah terkemuka di ibubenteng kota hutan terlarang. Ia
sedang marah marah pada
bagian tata usaha sambil
menyebut-nyebut namaku. Aku
tidak tahu mengapa ia marah.
Dan mengapa namaku
dibawa-bawa. 
   Mungkin karena aku menunda
lagi ketikanku. malam ini. 
   Padahal. aku sudah berjanji
akan mengirimkannya segera.
karena kata mereka naskah di
Redaksi sudah habis. 
   "Bah" aku bersungut sungut
dalam tidurku. "Honor yang kau
bayarkan untuk naskah ini. toh
sudah habis juga. Kupakai
ngontrak rumah!" 
   Dan aku tersenyum. ketika
melihat si Pemimpin Redaksi,
mendelikkan mata dengan
marahnya. 
    
   Hari berikutnya. boleh dikata
tiada gangguan yang berarti.
Mengikuti kebiasaan. aku
bangun pagi-pagi benar. Selama
beberapa saat kurasakan
suasana asing di kamarku. Aku
termangu-mangu. Bingung.
Kemudian kusadari bahwa ini
bukan kamar tidurku yang lama.
   Kamar tidurku sebelumnya
lumayan luas, berperabotan
serba lengkap. Kamar mandinya
bersatu pula. Kloset dan bak
mandinya terbuat dari porselen.
serta dilengkapi mesin listrik
pemanas air. Sayang, paviliun
yang kutempati berhadapan
langsung dengan gang satu
satunya yang memotong dua
buah jalan raya satu jalur. Gang
itu tidak pernah diam. sehingga
aku baru dapat bekerja tekun
setelah malam mulai larut 
   Begitu kudengar tentang
rumah kecil di pinggir benteng kota hutan terlarang.
maka kuputuskan untuk pindah.
Karena tahu. uang sewa kontrak
paviliun tahun berikutnya.
seperti biasa akan melonjak
kembali. Sang pemilik tahu
benar kalau honorariumku dari
tahun ke tahun makin melangit
saja. 
   ia seorang pedagang tulen.
Tidak memiliki jiwa seni sama
sekali. Kecuali. seni menghitung
ledakan penduduk yang
mengakibatkan kebutuhan
semakin meningkat. Sialnya. dia
tahu pula mengimbanginya.
Makanan yang dihidangkan tiga
kali satu hari. selalu bervariasi
dan tetap saja terasa enak di
lidah. Boleh ke luar masuk
paviliun kapan aku suka. Boleh
bawa kawan satu rombongan
untuk berpesta pora .. asal biaya
keluar dari kantongku sendiri.
Penghuni rumah induk tidak
pula terusik bunyi mesin tikku
yang ribut di tengah malam buta
   Masih ada daya tarik lain. 
   Anak gadis tuan rumah. bre mungli munggi
yang lembut. bre mungli munggi yang perasa.
Ia merupakan salah seorang
penggemarku yang paling setia.
dan sekaligus beruntung.
Kukatakan beruntung karena ia
sudah membaca novel-novelku
jauh sebelum novel itu dikirim ke
percetakan. DI luar waktu
sekolah atau belajar, ia sengaja
mencari-cari alasan untuk
membaca novelku. Alasan
terbaik yang mustahil kutolak.
tentu saja' bre mungli munggi bersedia
mengoreksi setiap lembar
naskah yang keluar dari mesin
tik. 
   Kudengar ayahnya pernah
protes. Kepada anak gadisnya
dia bilang: "Minta supaya kau ia
angkat sebagai sekretaris
pribadi." 
   Kalem, anaknya menjawab.
"Memang itulah yang kulakukan
   "Dan?" tanya ayahnya
bernafsu: "Berapa 
   kau dia bayar?" 
   Tentu saja ayahnya
mencak-mencak setelah
mengetahui bre mungli munggi tidak minta
bayaran. Dibolehkan membaca
naskahku yang "masih hangat"
saja dia sudah merasa bahagia.
Belum lagi kalau ia kubelikan
sesuatu sebagai hadiah. tiap kali
aku menerima honor. Semakin
besar honorarium yang
kuterima, semakin besar hadiah
yang kubelikan untuk bre mungli munggi. 
   Lalu ayahnya mulai curiga.
"Jangan jangan kau dan dia
sudah.. 
   "Usah kuatir, Papa," potong
bre mungli munggi, sebagaimana kemudian
ia ceritakan padaku selagi
mengoreksi naskah. "Papa'kan
sudah mendidikku begitu keras.
Supaya jadi anak yang tahu
menjaga diri. Mana aku mau
membuat malu orangtua.?" 
   Sang ayah bangga Dan
percaya. Tidak tahu, kalau
anaknya sering naik ke tempat
tidurku. kalau kepalaku lagi
mumet. "Mari, biar kuringankan
beban otak Abang," katanya
penuh pengertian. Ia memang
sudah tidak perawan ketika
bre mungli munggi kutiduri pertama kali,
"Aku mudah jatuh cinta "
katanya. Dan semudah itu pula.
bre mungli munggi melepaskan cintanya.
Kalau tidak karena ditinggal
pacarnya ya karena ia sendiri
yang memutuskan angkat kaki.
Anehnya ia mampu berbuat
bagaimana caranya kalau putus
cinta, ia atau bekas pacarnya
tidak menyimpan sakit hati.
Malah kebanyakan mereka,
tetap ia gauli. tetapi cuma
sebagai sahabat 
   Aku termasuk salah seorang
yang ia anggap sahabat. 
   menikah dengan Abang?"
jawabnya tergelak. ketika suatu
hari kucoba mengusik isi
hatinya. 
   "Kelak kalau aku harus
menikah, suamiku mesti punya
pekerjaan tetap. Punya hari tua.
Ia juga kuharap seorang laki
laki tampan. bertubuh kuat
kekar. Tubuh yang akan
menghancurkan aku sampai
habis habisan sehingga tidak
punya kesempatan berpikir
kelaki-laki lain...". 
   Itulah bre mungli munggi pikirku 
   Lembut dan perasa, sehingga
perpisahan yang terjadi selalu
berlangSUng dengan baik. Satu
satunya kekurangan bre mungli munggi
hanyalah' tidak pernah puas di
atas ranjang. Aku telah
berusaha semampuku untuk
memberinya kepuasan yang ia
dambakan .Tetapi kutahu. aku
sering gagal. Karena ia pada
waktu waktu tertentu. akan pergi
menemui laki laki yang lain. Ia
berterus terang mengatakannya
padaku. Dengan suara wajar.
dengan wajah polos tak berdosa.
Suara dan wajah itu pulalah
yang membuat orangtuanya
tidak pernah menaruh curiga
atas perilaku bre mungli munggi. 
   Kecuali padaku. Sebab hanya
aku seorang yang paling sering
dan paling rapat dengan anak
gadisnya. "Jangan kau mau dia
rayu!' begitu selalu induk
semangku menasehati bre mungli munggi. "Ia
itu tidak punya apa apa. Bukan
tempat yang baik untuk
menggantungkan diri." 
   Aku tidak marah dicap serupa
itu. 
   Aku tahu siapa diriku. Tidak
betah kerja kantoran. apalagi
dengan gaji yang tidak
memadai. Aku sudah terbiasa
memegang uang banyak, hasil
novel-novelku. Terbiasa pula
menghabiskan sebanyak yang
kuterima. Seorang suami yang
punya hari tua, kata bre mungli munggi. Itu
bukan aku. Seorang pengarang.
tidak punya pensiun. 
   Pensiun yang kuharapkan,
paling-paling mesin tikku tetap
berjalan. Tetapi sampai kapan"
Harapan terakhir tinggal pada
novel-novelku, yang semoga
kelak maSih laku dicetak ulang.
Sementara itu.
pengarang-pengarang baru
yang lebih berbakat, akan
semakin banyak mengorbit. Dan
pengarang pengarang tua. akan
semakin tenggelam. Tidak punya
gigi lagi untuk berlagak: "Bayar
sekian. atau naskah tidak
kukirim!" 
   Bunyi halus tetapi berisik,
menggugah lamunanku seketika.
   Aku memandangi kamar
tidurku yang baru. Meja kerja
dengan mesin tik menunggu
dengan sabar di atasnya.
Keranjang sampah di p0jok.
Lemari berpintu satu, dan
wajahku yang tampak kusut
masai. Tidak ada sesuatu yang
bergerak di sekitarku. Tidak ada
bunyi apa
apa. keCUali keriut ranjang
ketika aku beranjak turun. 
   Tetapi tadi aku telah
mendengarnya. 
   Mendengar bunyi lembut.
Seperti mengaum. Atau seperti
mesin menderum yang terkedap.
Apakah "dia' mulai bertingkah
lagi" Bah! Rungutku malas.
"Dia" itu cuma mimpi! 
   Kudekati pintu. membukanya 
   Tak ada siapa-Siapa. Beranda
sempit di depan kamar, sepi
menyentak. Begitu pula lantai
bawah. Segala sesuatu terletak
di tempatnya semula. Meja dan
kursi kursi makan. perlengkapan
untuk menerima tamu
jambangan" Ah jambangan itu
Sudah tidak ada lagi. Melayang
tadi malam, dan jatu h berderai
di tempat aku kini berdiri. 
   Pecahannya telah
kubersihkan. 
   Namun satu dua serpihan kecil
maSih terlihat berkilat di bawah
kilauan lampu pada lantai
beranda. Genangan air sudah
mengering. Dari berharap
semua itu cuma mimpi belaka,
kini harapanku adalah: semoga
"dia" "belum bangun. Atau
kalau sudah bangun, sekarang
sibuk bersolek. Tidak teringat
untuk menterorku. Sementara! 
   Suara batuk tertahan.
membuatku terkerut lagi. 
   Astaga, siapa itu" 
   "Dia?" Batuk" 
   Menggigil karena dingin dan
sedikit seram, aku mendesah:
"Kau di situ..."' tanyaku seraya 
mengawasi lantai bawah. 
   Sepi. 
   Lalu batuk tertahan itu
terdengar lagi. Datangnya dari
luar rumah. Aku lantas bergegas
menuruni tangga. Siapa tahu
ada tetangga menghendaki
sesuatu. Barangkali juga. tamu
jauh yang ingin berkunjung. Dia
atau mereka mengetuk pintu,
tetapi tidak kudengar... 
   Begitu pintu depan kubuka.
udara dingin menyergapku
seketika. 
   Aku sampai tersentak mundur
karena kaget. Terbiasa dengan
udara panas dan pengap di
tengah benteng kota hutan terlarang. udara dingin itu
membuat kulit mukaku bagai
tergigit. Setelah membiasakan
sejenak, kemudian aku
melangkah keluar rumah. Tidak
ada tamu. 
   Yang ada, sebuah mobil
berwarna gelap di seberang
jalan. 
   Kap depan mobil terbuka.
Waktu aku ke luar, seorang
laki-laki tampak sedang Sibuk
membetulkan sesuatu pada
mesin mobil. Rupanya bunyi
mesin mobil itulah yang tadi
kudengar. Tentunya tidak ada
orang lain bersama dia,
sehingga pengemudi mobil
terpaksa bekerja sendirian.
Cuaca subuh masih
remang-remang. Bukan waktu
yang baik untuk memperbaiki
mesin. Apalagi, tampaknya ia
tidak memakai senter. 
   Laki-laki itu menoleh ketika
mendengar langkahku melalui
pekarangan. 
   perlu bantuan?" aku bertanya. 
   Kap mobil ia hempaskan
tertutup. 
   "Tidak. Terimakasih," katanya.
   Aku telah menyeberangi jalan.
Dan berdiri begitu dekat dengan
si lelaki. sampai aku dapat
mengukur tubuhnya kira kira
sama tinggi dengan tubuhku.
Hanya, ia lebih gemuk. Dan
samar-samar tampak wajahnya
berbeda usia sekitar sepuluh
tahun dengan aku sendiri. Wajah
itu gelisah. ' 
   "Mau keluar benteng kota hutan terlarang?" tanyaku
ingin tahu. Mobil itu mengarah
ke daerah Kabupaten. 
   "He-eh." 
   "Apanya yang rusak?" 
   "Salah satu kabel busi rupanya
putus.?" katanya. seraya
mengawasiku dengan seksama.
"Tetapi sudah kuperbaiki
barusan. Oh ya... apakah Bung
penghuni baru di rumah itu?" ia
menuding ke rumah yang
kutempati. 
   "Benar." 
   "Hem..." ia tampak
berpikir-pikir. 
   'Kok tahu aku penghuni
baru?" 
   Laki-laki itu terkejut.
Kemudian tertawa. Parau
Jawabnya: 'Tak usah
berprasangka. Bung..." 
   "Oh tidak. Tidak. Mengapa
harus berprasangka?" aku ikut
tertawa. 'Pertanyaanku tadi...." 
   "Hem. ya. Ya. Begini Aku
sering lewat di Jalan ini. Rutin.
Sebagai perintang rasa bosan.
kuperhatikan apa saja yang
terlewat di kiri kananku. Jadi...
begitulah. aku merasa heran 
rumah yang satu ini kok lama
sekali dibiarkan kosong tak
berpenghuni.' Ia tersenyum
sekarang. 'Boleh aku masuk?" 
   "Ke rumahku" Tentu saja. Aku
sendirian. dan senang sekali
kalau aku punya teman
ngobrol...." 
   "Bukan. Bukan," ia
menggelengkan kepala. "Bung
menghalangi jalanku." 
   Mengikuti lirikan matanya.
tahulah kalau aku telah berdiri
tepat di sisi pintu mobil. Segera
aku menyingkir. Membiarkan ia
membuka pintu mobil. masuk ke
dalam. kemudian menghidupkan
mesin. Tak seperti umumnya
mobil mogok, mesm hidup sekali
starter. Mesin mulus. pikirku
seraya menyimak mobil
berwarna gelap itu. Dari merk
dan bentuknya. tentu sebuah
mobil mahal rakitan terbaru 
   "PermiSi," ia pamit dengan
kaku. 
   "Benar benar tak ingin
singgah" Minum kopi?" 
   "Terimakasih. Aku harus
mengejar waktu." 
   Dan mobil melaju ke luar benteng kota hutan terlarang.
Lenyap di belokan meninggalkan
subuh yang menganga, lengang
dan dingin sampai ke sumsum.
Aku bergidik. Kembali masuk ke
rumah. Belasan meter dari
tempatku, tampak rumah
tetangga terdekat baru saja
hidup untuk menyambut
datangnya pagi. 
   Bak mandi lebih sejuk lagi. 
   Air. bagaikan es. 
   Karena itu aku pergi ke dapur.
Menjerang 
   sepanci besar air untuk mandi.
Setelah kumur kumur di
wastafel. aku menyedu segelas
kopi yang airnya kuambil dari
termos. Di benteng kota hutan terlarang, isi termos tadi
malam akan tetap panas sampai
malam berikutnya. Di Sini. Sial
betul. Isi termos tinggal hangat
hangat kuku. Kopi yang kusedu,
rasanya hambar. Tetapi
lumayanlah untuk 'nengurangi
kebekuan darah yang seolah
berhenti mengalir dalam tubuh. 
   Sambil menunggu air
mendidih, aku kembali ke kamar
tidur. 
   Tidak ada yang menahan
langkahku. Memang aku
berpikir tentang "dia". tetapi aku
"ga berpikir" bersikaplah wajar,
dan acuh tak acuh. Jangan
perlihatkan bahwa engkau
merasa takut! 
   Kubereskan saja. mesin tik dan
perlengkapan untuk bakerja.
Map kubongkar dengan
memperhatikan judul-judul pada
sampulnya. Setelah menemukan
judul yang kucari, map itu
kubuka .Isi ceritanya masih lekat
di kepala. Aku hanya membaca
halaman-halaman terakhir.
untuk dapat menyusun jalan
cerita lanjutannya selagi nanti
aku berendam di kamar mandi. 
   Turun ke bawah. air telah
mendidih 
   Kuangkat panci ke kamar
mandi. Kutuang kan ke sebuah
ember besar Kemudian siap
untuk mencampurnya dengar air
dingin dari dalam bak. Saat
itulah. gangguan pertama hari
itu kuterima. 
   Gayung lenyap! 
   Padahal belum seperempat
jam tadi aku masuk ke kamar
mandi. Kencing, dan menyiram
bekas kencingku dengan air
yang kusiuk pakai gayung di
bak. Gayung itu tadi
kucemplungkan begitu saja ke
dalam bak, dan kini Sudah tak
tampak lagi. Apakah telah
kujatuhkan" 
   Tidak. 
   Di lantai kamar mandi, tak
tampak gayung yang kucari.
Kusimak dasar bak. juga tak
ada. Karena tidak puas,
terpaksa tangan kujulurkan ke
dalam air. siapa tahu mataku
kurang awas. Aku sampai
meringis menahan sejuk
menuSuknya air itu pada
lenganku. Toh. sia-Sia. Gayung
itu tetap tidak kutemukan. 
   Hem. barangkali tadi aku
membawanya ke dapur waktu
mau menjerang air. Maka, aku
menuju tempat itu. Semua ada di
dapur. Perlengkapan, dan bahan
untuk kebutuhan sehari hari.
Termasuk bekas aku minum tadi
malam. yang belum sempat
kucuci. Kecuali. gayung. 
   Aku ke luar dari dapur dengan
muka merah. 
   Mengawasi ruangan di
depanku. mencari cari. Selain
takut, aku juga marah. Tanpa
berpikir panjang lagi. aku
mendengus: "Baiklah. Apa yang
kau inginkan?" 
   Tak ada sahutan. 
   Tak ada gerak atau
benda-benda bergeser 
dari tempatnya! 
   "Hem," aku mendengus saking
kesal. "Kau pikir. tanpa gayung
aku tak dapat mandi ya" Oke.
Mari kita lihat..." 
   Entah pikiran sedang apa yang
mempengaruhi otakku. Seketika
itu juga aku telah berbuat
kurang waras. Sembari jalan
bergegas ke kamar mandi.
kutanggalkan piyamaku satu
persatu. dan kulemparkan
sekenaku di mana saja. Tinggal
celana dalam. Di bawah jilatan
lampu lantai bawah yang terang
benderang, celana dalam
perlahan lahan pula
kutanggalkan 
   Reaksi segera terdengar. 
   Langkah-langkah kaki berlari
lari kecil. sesekali tertegun,
kemudian berlari lagi semakin
jauh lalu hilang lenyap sama
sekali. Pas ketika itu aku telah
berada di ambang pintu kamar
mandi. bugil macam bayi. Dan
di bak, tampak gayung yang
kucari terapung apung di
permukaan air. 
   Hanya itu gangguan yang ia
perlihatkan hari itu. 
   Tetapi akibatnya.
konsentrasiku sudah keburu
buyar. 'Dia" lebih memenuhi
pikiranku, ketimbang lanjutan
naskah yang harus kuketik.
Entah sudah berapa puluh
lembar kertas kurobek saking
tak puas dengan cerita yang
kubuat. Semuanya terbang ke
tong sampah, sebagian tercecer
di lantai. Campur aduk dengan
abu dan puntung rokok. karena
asbak 
sudah penuh. tiga gelas kopi
terbuang percuma ke perut yang
rasanya jadi kembung. Dua butir
telur rebus yang kumakan
sebagai sarapan pagi, tidak
dapat menolong. 
   Suntuk kepalaku baru
tertolong waktu siang harinya
dua orang tetangga datang
berkunjung. Mereka ngobrol
mengenai keadaanku setelah
menghuni rumah itu. Semua
kujawab. "Baik. tak kurang
suatu apa." sambil tak berhenti
mengunyah kueh dan pisang
yang mereka bawa sebagai oleh
oleh. Tertarik oleh caraku
mengunyah dan menelan. kedua
tamu kemudian ikut-ikutan
menghabiskan oleh oleh yang
mereka bawa. Sampai aku
menyindir 'Awas. nanti ditanduk
kerbau!" 
   Mereka cuma tertawa. 
   Namun jelas tidak puas.
karena jawabanku tetap sama:
semuanya beres, tak ada terjadi
apa apa. Dan sungguh sialan
benar: "dia. tidak bertingkah
sedikitpun sampai tamu tamuku
pamit pulang. Setelah
mengantar mereka ke pintu, aku
menghirup udara segar
beberapa lama di luar rumah.
Menyambut tegur sapa atau
anggukan tetangga yang lewat
di jalan. Menikmati sejenak
pemandangan sawah di
belakang rumah. menikmati
sungai yang mengalir tenang
nun jauh di bawah. 
   Lalu kembali menghadapi
mesin tik. 
   Dapat beberapa halaman. Dan
lonjakan lonjakan kaki yang riuh
rendah di lantai kayu beranda
kamar tidur. menghentikannya.
Aku 
menghambur ke luar. dan
lonjakan-lonjakan kaki itu
berhenti dengan sendirinya.
Bukan karena aku berhenti
mengetik. 
   Melainkan. karena ada orang
mengetuk pintu depan. 
   Aku turun. membuka pintu dan
menyambut senyuman pengantar
pos yang menyerahkan sepucuk
surat kilat khusus yang
dialamatkan padaku.
Kutandatangani  nota kirim.
memberikan tip sekedarnya
kemudian menutup pintu. Surat
pertama yang kuterima setelah
aku menempati rumah kecil di
pinggir benteng kota hutan terlarang itu datang dari
salah satu majalah yang memuat
cerita bersambung karanganku.
Bunyinya sudah dapat kutebak
selamat menempati rumah
baru," dan seperangkat kalimat
yang menyenangkan. diakhiri
dengan kalimat yang sangat
pahit: "Lanjutan cerber kami
tunggu. Paling lambat harus
sudah ada di meja redaksi. akhir
minggu ini!" 
   Dan. mereka telah membayar!
   Aku termenung-menung.
membaca surat itu sekali lagi di
kamar. Berkecil hati, surat
kurobek dan kusatukan dengan
sampah di keranjang. Selama
setengah jam kuhabiskan dengan
duduk-duduk menunggu. Bukan
menunggu datangnya inspirasi.
Tetapi menunggu kehadiran
"dia'. Menelaah, siapa kiranya
"dia" Mengapa "dia" ada dan
menghuni rumah ini. Rumah
yang begitu manis.
menyenangkan dan suasananya
sangat serasi untuk orang 
yang punya pekerjaan macam
aku ini. Kepada pemilik terakhir
malah aku sudah mengucapkan
tekad: 'Kuingin membeli. bukan
menyewa." 
   Masih kuingat apa jawab
pemilik rumah: 'Sebaiknya tunda
dulu pikiran untuk membeli.
Nak. Bukan kami tak butuh
uang. Melainkan, kami tak ingin
diumpat orang di belakangan
hari Nah. Sewa saja dulu. Mau
sebulan dua boleh" Mau
setahun. kami lebih gembira
lagi." 
   Tanpa berpikir panjang.
kubayar sewa untuk dua tahun. 
   Sebelum menerimanya. Pak
bre dipanusantara mengingatkan: "...
salah seorang penghuni sebelum
kami, Nak; diketemukan mati di
kamar mandi. Kata dokter.
akibat serangan jantung. Tetapi
menurut banyak saksi mata,
wajah si mati bukan
memperlihatkan kesakitan.
Wajahnya memperlihatkan
ketakutan yang teramat sangat!"
   Tetapi aku sudah jatuh cinta
pada rumah ini. pada pandang
pertama. 
   Dan soal-soal gaib. guru
kebathinanku sudah banyak
memberi petunjuk. Jadi aku
tidak panik lagi, ketika suatu
hari aku pernah ikut
memandikan jenasah yang
sekUjur tubuhnya ditumbuhi
sisik ular. Atau ketika menyepi
di sebuah desa, pernah ikut
memburu seekor babi hutan
yang berkeliaran masuk
kampung. Babi hutan itu baru
tertangkap setelah salah satu
kakinya ditebas putus oleh
seorang penduduk dan moncong
babi itu. terdengar teriak
kesakitan seorang manusia yang
memintaminta ampun. Dan
paginya, di bawah selimut kain
hitam. babi hutan menjelma jadi
manusia laki-laki setengah
umur. yang bercucuran air mata
saking tak kuat menanggung
penderitaan. 
   Cuma, roh tanpa bentuk. baru
sekarang ini kuhadapi 
   Ia bisa melihatku. dan dapat
berbuat semau dia tanpa aku
sempat melakukan seSUatu
untuk menghindari. Karena, aku
tak dapat melihat dia ataupun
gerak gerik yang akan dia
perbuat. Apa yang dapat
kulakukan, hanya mengisi jiwa
dengan getaran do'a do'a yang
pernah diajarkan oleh guruku.
Getaran yang dapat membuatku
tabah dan tidak angkat kaki,
menyerah begitu saja. 
   Sampai saat ini, aku berhasil. 
   Tetapi gagal meraih
getaran'getaran itu untuk
berkonsentrasi. Konsentrasi
bathin. mungkin dapat.
Celakanya. yang kubutuhkan
adalah konsentrasi pada cerita.
Aku tidak mungkin mengetik.
selama ada gangguan
berlangsung di sekelilingku. 
   
***
   
EMPAT 
   Selama beberapa hari
berikutnya. aku terus saja
diganggu. 
   Ada-ada saja yang "dia"
(untuk seterusnya. tanda kutip
kubuang saja') perbuat, untuk_
mengusik ketenanganku.
Kembali sibuk kehilangan
gayung. berlari-lari sekeliling
rumah atau menggedor-gedor
pintu. Kursi meja yang
berpindah pindah bukan sekali
dua kualami. Atau perabotan
dapur yang centang perentang.
Isi lemari makan
dihambur-hamburkan ke lantai
ruangan bawah. Kadang-kadang
lantai itu sudah penuh air kotor
dan ember terhumbalang kian
kemari. Aku benar-benar dibuat
sibuk membersihkan dan
membereskan rumah 
   "Sabar. Usahakan tetap
sabar," teringat pesan guru. aku
selalu berusaha menahan diri.
Percaya serta yakin apa yang
guru katakan "Akan tiba
waktunya. lawanmu yang
kehabisan sabar. hilang akal
dan putus asa. Barulah. kau
mulai menembak...." 
   Aku maSih sabar. 
   Hanya sekali aku menyenggak:
"Kau membuat onar! Kalau
tetangga pada tahu, apa kau
tidak malu"!" 
   Tiba-tiba kusadari. rumah itu
letaknya jauh dengan rumah
tetangga. Mana ada yang
mendengar dia bikin ribut" Dan
kalau malam hari. tidak pula
ada penduduk berani
berkeliaran di dekat-dekat
rumah yang kutempati. 
   Memang ada sekali dua tamu
berkunjung, tetapi selama ada
orang lain. dia membuatku
dongkol. dengan berdiam diri
tidak bertingkah apa apa.
Padahal betapa aku ingin
memperlihatkan pada
orang-orang bahwa dia" tidak
perlu dicemaskan. karena apa
yang bisa ia perbuat, hanyalah
keributan semata. 
   Tetapi ketika aku menerima
lagi beberapa pucuk surat,
kesabaranku mulai habis. Semua
isi surat itu tidak ada yang
manis. Semua menuntut naskah.
Bahkan ada yang menghina.
karena honor sudah kuterima
jauh sebelumnya. aku tidak mau
bertanggung jawab lagi. 
   "Sialan!" aku memaki. seraya
kurobek robek surat itu. "Semua
ini gara gara kau!" aku
membentak. seraya memandang
ke sekelilingku. Kepada meja,
kepada kurSi, kepada jendela.
kepada pintu, ke lantai. ke
beranda. ke tangga. Tetapi tidak
ada siapa-Siapa di sana, pada
siapa amarah itu kutujukan. 
   Namun diam diam kusadari,
makhluk bagaimana yang
menunggui rumah itu. 
   Karena selain vas bunga. ia
tidak merusak perabotan dapur
pertanda ia sayang
memecahkannya. Ia pun tidak
pernah memindah mindahkan
benda-benda berat seperti
lemari atau tempat tidur.
pertanda ia tidak kuat
melakukannya. Bila
kudengarkan dengan seksama,
nyatalah langkah-langkah
kakinya agak pendek pendek,
serta halus iramanya bila ia
berjalan tidak sedang berlari
atau melonjak lonjak. 
   Teringat pada taman bunga
yang selalu terawat baik di
pekarangan. serta bunga segar
dalam jambangan pada hari
pertama aku menetap di rumah
ini, maka aku menyimpulkan:
tentulah ia seorang perempuan.
Cantikkah dia" Masih muda"
Atau buruk rupa. mengerikan.
serta tua renta" Ataukah seperti"
Ah. Gadis dalam impian. Sukar
mengenalinya. karena
munculnya selalu samar-samar.
tidak lama dan cepat
menghilang ke tabir kabut
seputih salju. kalau aku
berusaha biar pun hanya
menggapai saja. 
   Perhatianku benar-benar tidak
terpusat pada pekerjaan. 
   Siang hari. aku selalu sibuk
akibat tingkahnya. juga letih.
Mana tamu suka berkunjung.
Meski jarang, tetapi toh
kehadiran mereka menyita
waktuku yang terSisa. Aku tak
mungkin mengusir mereka.
karena mereka adalah
tetangga-tetanggaku yang baik.
Terpaksa aku berbohong bahwa
aku menyukai kesibukan tiap
kali mereka melihatku sedang
bekerja membereskan
sesuatunya yang telah dicentang
perentangkan oleh si dia.
Mereka tidak menuduh lewat
kata kata, tetapi lewat mata. 
   Paling-paling mereka hanya
berani mengatakan ini: 
   "Kau kelihatan agak pucat.
Sakit?" 
   Aku angkat bahu, seraya
tersenyum. Kecut. 
   "Apakah benar tidak perlu
kami bantu?" 
   "Terimakasih." 
   Pada akhirnya. sang
Pemimpin Redaksi yang pernah
kulihat marah-marah dalam
impianku itu, muncul dengan
wajah ramah. tetapi mata yang
dingin. Ia bertamu tak lebih dan
lima menit. hanya untuk
menanyakan keadaanku
sekedarnya. dan menuntut: 
   "Mana lanjutan naskahnya?" 
   Kujanjikan. akan kukirim
segera. 
   "Kapan?" Ia mendesak. tak
sabar. bahkan tak percaya. 
   Aku memutuskan: 
   "Besok. Kalau perlu. tunggui
aku mengetik di .sini." 
   Ia tidak bersedia
menungguiku, tentu. Tetapi
untuk menjaga hubungan baik.
kuputuskan pada malam ini aku
harus menyelesaikan paling
sedikit dua atau tiga kali
penerbitan lanjutan cerita
bersambungku yang dimuat oleh
majalahnya 
   Dan. malam itu. pintu dibuka
dan ditutup dengan suara
berdentam dentam. 
   Aku mematikan tape dengan
jengkel. 
   Dengan langkah langkah
panjang. aku keluar dari kamar.
Tegak di beranda. berkacak
pinggang. seraya memandang ke
ruangan bawah di mana kulihat
daun pintu kamar mandi masih
berayun ayun. Aku benar benar
naik pitam. 
   "Cukup" aku berteriak.
lantang. 
   Darahku naik ke kepala.
Kukira. wajahku merah padam.
mungkin sudah kehitam hitaman.
   "Sekali lagi kau membuat
ribut. aku akan turun tangan!" 
   Turun tangan" Bagaimana aku
harus turun tangan kepada roh
halus itu" Hem. bisa saja. Yakin
bahwa ia seorang perempuan.
tidak berteman, dan barangkali
masih muda belia. aku
menggeram. 
   "Tahukah kau. aku sedang
mengetik naskah apa?" 
   Daun pintu kamar mandi
masih terayunayun. Padahal.
tidak ada angin bertiup. Dan
tampak jelas. tidak ada tangan
yang menggerakkannya. Daun
pintu itu dibuka semakin lebar.
dan tampaknya sudah siap
dihantamkan sampai tertutup
dengan keras. 
   Aku mendahului 
   "Dengar! Aku lagi
mengerjakan cerita horror!
Tahu kau" Horror! Tentang
mayat yang bangkit dari kubur!
Mayat yang ketika hidupnya
pernah ditabrak kereta api!
Mayat yang rusak dan
daging-dagingnya sudah busuk
itu 
   kupaksa keluar dari liang
kuburnya yang kotor. Kubiarkan
tulang belulangnya bersembulan
di antara daging-daging serta
darahnya yang membusuk.
Kupindahkan ia ke mesin tikku.
Tetapi....' aku menarik napas.
Dan mendengus: 
   "Mayat yang mengerikan itu.
bisa kurubah arahnya, langsung
ke tempatmu, untuk mengajak
kau bercumbu!" 
   Entah berhasil entah tidak
ancamanku itu. yang jelas. daun
pintu kamar mandi terhenti
tiba-tiba. Udara dingin
bergantung di dalam rumah. Tak
ada angin. Tak ada suara sama
sekali. Kemudian. daun pintu
tertutup. Perlehan sekali. Seolah
takut menimbulkan suara. Aku
tidak tahu, apakah ia
bersembunyi di dalam kamar
mandi, di belakang pintu
tertutup itu. Atau di depannya.
seraya memandangku dengan
kecut. 
   Tetapi naluriku membisikkan
sesuatu. 
   "la tidak berbuat jahat
kepadamu. Ia hanya
mengganggu. Kasuhanilah
dia...!" 
   Napasku seolah bunyi
lokomotip, ketika aku
membuangnya sebebas mungkin.
   Udara di dalam rumah
semakin dingin. semakin hampa.
   Kosong. Sepi. 
   Aku merasa tegang. dan
gemetar. 
   Lama aku menunggu. namun
tidak ada suatu reaksi sama
sekali. Dengan bimbang. aku
berkata lagi. Tetapi volume
suara kutekan 
   serendah mungkin: 
   "Aku sudah pernah
mengajakmu bersahabat....
Ajakanku itu masih berlaku.
Kecuali. kau tidak sudi....' 
   Sepi Sepi sekali 
   Aku tidak putus asa. Ujarku: 
   ?"Mungkin aku salah.... Tidak
memperkenalkan diri. ketika aku
memasuki rumah yang.... Yang
kau huni ini. Baik. Anggaplah
aku sebagai tamu. Dan sebagai
tamu, akan kuperkenalkan Siapa
aku...." 
   Kutatap ke lantai bawah,
rasa-rasa ada langkah-langkah
kaki di sana. 
   Langkah-langkah kecil. yang
tertegun. 
   Aku menelan ludah 
   Dan dengan suara gemetar.
memperkenalkan diri: 
   'Namaku ibnu nautilus . Bukan
Ooh-pet," aku tersenyum. 'ibnu nautilus 
saja. Aku maSih bujangan.
Tetapi sudah karatan. Umurku
tigapuluh dua. Pekerjaanku"
Mengarang. Tahu kau apa itu
mengarang..."'" 
   Tentu saja. tidak ada sahutan. 
   Dan tentu saja. aku harus
menerangkannya: 
   "Mengarang itu jual kecap.
Nomor satu, tentu saja. Kecap
itu kutuangkan ke mesin tik.
mengalir pada helai demi helai
kertas. Barangkali kau pernah
melihat aku mengerjakannya....
Tentu saja kau ngintip. Kalau
terang-terangan, aku bisa
melihatmu. Nah.... Hasil ketikan
itu kujual ke surat-kabar atau
majalah. Uang hasil penjualan
itulah kupakai untuk makan
dan.... Dan untuk mengontrak
rumah yang kau huni ini." 
   Kembali aku menghela napas.
letih oleh penjelasan sepihak
yang panjang lebar itu Terkutuk.
Mengapa ia tidak mengawab.
Masih adakah dia di sana" Atau
sudah pergi" Ke mana" ~ 
   "Kau pernah membaca cerita
ceritaku?" 'aku bertanya, iseng. 
   Tak ada jawaban 
   Tetapi tak ada salahnya
sesekali beronani. Anggap saja
promosi, pikirku, lalu
memutuskan: 
   'Aku adalah pengarang terbaik
di muka bumi. Dan tak usah
malu-malu mengakuinya. Kau
seorang penggemarku. bukan?" 
   Seraya menyeringai lebar, aku
masuk ke kamar. 
   Pintu kututupkan rapat-rapat.
Beberapa saat. aku masih diam
Menunggu. Sepi di bawah. Sepi
di atas Sepi di kamarku. Kuputar
tape, dengan volume rendah.
Kuambil sebatang rokok. Lalu.
Siap dihadapan mesin tik .. 
   Beberapa kali. kertas
kusentakkan dari mesin karena
hasil ketikanku yang jelek.
Biarpun sudah dibayar dan pasti
dimuat. aku berprinsip harus
tetap mempertahankan mutu
cerita. Kureguk kopi yang sudah
dingin. Lalu menghisap rokok
dalam-dalam. Lewat asap
asapnya yang mengepul ke
langit-langit, aku mencari cari
lanjutan ceritaku yang sempat
hilang. 
   Aku menemukannya tidak lama
kemudian. 
   Ketak ketik bunyi mesin tik
segera memenuhi kesepian
rumah. Heran. Mesin tikku
berjalan lancar. Seolah segala
sesuatunya telah lekat di
kesepuluh jari jemariku. tinggal
ketukan ke huruf-huruf. Lembar
demi lembar mengalir keluar
dari ban mesin tik, hampir tidak
berhenti henti. 
   Menjelang pagi, aku
mendengar suara berisik di
bawah. 
   Dan mencium bau yang khas.
pasti dari arah dapur. Tentu dia
lagi. Entah apa yang ia tengah
lakukan. aku tidak tahu. Dan aku
tidak ingin melihatnya. Karena,
mesin tikku tidak mau
ditinggalkan. 
   Waktu terus berjalan. 
   Dan ketika pagi itu aku turun
ke bawah. mataku terbelalak. 
   Sebuah jambangan baru sudah
ada di atas meja. Bunga-bunga
yang segar dan harum
semerbak, disusun manis di
dalamnya. Dan yang membuat
aku semakin takjub. adalah ini:
segelas kopi kental panas
tersedia di meja yang sama.
dengan piring berisi dua butir
telur rebus yang sudah
dikelupas. 
   Sarapan pagi kesenanganku! 
   
***
   
LIMA 
   Aku benar-benar tidak percaya
dengan mataku. Tetapi aku telah
mengerjap beberapa kali. Paha
telah kucubit. Gigi sudah
kugemeletukkan. Namun tetap
saja apa yang kulihat
sesungguh-sungguhnya ada di
atas meja. Jembangan dengan
bunga, baiklah. Tetapi kopi
dengan telur rebus. . 
   Lama aku terpesona. 
   Baru teringat. untuk
memandang berkeliling.
Perabotan di ruang bawah itu,
tidak ada yang berpindah
tempat. Lantai bersih dan licin.
meski ketika ditinggalkan
tamuku yang terakhir,
keadaannya masih kotor. Pintu
depan masih tertutup. Rapat.
Tirai jendela telah terbuka
gordenn Naco telah diangkat. 
   Gugup. aku memeriksa pintu. 
   Masih terkunci. Bahkan anak
kuncinya melekat di lubang
sebelah dalam. Aku mendekati
meja kembali. Berharap.
jambangan bunga, terutama
kopi dan telur itu sudah tidak
ada di sana. Harapan yang Sia
sia, dan membuat aku semakin
takjub oleh peristiwa ganjil yang
baru pertama kali kualami
seumur hidup itu. 
   Tidak ada gerakan atau suara
apa pun di sekitarku. 
   Hawa segar menerobos lewat
kaca naco. Apakah ia ada di
dekatku. sekarang" 
   Dengan penuh kebimbangan
aku masuk ke kamar mandi,
untuk cuci muka. Kembali aku
terpesona Dalam ember, terisi
air yang berkepul kepul. Panas!
Kugaruk kepala yang tidak
gatal. Dan tanpa bisa kutahan.
tubuhku gemetar. Aku
dihinggapi perasaan takut . 
   Semula aku akan membiarkan
ember berisi air panas itu.
Tetapi setelah
kutimbang-timbang, apa
salahnya mencoba" Lantas
seraya membaca jampi-jampi
yang pernah didiktekan oleh
guru kebathinanku, aku campur
air di ember itu dengan air
dingin dari bak. Maksudku
membasuh muka. kurubah.
Mandi saja sekalian karena air
tersedia cukup banyak. 
   Pada guyuran air hangat yang
pertama. aku masih gemetar 
   Namun kurasakan, air itu tidak
memberi pengaruh asing. Biasa
saja. seperti air hangat yang kau
sediakan setiap pagi untuk kau
pakai mandi. Mungkinkah
karena do'a yang kubaca" Atau
karena air itu memang tidak ada
apaapanya" 
   Keluar dari kamar mandi.
diam-diam aku mengintai ke
atas meja. 
   Masih Masih di sana. KOPI
dan telur rebus itu' 
   Dengan gelisah aku naik ke
atas untuk 
berganti pakaian. Jendela kamar
kubuka, agar udara segar masuk
ke dalam. Lembah hijau, atap
atap rumah. pepohonan yang
rimbun. anak surgai, gunung
yang kelabu serta langit yang
biru. Masih tetap pemandangan
yang sama. Tetapi di lantai
bawah, di atas meja...
mungkinkah" 
   Lama aku tercenung di tempat
tdur, setelah bersalin pakaian. 
   Tetapi kemudian aku berpikir.
kalau air hangat itu tidak
memberi pengaruh apa-apa.
mengapa tidak pula dengan kopi
serta telur rebus" Lagi pula,
perutku ingin kehangatan. dan
lidahku sudah gatal untuk
menelan telur rebus. Kutetapkan
hati. lalu turun ke lantai bawah 
   Duduk menghadapi meja
makan, aku berdo'a
sebagaimana biasa 
   Tentu saja. dengan mata
terpejam. Ketika mata kubuka
kembali. setengah mengintip
rasanya. kulihat semuanya ada
di sana Ah.... Aku menoleh ke
samping kiri. ke samping kanan,
ke seberang meja. Berharap ada
salah sebuah kursi yang
bergeser, atau suara suara asing
namun sudah kukenal dengan
baik. Tetapi tidak ada gerakan
apa-apa. Tidak ada suara 
   Aku tidak yakin pada diriku
sendiri. 
   Dan setelah batuk-batuk kecil
untuk mengendurkan ketegangan
yang menghantui diriku. aku
berujar. kau baik sekali."
Suaraku 
   gemetar. Dan kaku. Agak
sumbang terdengar. Tetapi aku
tidak perduli. Aku terus
berbicara: 
   "Jadi. kita telah bersahabat,
bukan?" 
   Aku tersenyum. Sukar juga
untuk melakukannya. tetapi
kukira aku memang seorang
pemain sandiwara yang baik. 
   "Baiklah! Terimakasih untuk
hidangan pagi ini. Tetapi ...' aku
kembali memandang tanpa
tujuan' 'Tidakkah lebih baik
kalau kita makan bersama?" 
   Tidak ada sahutan. 
   Aku sudah menduganya. 
   Dan setelah berpikir bahwa
hantu tidak makan sebagaimana
manusia makan, aku memulai
sarapan pagiku. Mula-mula
kureguk kopi. Kental, okey.
Hanya agak sedikit manis. 
   "Lain kali . jangan terlalu
banyak gula." aku bergumam
sendirian. "Tidak baik untuk
kesehatanku.' 
   Aku menghabiskan kopi, dua
butir telur rebus itu, tanpa
reaksi apa-apa dalam tubuhku.
kecuali perasaan senang dan
puas. sebagaimana lazimnya
setelah aku melakukan hal yang
sama. Selesai sarapan. aku
bermaksud membereskan
perabotan bekas makan. 
   Tetapi... 
   Sebuah tangan yang dingin,
menyentuh lenganku. 
   Kontak kami yang pertama! 
   Aku dapat merasakan jari
jemari yang halus, lembut tetapi
dingin, memegang tanganku
yang sudah siap membereskan
meja. Aku tertegun. kaget, dan
kukira sedikit pucat. Tibatiba
timbul keinginanku untuk balas
memegang tangan itu. dan kalau
bisa menyentuh bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Namun se
telah didahului terpaan nafas
yang dingin di tengkukku.
tangan itu kemudian hilang rasa.
Hampa. 
   Dengan jantung dak-dik-duk.
kuperhatikan apa yang terjadi
berikutnya. Perabotan bekas
sarapan pagi, terangkat ke
udara. melayang seperti kapas
yang ringan. Gelas berdenting
bunyinya ketika diletakkan ke
atas piring demikian juga
tatakannya. Dengan jarak kira
kira setinggi perutku. benda
benda nyata itu melayang
layang secara gaib langsung
menuju dapur. Sebentar
kemudian terdengar Suara gelas
dan piring menyentuh bak cuci,
disusul suara air mengucur
perlahan. 
   Dan, di balik bajuku.
mengucurlah peluh yang dingin. 
   Hasrat untuk mengintip ke
dapur, kutekan sekuat mungkin. 
   Aku justru berjalan ke arah
yang sebaliknya. Mula mula
pelan, kemudian makin cepat.
Dan aku melompati anak tangga
dua sampai tiga sekaligus.
berlari sepanjang beranda
merenggut pintu kamar dengan
keras dan sekaligus
menutupkannya setelah aku
berada di
dalam. 
   Kusandarkan tubuh ke daun
pintu. 
   Napasku terengah engah. 
   Lama aku dalam keadaan
setengah sadar setengah tidak
ingat diri, sampai kemudian
mataku terpantul kepada amplop
besar berisi naskah yang kuketik
malam harinya. Wajah
Pemimpin Redaksi yang kesal
mendorongku untuk berpikir
secara sehat. 
   Baiklah. Yang tidak mungkin.
sudah terjadi.
   Biarlah dia di bawah sana
melakukan apa saja yang ia
kehendaki. Yang penting. ia
telah memperlihatkan
tanda-tanda ingin bersahabat
malah membantuku
mengerjakan sesuatu yang akan
menghabiskan waktu dan tenaga
kalau aku sendiri yang
melakukannya. Aku masih punya
pekerjaan lain. 
   Kukenakan sepatu, memeriksa
uang di dompet. mengambil map
besar kemudian keluar dari
kamar. Haruskah kukunci" Ah.
lewat celah yang sebesar semut
pun. toh roh itu bisa masuk.
Mungkin juga ia bisa masuk
langsung lewat dinding. tak
ubahnya benda empat dimensi.
Aku berdiri sebentar di depan
pintu, mendengarkan. 
   Sepi di lantai bawah. 
   Sepi di dapur. 
   Aku menuruni tangga.
Berjalan setengah
berjingkat-jingkat ke pintu, dan
hampir menjerit kaget.ketika
pintu dapur dibantingkan. Aku 
mengurut dada yang seakan mau
pecah, terengah-engah sebentar
seraya berpikir apa yang terjadi.
   Lantas. tiba-tiba aku teringat. 
   Hem. Aku tersenyum. 
   "Aku pergi dulu. okey" Nanti
aku kembali," Ujarku. pamit. 
   Pintu dapur terbuka. Berhenti
sampai setengahnya Dan tidak
tampak sesuatu apa pun kecuali
uap dingin yang menebar ke
seluruh ruangan. Aku menggigil,
kemudian bergegas ke pintu.
membukanya. keluar,
menutupkannya. lalu berusaha
agar tampak biasa biasa selagi
mengayun langkah ke jalan,
meskipun betapa inginnya aku
untuk berlari secepat cepatnya. 
   Dalam oplet. seseorang
menegur 
   "Eh. Nak ibnu nautilus . Mau ke mana?"
   Aku melihat Pak pung oil.
salah seorang tetangga yang
ikut mengangkat barang
bawaanku ketika pertama kali
tiba di daerah ini. Kucoba
tersenyum, dan mengatakan
tujuanku. Ia membalas
senyumku dan bertanya apakah
aku sakit. Tentu melihat wajahku
pucat. Kukatakan aku sehat saja,
hanya agak pusing karena
bekerja sampai Subuh. 
   Kami berpisah di terminal. 
   Aku terus ke kantor pos, untuk
memposkan naskah. Kubeli
sebuah majalah dan duduk
menghabiskan waktu di taman
tak jauh letaknya di kantor pos.
Tetapi perhatianku tidak 
   tertuju kepada majalah itu.
Huruf-hurufnya menari-nari.
berubah jadi telur rebus. kopi.
air yang mengucur, piring
melayang-layang di udara. 
   "Ya Tuhan." aku mengeluh. 
   Kemudian berkeliling tidak
menentu, sampai akhirnya aku
ketemu seorang kenalan lama.
Kami bercakap-cakap dengan
riang gembira dan ia
mengajakku makan siang di
sebuah restoran. Bekas teman
sekolahku itu mengatakan ia kini
sudah punya pekerjaan di
sebuah perusahaan sebagai
sales, dan sedang tugas
memasarkan bahan bahan
produksi perusahaannya ke benteng kota hutan terlarang
ini. Ia kuajak Singgah. tetapi
katanya harus segera kembali. 
   'Isteriku akan curiga. kalau
aku terlambat pulang" katanya
ketika kami berpisah dengan
perasaan enggan. 
   Apakah dia yang dirumahku.
curiga kalau aku terlambat
pulang" 
   Tetapi. aku tidak ingin pulang
sekarang. Pikiranku belum tetap.
Pengalaman yang ganjil itu
terus menggodaku. Telah kubuat
ribuan analisa. tetapi tidak satu
pun yang berhasil. Suara-suara
gaib, lumrah. WUjud wujud
menyeramkan, ada. tetapi hanya
dalam cerita cerita yang
kudengar. kubaca. atau
kukarang karang sendiri.
Sentuhan-sentuhan sepihak,
bukan pula hal yang aneh. 
   Tetapi segelas kopi. telur
rebus. air panas... 
   Untuk melenyapkan
kegundahan itu aku masuk ke
sebuah gedung bioskop. Kubeli
karcis dan mencari kursi di
pojok (bioskop di benteng kota hutan terlarang kecil itu
tempat duduknya terbuat dari
bangku memanjang, tak diberi
nomor. Dan satu karcis bisa
dipergunakan untuk dua
pertunjukkan se kaligus).
Filmnya tidak menarik.
Bintang-bintangnya tidak
kukenal. Warnanya pucat.
Mungkin Itali. 
   Tetapi itu tidak penting 
   Yang kuperlukan hanyalah
sebuah tempat untuk membuang
pikiran susah. 
   Kalau mengetik. aku
membutuhkan suasana sepi dan
tempat yang tenang. Kalau untuk
tidur.... Dan aku segera jatuh
pulas. begitu pertunjukan
berjalan sekitar lima menit. 
   Malam sudah merangkak
ketika aku tiba di rumah. 
   Suasana di dalam sepi. Segala
seSUatu tampak bersih dan
rapih. Kamar tidurku sudah
disapu, selimut dan sprei sudah
dibereskan. Dan sebagai sebuah
surprise, di atas meja sudah
terhidang santapan untuk makan
malam! 
   
***
   
ENAM 
   Semula. aku tidak
mengetahuinya. 
   Turun dari Oplet mataku berat
karena masih mengantuk.
Kubuka pintu depan dan
menemui rumah yang sunyi
lengang, berselimut kabut
misteri. Ruang tamu tampak
rapih bersinarkan lampu pojok
yang temaram. Lantai utama
gelap tetapi samar-samar dapat
kulihat tangga ke lantai atas.
Karena tidak ada suara atau
gerakan yang kutemui maka kaki
langsung saja kulangkahkan ke
tangga itu 
   Lantai beranda atas yang
terbuat dari papan jati itu,
berkeriut begitu kuinjak. Aku
tersentak sejenak. kaget.
Kemudian meneruskan langkah
menuru kamar tidur. Terlelap di
bioskop dengan hiruk pikuk
suara dari layar, tidak
mencukupi kebutuhan phisikku
untuk beristirahat. Demikian
pula di oplet yang sering
terguncang karena jalanan jelek.
Saat ini. yang kupikirkan adalah
langsung terbang ke alam
mimpi. 
   Namun aku segera tertegun. 
   Kamar tidurku terang
benderang 
   Seseorang telah menghidupkan
lampu 
yang telah kupadamkan sebelum
pergi. Andaikata kamar itu acak
acakan dan ada barang yang
hilang pasti aku menduga itu
perbuatan seorang tamu yang
tidak diundang. Tetapi apa yang
kusaksikan dengan mata
kepalaku sendiri, tentulah
perbuatan dia. Tempat tidur
kecil kelihatan rapih dan resik.
Sprei telah diganti. demikian
pula sarung bantal, Selimut
terlipat apik. masih bekas
kupakai sebelumnya. Maklum.
cuma satu satunya selimut yang
kumiliki. 
   Lemari tertutup rapat. Dan di
atas meja, tersusun rapih map
map serta kertas-kertas yang
ketika kutinggalkan maSih
berserakan. Mesm tik bersih dan
berkilat bekas dilap. Tak ada
sampah dilantai. begitu pula di
keranjang sampah. Memang ada
yang hilang, atau tepatnya tidak
ada di kamar itu.
Pakaian-pakaian kotor tidak lagi
tergantung di kapstok. Entah
kemana perginya. Begitu pun
aku yakin pakaian itu tidak di
curi. 
   Lama aku termangu. 
   Menyadari kamar itu Siap
pakai. Untuk bekerja Atau
langsung terbang ke alam
mimpi. 
   Mataku mencari cari. Kalau
aku menemukan dia atau melihat
sesuatu yang menunjukan dia
ada di situ. Setelah kusadari
kamar tidurku hangat. maka aku
tahu ia tidak ada di dalam.
Penasaran aku keluar dan
bertelekan pada tiang
penyangga beranda. Kucari dia
dalam kegelapan lantai bawah.
Tetap sepi, lengang dan gelap
karena cahaya lampu pojok 
ruang tamu tidak sampai ke situ.
   Suaraku bergetar. ketika aku
menyeru: 'Hei...." 
   Tak ada sahutan. Tak ada
benda-benda bergerak. Tak ada
langkah kaki. konon pula helaan
napas. Apakah dia telah pergi
untuk tidur di kediamannya yang
abadi" Aku tak percaya. Sifat
nakalnya tentu berperan. Ia
sedang bersembunyi di suatu
tempat. Tegak diam. atau duduk
santai sambil
tersenyum-senyum... mungkin
juga harap-harap cemas,
menanti reakSiku. 
   Hati hati aku beringsut
sepanjang beranda. Pas di mulut
tangga, aku berhenti. Kuraba
tembok dan begitu bertemu,
shakelar lampu lantai utama
segera kuputar. Didahului suara
berdetak lembut, lampu antik
yang tergantung ke langit-langit.
seketika menyala terang
benderang. Lantai utama
bersiram cahaya yang sekejap
membuat mataku Silau. Rasanya
aku mendengar desah lembut.
desah mengejut. Diakah" Atau
desah yang keluar dari mulutku
sendiri" 
   Yang pertama tama
terpandang ketika mata kubuka,
adalah tentu saja meja makan.
Dan aku terkesiap. Bukan
karena tiba-tiba melihat dia.
Tetapi karena di atas meja
makan, tampaklah hidangan itu.
Nasi. lauk pauk, piring dan gelas
yang tengkurap, mangkok cuci
tangan dan lap. Teko teh
letaknya agak berjauhan dari
benda-benda tadi. Entah
mengapa Yang jelas. lenyaplah
kantukku seketika. 
   Kembali mataku mencari cari. 
   Kembali aku tak menemukan
di mana dia gerangan. 
   Beberapa saat aku bimbang.
Baru kemudian turun ke lantai
bawah. Masih tak percaya
dengan apa yang kusaksikan,
hidangan di atas meja kusimak
lebih seksama. Nasi masih
mengepulkan uap di panci. Lauk
pauk terdiri dari telur dadar,
dendeng daging, sambal dan
sayur asam. Hidangan
sederhana namun menggugah
selera. Aku lantas ingat. telah
lupa singgah di restoran
sekeluar dari bioskop 
   Aku tertegun, manakala terasa
udara di sekitar mega makan
mengalami perubahan.
Perlahan-lahan terasa mulai
dingin. Diam diam, aku
dihinggapi kesan seram. Betapa
tidak. Terperangkap sendirian di
rumah kecil dan sunyi sepi di
pinggir benteng kota hutan terlarang yang sama sunyi
sepinya. Tidak ada orang di
dalam. Dan kau tahu orang lain
tidak pernah masuk ke rumah itu
selama kau pergi. Dan ketika
pulang. kau temukan makan
malam terhidang di atas meja.
Meski malam yang masih
hangat, tetapi dengan udara
dingin di sekitarmu. Udara
dingin yang hanya punya satu
arti: hantu itu hadir di dekatmu. 
   Kurapalkan do'a doa  yang
diajarkan guru. jauh di
sanubari. 
   Perlahan-lahan. kesan seram
itu menjauh. Kekuatan mentalku
menebal. Aku mulai tenang. dan
pasrah menghadapi keadaan. 
   'Luar biasa!' aku bergumam
tulus. "Masih serba hangat." 
   Kemudian aku menggeser
sebuah kursi. Duduk
menghadapi hidangan makan
malam yang ajaib itu. Ajaib:
Karena dimasak oleh
tangan-tangan dari alam gaib.
Aku tidak berpaling ke kiri
kanan. Karena aku tidak tahu. di
mana ia sedang berdiri atau
duduk memperhatikan. Di
sebelah kiri" Sebelah kanan" Di
seberang meja" Di belakangku"
Tengkuk tergetar. tanpa
kusadari. Beku. dingin. 
   jadi kau tak ikut bersantap."
ujarku tersenyum. seraya
membalikkan piring
satu-satunya yang tersedia di
meja itu. "Aku mengerti."
lanjutku pula. Mengerti, dia
tidak makan seperti aku makan.
Tersirat tanya dalam hati: apa
yang dia makan. bagaimana
caranya dia makan" 
   Nasi kusendokkan ke piring,
secukupnya. Menyusul sayur dan
sekerat dendeng, Kebiasaan
sebelum bersantap. aku harus
minum walau seteguk. Gelas
tengkurap itu kubalikkan. Dan
aku sudah siap bergerak untuk
menjangkau teko yang terletak
di sudut meja, manakala teko itu
sudah bergerak duluan.
Melayang di udara dalam posisi
tetap. kemudian turun sedikit
dalam posisi miring begitu tiba
di atas gelas. Cairan bening
kuning kecoklatan mengalir dari
mulut teko dengan suara yang
berdesir, mengisi gelas. Dua
pertiga terisi, 
   teko terhenti lalu melayang ke
tempat semula. Diletakkan di
pojok meja, tanpa suara 
   Kutatap teko itu. 
   Sadar ia ada di sekitarnya,
mata sedikit kunaikkan,
menatapnya". Senyum sedikit
lalu berkata: "Terimakasih' 
   Aku menghendaki jawaban. 
   Sia sia. 
   "Baiklah.' aku mengeluh.
"Mengapa harus berdiri di situ"
Duduklah di dekat ku....' Kursi di
sebelahku kugeser, lalu tangan
kujauhkan Menunggu. Tetapi
kursi lain bergeser pula. Di
seberang meja. Jadi, ia duduk
langsung di mukaku. 
   "Kau mau memperhatikan aku
makan, ya" Mau melihat berapa
banyak aku menyuap. berapa
kerat lauk yang kumakan. lalu
kau akan menyodorkan
rekening?" ujarku, berseloroh. 
   Kuharap dia tertawa. 
   Sepi yang ada. 
   Tidak ingin menyinggung
perasaan dia dengan
mengatakan kehadirannya di
mukaku akan membuat aku
makan segan. dengan halus aku
memohon dia menjauh. aku
tahu, kau tak mau dekat-dekat
karena tubuhku kotor dan bau
keringat. Baru sekali aku mandi.
Pagi tadi. Aku lupa mandi ketika
mengunjungi seorang teman di
benteng kota hutan terlarang. Teman pria!" aku
tersenyum, memperlihatkan
wajah jujur. karena itu, baiklah.
Nanti, sehabis, makan aku akan
segera mandi. Kukira aku akan
mandi pakai air 
hangat lagi..." kulirik sebentar
ke seberang meja. kemudian
meneruskan: "Habis itu. kita
ngobrol lebih akrab Oke?" 
   Sepi Diam. 
   Sebentar cuma. Lalu kursi di
seberang meja bergeser. Ada
langkah langkah halus, tertegun
tegun. kemudian bergerak makin
cepat ke arah dapur. Jadi dia
mengerti apa yang kumaksud.
Hanya. dia agak ragu ragu
pantaskah aku memberi
perintah" Apa hakku" Dan
mengapa dia harus" 
   Toh. selagi aku makan
terdengar juga kesibukan di
dapur. 
   Apalagi kalau bukan, ia
sedang menjerang 
   Habis makan. aku mau
beberes. Tetapi aku tersentak
ketika seSUatu yang dingin
menekan pergelanganku, pas
aku mau mengangkat piring
kotor. 
   Kontak kami yang kedua. 
   Perabotan bekas makanku
melayang di udara dan dalam
susunan tertentu terbang ke
dapur. Aku duduk terdiam.
Bingung, mau berbuat apa"
malah mau berkata apa. Sampai
terdengar Suara berkretak
nyaring Sebuah ember melayang
keluar dari kamar mandi dan
rupanya membentur tepi meja di
depanku. Ah, ah, sebuah
sindiran" 
   'Biar olehku," Ujarku, cepat
cepat berdiri. 
   Ember itu terhenti diam di
lantai. Ragu ragu, aku
mengambilnya. Berharap ada
sentuhan antara kami. tabrakan
tak sengaja. Nihil, kecuali udara
dingin yang terasa menjauh
sedikit demi sedikit. Ember
kuambil dan pergi menuju
dapur. Air telah mendidih di
atas kompor. Kupindahkan ke
ember. Menatap sekitar dapur
sejenak. kalau kalau dia ada.
Segala sesuatunya diam tidak
bergerak. Udara di dapur
pengap, hangat dan berbau
bekas masakan. 
   Kecewa. aku menghilang di
kamar mandi 
   Tetapi sebelum membuka
pakaian. aku mengawasi dengan
kuatir sekitar kamar mandi yang
tertutup itu. lantas berkata
enggan: "Kau toh tidak ingin
melihatku berbugil"' 
   Sebagai jawabannya.
terdengar bunyi
berklentang-klentong_ tanda ia
sedang Sibuk bekerja di dapur.
Ada ember besar untuk mencuci
di kamar mandi itu Pakaianku
yang kotor kubuang ke ember
besar itu. Saat itulah kuketahui,
kalau pakaian kotorku yang di
kamar telah berpindah tempat ke
kamar mandi ini. Sudah malam
sekarang, biar besok saja
kucuci, pikirku. 
   Air hangat membuat badanku
segar bugar. 
   Berhanduk-handuk aku naik
tangga, terus ke kamar tidur.
Pintu kututup, dan tidak curiga
kalau ia ada di dalam karena
udara tetap hangat. Lekas-lekas
aku berganti pakaian. Tengah
aku menyisir rambut. ada
geseran lembut di pintu. 
   Kubuka. 
   Segelas kopi kental hangat
melayang di depan dadaku.
Udara di kamar sebaliknya
berubah dingin. Reflek aku
menyingkir memberi jalan dan
membiarkan dia meletakkan
minumanku di meja. Apakah dia
melakukan segala sesuatu
sebagai permintaan maaf akibat
tingkah lakunya yang
menjengkelkan sebelum ini" 
   Ia tahu, bahwa aku harus
sudah siap bekerja. 
   Tak boleh diganggu. 
   Hal itu kumaklumi. tatkala
udara dingin menjauh ke pintu.
Daun pintu perlahan lahan
menutup. Sebelum tertutup
seluruhnya, barulah kusadari
bahwa aku telah berlaku kurang
pantas. 
   "Dengan apa kubalas budi
baikmu?" aku mendesah lirih. 
   Gerakan daun pintu terhenti. 
   Dia menatapku, aku yakin! 
   "Sudah berapa lama kau hidup
sendirian di rumah ini?" aku
balas menatap. "Kau tentunya
kesepian. Dan... hem, kau kira,
aku juga tidak kesepian bukan"
Kau perlu teman. Aku. lebihlebih
lagi. Kita sama-sama kesepian
di rumah ini. Mengapa kita tidak
ngobrol barang sedikit. sebelum
masmg masing naik ke
peraduan?" 
   Daun pintu tetap membeku. 
   MaSih di situkah dia" Atau
telah pergi, tanpa pamit" Pamit,
wah!
   "Duduklah, dimana kau Suka."
kataku, menguji kehadirannya,
dan Sekaligus mengajak. ' 
   Pintu terbuka semakin lebar. 
   Kemudian menutup,
perlahan-lahan. Dia masuk, atau
dia pergi" Udara dingin
melewati tubuhku. Jadi. dia
masuk. Dan duduk di tepi tempat
tidurku. Terbukti sprei yang
menutupi kasur tampak melekuk
dalam di sudut tempat tidur.
Sudut yang paling dekat ke
pintu. Aku tersenyum. dia Siap
untuk kabur. kalau aku berbuat
sesuatu yang tidak ia sukai! 
   Setelah terpesona sesaat. aku
duduk di belakang meja kerja. 
   Berpikir sebentar. lalu:
"Sebenarnya aku ingin tahu
mengenai dirimu. Siapa kiranya
engkau ini, perasaan apa yang
saat ini bergejolak di dalam
hatimu. Apa yang kau sukai" apa
yang tidak kau sukai. Apa yang
kau ingini dan tidak ingini.
Tetapi . kau tidak pernah
berkata sepatah pun padaku.
Aku tahu... tak mungkin. Atau...
mengapa tidak kau tulis saja?" 
   Kuambil selembar kertas.
sebuah ballpoint dan
menyorongkannya ke pinggir
meja. dekat tempat ia duduk.
Karena tak disambut, benda
benda itu kuletakkan saja di
sana. Kemudian duduk
menunggu: "Tulislah, apa yang
ingin kau tulis." aku membujuk.
sembari mengurai senyum. 
   Tempat tidur bergerit. Lekukan
di sprei agak naik. Lalu ada
tekanan pada kertas. Ballpoint
bergerak-gerak. mengatur posisi
untuk menulis. Ia ragu ragu
sebentar. Kemudian ballpoint
menari-nari di permukaan
kertas. Sayang, tak lama. Baik
ballpoint maupun kertas
kemudian tergeletak diam. Aku
menarik kertas itu. Dan
membaca: "Panjang ceritanya.
Lebih panjang dari
novel-novelmu. Lain kali saja,
ya?" 
   Titik sampai di situ. 
   Tak ada tanda tangan. Tak ada
nama. 
   Betapa ingin aku bertanya.
Namun sadar ia tidak mau
memberitahu. maka hasrat itu
kutekan jauh ke dalam hati. Tak
baik memaksa dia. Lebih baik
kuperhatikan bentuk tulisan
tangannya. Tulisan yang teratur.
apik dan indah. Itu hanya umum
dimiliki oleh tangan seorang
perempuan. Perempuan yang
pernah bekerja sebagai seorang
sekretaris, paling tidak seorang
korespondensi. 
   Makin yakin aku: ia bukan
laki-laki. 
   Tinggal masih mudakah dia"
Atau" 
   Pertanyaan tolol, pikirku.
Pertanyaan bodoh dan
memalukan. Bukankah aku ingin
berteman, seperti dia" Mengapa
ribut soal usia" Seorang
laki-laki yang menanyakan usia
perempuan... atau sebaliknya,
maka pertanyaan itu
mengandung unsur seksuil. Biar
cuma setitik debu. tetap saja
tercium bau seksnya. Dan aku
tidak mau, dia mentertawakan
dan mencemoohku. berharap
aku dapat kencan dengan dia
Kencan di tempat tidur. wah.... 
   Tetapi, mengapa tidak" 
   Tempat tidur berderit. Resah. 
   Aku tersadar. 'Maaf." kataku
cepat-cepat, mencegah ia pergi
saking dongkol aku bungkam
dari tadi. Kemudian membela
diri: "Soalnya, aku tidak tahu
bagaimana aku harus
memanggilmu." kuharap.
berkau-kau cukup wajar. Supaya
kau tahu. kau kuanggap seusia
denganku. atau tegasnya: kau
lebih muda dari aku"." 
   Bingung lagi. Tidak tahu. apa
yang akan kujadikan bahan
obrolan. Tanpa sadar,
kumasukkan sebuah kaset ke
tape deck. Volume kuputar
sedikit rendah. begitu pula
volume ampli. Musik lembut
tanpa lagu segera memenuhi
kamar tidur. Halus. mendayu
dayu. Francis Goya dengan
petikan gitarnya: O Sole MIO. 
   terpengaruh thema lagu itu,
aku tersandar di tempat duduk
dan berkata setengah terpejam:
'Sebenarnya aku bukan seorang
perjaka tulen, seperti pernah
kukatakan padamu.?"
Kuperhatikan lekukan di sprei.
ia masih belum beranjak. "Aku
pernah kawin!' tambahku. 
   Lekukan itu berubah. 
   Bukan hilang. Tetapi semakin
dalam. dan melebar ke arah
tembok. Ia juga menyandar.
kukira dan aku menyimpulkan
dia bermaksud menjelaskan:
'Teruskanlah. Aku sedia
mendengarkan."' 
   "Namanya Rosnah.' kumulai
ceritaku. 
   Rosnah masih saudara
sepupuku. Rapat lagi. Ia anak
gadis satu-satunya saudara
lakilaki ibu. Rosnah tidak saja
kesayangan orangtuanya,
Rosnah juga merupakan cibiran
tulang ibu, yang meski punya
tiga orang anak tetapi tidak satu
pun dikaruniai anak perempuan.
Dua saudaraku yang lain, semua
laki-laki. Tak heran. kalau
kadang kadang ibu tampak lebih
sayang pada Rosnah. ketimbang
kami anak anaknya. Apalagi
semenjak ditinggal mati oleh
ayah, sedang dua saudaraku
sudah menikah dan pindah
rumah dan aku sendiri kemudian
melanjutkan pendidikan ke
ibubenteng kota hutan terlarang, Rosnahlah yang
senantiasa mendampingi ibu dan
merawatnya penuh kaSih
apabila ibu sedang sakit. 
   Ketika kuliahku gagal dan
dunia karang mengarang baru
saja kumasuki, ibu memanggilku
pulang. "Kau kawinlah..."
katanya. Dan tentu saja calon
ibu tak lain Rosnah sendiri.
Keinginan ibu diparanormalg pula
oleh orang tua Rosnah. "Kami
akan memberimu modal
berusaha." berkata ayah
Rosnah, setelah tahu kalau aku
malas kerja kantoran. 
   Tidak ingin menyinggung hati
keluarga, aku kemudian setuju
menikahi Rosnah. Lagi pula
honorariumku sebagai novelis
pemula, tidak memadai untuk
hidupku. meski masih bujangan,
Sudah jumlahnya kecil. sering
dipermainkan pula. Kalau
menagih ke kantor redaksi
majalah atau surat kabar,
redaksi bilang: tata usaha
sedang pergi. Kalau tata usaha
ada, maka: harus ditanda
tangani Pemimpin Redaksi.
tetapi beliau sedang rapat.
Kadang-kadang dua-duanya
kebetulan hadir. dan
honorariumku dibayar. Namun
seringkali tertunda. dengan
dalih: pembayaran baru
dilakukan akhir minggu, atau
akhir bulan dan segala macam. 
   Setelah menikah aku dan
Rosnah membuka sebuah toko
kecil, tak jauh dari pusat pasar.
Tetapi Rosnah lebih senang
mempercantik diri. sedang aku
bukan seorang manajer yang
baik. Berhitung laba rugi saja
aku tak berbakat. Lebih banyak
menghabiskan waktu pada mesin
tik dan lamunan yang aduhai
mengenai pengarang-pengarang
besar sebelum aku, membuat
usaha kami bangkrut meski
beberapa kali dibimbing bahkan
ditambah modal oleh mertuaku.
Omelan dan gunjingan mulai
datang beruntun. 
   Karena tak tahan. kubawa
Rosnah pindah ke ibubenteng kota hutan terlarang. 
   Dengan demikian aku terlepas
dari omelan keluarga dan lebih
mudah melakukan hubungan
dengan majalah atau surat
kabar yang memuat
novel-novelku, ibu tidak suka
meninggalkan kampung
halaman, jadi memilih tinggal
dengan salah seorang abangku.
Ia sangat marah kalau Rosnah
mengabari kami sedang ribut,
tetapi akan menangis bahagia
kalau kami 
   sedang rukun. Tetapi rukunnya
aku dengan Rosnah. baru terasa
setelah namaku mulai menanjak
dan tidak suka lagi menagih
honorarium. Malah sudah sering
dibayar di muka, itu pun dengan
harga yang terus meningkat.
sekedar menjaga agar aku tidak
kabur mengisi majalah-majalah
lain. 
   Sayang. peningkatan itu tidak
merubah kami berdua. 
   Aku tetap menekuni mesin tik
dan hobby yang mendarah
daging menulis cerita,
sementara Rosnah yang masih
muda belia dan baru pertama
kali jauh dari keluarga. makin
sering pula bertingkah. Sifat
manja dan serba ingin dilayani
ketika masih tinggal dengan
orang tuanya, makin lama makin
kuat hadir menjembatani
hubungan kita. Ia akan bermuka
manis kalau aku menerima
honorarium besar, karena itu
berarti ia makin leluasa
mempercantik diri. Keluar
masuk kap salon dan butik.
mengunjungi bekas-bekas teman
sekolahnya dan kadang-kadang
piknik bersama mereka ke luar
benteng kota hutan terlarang, tanpa seijinku. 
   Hal itu masih kubiarkan.
selama Rosnah tidak menodai
kesucian dirinya sebagai
seorang isteri yang setia. Yang
tidak dapat kubiarkan, adalah
ketidak-mengabdian Rosnah
sebagai isteri. "Kau egoist,"
seringkali ia menuduh. Dan aku
terpaksa harus bekerja. dengan
membuat kopi sendiri, atau
pagi-pagi sibuk di dapur. karena
tidak kuat menahan lapar.
sementara Rosnah masih
tertidur nyenyak. Kalaulah tidak
karena malamnya pulang
terlampau larut. pastilah ia
berdalih: "Suara mesin tikmu
membuatku tak bisa tidur!" 
   Dalih inilah yang menjadi
klimaks pertengkaran kami, 
   Gagal dibujuk semua
keluarga, Rosnah kuantar
pulang ke kampung. Langsung
kucerai, sehingga Ibu pingsan.
Aku dicaci maki. dan untuk
menghindari perkelahian pisik
aku buruburu kabur kembali ke
ibubenteng kota hutan terlarang. Belakangan baru
kusadari tindakanku merupakan
salah besar yang tidak mungkin
diampuni.: Rosnah tengah
mengandung empat bulan, waktu
ia kucerai. 
   Aku tidak diberi ampun sama
sekali. 
   Setelah mendengar Rosnah
melahirkan anak kami. aku
pulang ke kampung untuk
menjenguk. Aku hanya menemui
ibu yang sakit-sakitan,
saudara-saudaraku yang marah
marah. Sedang Rosnah,
jauh-jauh hari sudah diungsikan
keluarganya entah ke mana.
Belakangan kudengar ia telah
dilamar seorang lakilaki lain
dan telah menikah syah satu
minggu sebelum anak kami
lahir. Hanya mereka tidak
bercampur sebagai suami isteri.
dan baru bercampur kelak
setelah anak Rosnah lahir. 
   Usaha apapun yang kulakukan
untuk melihat dan memomong
anakku walau sebentar, selalu
menemui jalan buntu. Sakit
ibuku makin hari semakin parah.
Ia kemudian meninggal. 
   disertai penyesalanku yang tak
kunjung habis. Malu dan
terhina, kampung halaman
kutinggalkan. Jangankan dengan
Rosnah dan anakku. Hubungan
dengan kedua saudaraku,
perlahan-lahan ikut pula putus
seperti titian reot yang dilanda
banjir. 
   Kerinduan pada anak,
membuatku terpukul selama dua
tiga tahun. 
   Untunglah ada seseorang yang
memberi saran untuk
meringankan bebanku. "Tulis
kerinduanmu dalam novel," ia
berkata. Dari kerinduan anak
itu, melahirkan sejumlah
buku-buku yang bervariasi dan
mengangkat nama dan masa
depanku kembali ke permukaan 
   Semenjak itu aku tidak berani
berumah tangga. 
   Rosnah mungkin benar. Aku
terlalu egoist. Mesin tik
merupakan isteri pertamaku.
Perempuan, baru yang kedua.
Kalau sedang tekun dan
keranjingan, aku melupakan
kewajibanku sebagai suami.
Sebaliknya aku menuntut terlalu
banyak; agar isteriku
menyediakan ini itu, agar dia
senantiasa tersenyum ramah
biar terganggu suara mesin tik
di tengah malam buta... agar dia
sabar kalau inspiraSiku sedang
kosong sehingga aku terpaksa
menandatangani surat hutang
naskah di sana sini. dan tidak
menghamburkan uang begitu
saja kalau datang rejeki
nomplok. 
   Semakin buntu keinginanku
untuk menikah. tiap kali aku
teringat pada anakku. Anak 
   itu tidak akan pernah kulihat
walau sekejap mata. Ia
meninggal semasih berusia
empat tahun. terserang kolera.
Biar ia meninggal karena
kolera. sampai kapan pun aku
beranggapan. anakku telah
dibunuh oleh ibu kandung dan
ayah tirinya. ia tidak akan sakit
kolera, kalau mereka
merawatnya dengan telaten.
"Mereka membunuhmu. Dan aku
membiarkannya," kukatakan itu
di kuburan anakku. Kuburan
yang lama sekali baru kuketahui
lokasinya itu pun setelah
mengancam akan bikin ribut di
rumah salah seorang abangku.
Kuburan itu ditumbuhi rumput
liar, semak belukar dan
nisannya yang satu tumbang,
satunya lagi miring 
   Air mataku habis tertumpah
ketika menyiangi rumput. 
   "Seperti siapa kau gerangan,
Nak" Seperti ibumu" Atau
seperti ayahmu" Aku bukan ayah
yang baik, tahukah kau'" Bahkan
kau tidak mau mengampuni aku.
bukan?" 
   
   Sssst.... 
   Desah halus dan tajam
membuatku tersentak. 
   Aku tidak sedang menyiangi
kuburan. Aku tengah
terperangkap dalam
kesendirianku, di sebuah kamar
kecil berperabotan seadanya.
Kaset telah habis. Kesunyian
menganga di sekitar. Dan di
tengah kesunyian yang
menganga itu. sesuatu yang
membeku dingin mengusap
pergelangan tanganku yang
tengah kutangkupkan ke wajah. 
   Aku tertegun. kaku. 
   "Siapa?" kemudian kusadari
lekukan di ranjang tidurku
sudah tinggal sisa yang kian
menipis. "Kaukah yang barusan
berbiSik."' tanyaku.
tersendat-sendat. 'Apa... apa
yang kau... bisikkan?" 
   Desah lirih dan tajam. dingin
menusuk itu menyapu telinga
kembali. Lamat-lamat aku
mendengar kata demi kata
dalam susunan yang samar dan
Sukar kutangkap. 
   "Tulislah!' aku hampir
menjerit. "Tulislah apa yang kau
ucapkan....!' 
   Ia tidak menulis. Ia berbisik
semakin nyata: 'Mengapa
menangis sayangku" Aku ada di
dekatmu." 
   Sayangku' 
   Ia menyebut: Sayangku! 
   Sesuatu yang dingin pada
pergelangan tangan kanan,
kugenggam dengan tangan kiri.
Lengan yang halus lembut dan
terasa bergetar. Aku menarik
lengan yang tak kelihatan itu ke
bibirku, mengecup kebekuan
yang dingin di udara dan
berbiSik setengah menangis:
"Ulangi lagi. Ulangi lagi."' 
   Lengan dingin tak berWUjud
itu. mendadak membeku. 
   Diam. 
   Kembali aku tersentak. Marah
dan tersinggungkah dia"
"Hei".." mulutku baru saja
terbuka untuk mengatakan
sesuatu. manakala jari yang
dingin menyentuh bibir.
Menyentuh. lalu menekan. Ia
menyuruhku diam. 
   Reflek, aku merasakan
ketegangan di sekitarku 
   Ada sesuatu, di rumah itu. 
   Sesuatu yang lain. Sesuatu
yang bukan 
   Angin yang setaja