Tampilkan postingan dengan label rempah nusantara 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rempah nusantara 1. Tampilkan semua postingan

rempah nusantara 1

 





Antioksidan yaitu  zat untuk menetralisir dampak dari radikal 

bebas dalam tubuh yang merupakan hasil samping dari 

proses metabolisme sel. 

Asma yaitu  penyakit kronis yang ditandai peradangan 

dan hipersensitivitas sel otot polos saluran napas yang 

memicu  kejang.

Bangsa Aria yaitu  bangsa yang membangun peradaban Hindu 

dan Buddha serta menyebarkannya ke seluruh penjuru Asia.

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) yaitu  tanaman rempah berupa 

tumbuhan rumpun berbatang semu penghasil rimpang 

berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina.

Kalium yaitu  vasodilator yang melemaskan pembuluh darah, 

sehingga mengurangi tekanan darah dan menurunkan 

tekanan pada sistem kardiovaskular.

Kolitis ulseratif yaitu  penyakit radang usus kronis yang berulang 

yang tidak diketahui sebabnya.

Minyak atsiri yaitu  kelompok besar minyak nabati yang 

berwujud cairan yang mudah menguap pada suhu ruang, 

sehingga memberi  aroma yang khas.

Mutagen yaitu  zat kimia yang mengubah susunan genetik DNA 

dan memicu  mutasi.

Oleoresin yaitu  campuran alami dari minyak atsiri dan resin, 

yang diperoleh dari proses ektraksi menggunakan pelarut 

organik, maupun melalui cara ekstraksi dengan CO2 pada 

kondisi superkritik.

Piperine yaitu  senyawa yang memberi  rasa pedas.

Plasma nutfah yaitu  substansi pembawa sifat keturunan yang 

dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau 

hewan serta mikroorganisme.

Subsidi yaitu  alokasi anggaran pemerintah yang diberikan 

kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, 

mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa yang memenuhi 

hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga 

jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.

Varietas unggul yaitu  galur hasil pemuliaan yang mempunyai 

satu atau lebih keunggulan khusus seperti potensi hasil 

tinggi, tahan terhadap hama, tahan terhadap penyakit, toleran 

terhadap cekaman lingkungan, mutu produk baik, dan/atau 

sifat-sifat lainnya serta telah dilepas oleh pemerintah.









Keinginan mengembalikan kejayaan rempah sebagaimana 

yang akan disampaikan dalam buku ini tentunya dilandasi 

pengetahuan bahwa pada masa lalu memang benar 

rempah merupakan komoditas yang bernilai sangat tinggi. Sangat 

tingginya nilai rempah ini  telah melahirkan suatu zaman 

pencarian dan penguasaan rempah yang sangat dinamis. 

Kehidupan masyarakat dan perekonomian Kerajaan Romawi, 

Mesir Kuno, Timur Tengah, India, dan Tiongkok, serta wilayah 

Asia Tenggara, khususnya Nusantara pada masa lalu itu semua 

gerakannya tak dapat dipisahkan dari rempah. Maluku sebagai 

satu-satunya wilayah penghasil cengkeh dan pala dunia pada 

masa awal perburuan rempah telah menjadi tujuan bangsa-bangsa 

di dunia untuk dapat mencapainya. 

Kata Maluku itu sendiri konon berasal dari kata Al Mulk

yang berarti kerajaan sebagai tempat tinggalnya raja-raja. 

Saking tingginya nilai rempah itu, sejarah menunjukkan bahwa 

berdasar  Perjanjian Breda pada tahun 1667, Pulau Run yang 

sebelumnya dimiliki Inggris dengan luas sekitar 3 km2

 ditukar 

dengan Manhattan, New York, yang sebelumnya milik Belanda. Apakah rempah pada masa sekarang dan waktu mendatang 

akan kembali menjadi komoditas penting seperti pada masa lalu 

sehingga keinginan mengembalikan kejayaan rempah itu menjadi 

keinginan yang strategis dan masuk akal? Dengan tahapan 

analisis yang cukup terperinci, buku ini mencoba menjelaskan 

bahwa memang benar terdapat potensi nilai rempah yang besar 

pada masa yang akan datang. Apalagi perkembangan kemajuan 

ilmu pengetahuan dan teknologi serta dukungan perkembangan 

permintaan pasar yang semakin besar terhadap produk-produk 

turunan dari rempah ini. 

Mengingat komoditas rempah jenisnya banyak maka dalam 

buku ini jenis rempah yang dimasukkan dalam analisis hanya 

enam, yaitu: pala, cengkeh, lada, jahe, vanili, dan kayu manis. 

Buku ini terdiri atas tujuh bab. Bab I dimaksudkan sebagai bab 

pembuka untuk seluruh isi buku ini. Isinya difokuskan untuk 

bisa menjawab pertanyaan, apa argumen atau pengetahuan 

yang membuat keinginan mengembalikan kejayaan rempah 

itu strategis dan masuk akal? sedang  fondasi pengetahuan 

tentang keberadaan rempah dunia diulas dalam Bab II. Sementara 

keberadaan rempah Nusantara disajikan pada Bab III. 

Bab IV menguraikan aspek perkembangan rempah dan 

kehidupan baru sejalan perkembangan ilmu pengetahuan, 

teknologi, dan pasar. Adapun prospek ekonomi rempah dalam 

lingkup ekonomi nasional disajikan dalam Bab V, sedang  

kebijakan dan strategi mengembalikan kejayaan rempah negara kita  

dijabarkan pada Bab VI. Buku ini ditutup dengan Bab VII yang 

memberi  penekanan pada arah dan kebijakan pokok untuk 

membangkitkan rempah pada masa mendatang.

Rempah dalam Kognisi Bahasa

Ada yang berkata bahwa dunia ini hanyalah kata-kata. Apabila 

belum menjadi suatu kata, menurut pemahaman ini maka hal 

yang dimaksud belum menjadi bagian dunia. Kata itu sendiri mengalami kehidupan dan kematian. Kata dalam bahasa Latin 

sudah dikenal sebagai kata yang sudah mati. Dengan alasan inilah, 

ilmu taksonomi menggunakan kata-kata dalam bahasa Latin untuk 

memberi  nama pada tanaman, hewan, atau mikroorganisme. 

Apa yang bisa digambarkan dari kata rempah atau dalam 

bahasa Inggrisnya spice yang sudah hidup dalam waktu ribuan 

tahun? Apakah kata ini  masih menggambarkan masa 

kejayaannya? Untuk menjawab pertanyaan ini , bisa 

digunakan metode pencarian dengan menggunakan Google Search.

Hasilnya menunjukkan bahwa pencarian kata rempah dalam 

Google pada 28 Januari 2018, pukul 08.50 WIB memberi  

7.270.000 hasil. sedang  apabila menggunakan kata cengkeh, 

didapat 692.000 hasil. Selanjutnya, jika memakai kata clove didapat 

hasil pencarian jauh lebih besar, yaitu 292.000.000. Kata clove dalam 

Google ternyata hampir 422 kali lebih banyak dibandingkan kata 

cengkeh. 

Sementara jika kata pencarian diganti nutmeg maka diperoleh 

35.100.000 hasil. Ternyata jumlah hasil pencarian clove 8,3 kali 

lebih banyak dari nutmeg. Artinya, clove lebih populer daripada 

nutmeg. Apabila pencarian dilanjutkan dengan kata pala, hasilnya 

memberi  95.400.000 hasil. Namun, jumlah ini bukan hanya 

menggambarkan pala sebagai nutmeg atau Myristica fragran, 

tetapi juga mengandung arti lain seperti nama tempat, peralatan, 

dan lain-lain. Lebih tampak perbedaan hasil pencarian apabila 

menggunakan kata spice, yaitu 366.000.000 hasil. Kata spice ini 

sangat populer dibandingkan kata-kata lain seperti rempah, clove, 

atau nutmeg. 

Gambaran ini  merupakan cara sederhana mendapatkan 

informasi umum sejauh mana pala, cengkeh, atau rempah berada 

dalam alam pikiran manusia. Gambaran yang diperoleh yaitu  

jumlah kata rempah dalam pencarian Google berada jauh di bawah 

jumlah pencarian spice. Hal yang serupa juga diperoleh dalam 

pencarian cengkeh versus clove dan pencarian pala versus nutmeg. Dari hasil ini dapat dibangun hipotesa bahwa secara kognitif 

rempah itu lebih dikenal atau berada dalam alam pikiran budaya 

yang menggunakan rempah atau cengkeh dalam bahasa Inggris. 

Artinya, makna rempah di dunia global lebih kuat dibandingkan 

di dunia lokal di mana ia berasal. Kejayaan rempah pada masa 

yang akan datang berarti bahwa negara kita  berbeda dengan yang 

telah dialami pada masa lalu, harus bisa dan kuat memanfaatkan 

pasar global.

Inspirasi dari Sejarah

Apa saja kejayaan rempah di masa lalu yang begitu memukau 

sehingga kita ingin mengembalikan kejayaannya itu? Dari 

penjelajahan sejarah rempah, pertanyaan ini  dapat dijawab.

Rempah dalam alam pikiran budaya atau peradaban umat 

manusia usianya sudah mencapai usia ribuan tahun. Menurut 

UCLA History & Special Collections Louise M. Darling Biomedical 

Library, rempah sudah dimanfaatkan sejak 5000 SM di Timur 

Tengah. Kemudian tahun 3000 SM di Mesir, rempah sudah 

dimanfaatkan sebagai balsam. Bahkan diketahui pada tahun 

1500 SM, Ratu Hathepshut mendatangkan rempah dari Afrika 

Timur. Bangsa Arab memonopoli rempah selama kurang lebih 

2.000 tahun mulai tahun 2000 SM. Pada tahun 992 SM, Ratu Sheba 

dari Arab menyampaikan rempah kepada Raja Sulaiman. Tabel 

1 menggambarkan perkembangan rempah pada masa sebelum 

masehi (SM).Tabel 2 menggambarkan perkembangan lintasan waktu dan 

tempat tentang rempah dalam peradaban dunia sejak tahun 

1-1550 M. Dalam bilangan 1550 tahun ini , bangsa Eropa 

sudah mengenal rempah dari Maluku sejak tahun 500 M. Rempah 

ini diperoleh dan dipasarkan pedagang bangsa Arab yang sudah 

mengetahui Dunia Timur lebih dulu dan mampu masuk ke pasar￾pasar Eropa.

Monopoli bangsa Arab berakhir sesudah  bangsa Portugis 

langsung masuk ke India, lalu ke Malaka dan akhirnya ke pusat 

rempah dunia untuk cengkeh dan pala, yaitu Maluku. Tabel 1 

dapat menjadi sumber informasi penting untuk penelitian lebih 

mendalam pada era 1-1550 M.

Kesimpulan paling penting yang dapat diambil dari Tabel 1 ini 

yaitu  bahwa perkembangan rempah dalam mengisi peradaban 

dunia sejak tahun masehi berkembang sangat cepat. Dengan ciri 

masuknya bangsa Eropa ke dalam kancah perdagangan global 

rempah dengan kepeloporan Portugis dalam memutus fenomena monopoli spasial yang dinikmati pedagang bangsa Arab, Persia, 

dan India

Informasi dari Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa pasar 

rempah sudah berkembang sejak sebelum masehi dengan jarak 

yang sangat jauh dari pusat rempah itu berada. Pada awal tarikh 

masehi, Kekaisaran Romawi sudah memanfaatkan rempah dalam jumlah besar dan sebagai simbol status bagi kaum elite Roma. 

Para pedagang bangsa Arab mengendalikan lalu lintas rempah ke 

Eropa selama berabad-abad. 

Sebagaimana telah disebutkan bahwa pada tahun 500 Masehi 

dari data yang tersedia, di pasar rempah Eropa sudah didapat 

rempah yang berasal dari Maluku. Artinya, bangsa Eropa 

khususnya Portugis memerlukan waktu kurang lebih 1.000 tahun 

untuk sampai di Malaka. Waktu ini  diukur dari sudah 

tersedianya rempah asal Maluku di Eropa sejak tahun 500 M dan 

bangsa Portugis mencapai Malaka pada tahun 1511. 

Tahun 1500-an awal ini merupakan tahun yang sangat penting 

bagi perjalanan sejarah rempah dan perkembangan politik￾ekonomi, khususnya di Nusantara dan umumnya di Asia Tenggara 

atau Asia. Bahkan perjalanan rempah dapat dikatakan lebih seru 

lagi mengingat dampaknya melahirkan globalisasi yang berbaur 

dengan kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa di 

Asia, Australia, dan Afrika. 

Hal ini  diawali dengan keberhasilan bangsa Portugis 

di bawah komando Alfonso de Albuquerque menaklukkan 

Malaka pada 24 Agustus 1511. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, 

penaklukan Malaka ini telah memicu  perubahan permanen 

dalam sejarah perkembangan ekonomi di kawasan ini. 

Hampir satu abad bangsa Portugis menguasai perdagangan 

rempah Nusantara. Bangsa Eropa lainnya lalu merasa tertantang 

bagaimana dan melalui jalan mana untuk bisa mendapatkan 

rempah, khususnya cengkeh dan pala dari pusatnya, yaitu Asia 

atau lebih tepatnya Maluku. Tantangan ini  menciptakan 

perlombaan di antara mereka. 

Bangsa Portugis itu sendiri sudah menguasai perdagangan 

rempah hampir satu abad. Namun, bangsa Portugis tidak berhasil 

memonopoli seluruh rempah di Nusantara. Justru bangsa Belanda 

dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) akhirnya menjadi pemenang di Nusantara dengan memonopoli rempah dan 

komoditas lainnya melalui penjajahan di wilayah ini.Gelombang besar dari bangsa Eropa ke Asia, Asia Tenggara, 

atau Nusantara untuk berburu rempah itu akhirnya menciptakan 

hubungan bangsa yang menjajah (Eropa) dan yang dijajah (Asia). 

Nusantara itu sendiri menjadi bagian wilayah jajahan Belanda. 

Dalam hubungannya dengan rempah ini ada kisah yang sangat 

mengharukan, yaitu kisah tukar-menukar Pulau Run dengan 

Manhattan (New York) melalui Perjanjian Breda pada tahun 

1667. Pulau Run yang sebelumnya milik Inggris ditukar dengan 

Manhattan yang sebelumnya milik Belanda. Penukaran ini  

menandakan bahwa nilai Pulau Run masa itu tentu sangat tinggi 

sehingga setara dengan nilai lahan (lokasi) di ManhattanDunia menyaksikan sesudah  351 tahun berlalu, Manhattan 

sudah menjadi pusat dunia baru. Namun, Pulau Run atau Maluku 

yang 400 tahun lalu menjadi pusat dunia, dewasa ini masih tetap 

menjadi wilayah tertinggal. Ke mana hasil rempah ini pergi?

Akhir Kejayaan Rempah pada Era Kolonial

Masa kejayaan rempah ini tampaknya tidak lebih dari 200 tahun 

lamanya. Hal ini dapat diukur nilai ekspor rempah dari negara kita  

ke pasar global. Data Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai ekspor 

rempah pada tahun 1823-1873 hanya berkisar 1,2-8% dengan nilai 

tertinggi pada tahun 1823-1825. sedang  yang terendah pada 

1861-1865 dan 1866-1870, masing-masing hanya mencapai 1,2% 

dari nilai ekspor total. Posisi rempah pada era ini digantikan oleh 

kopi.

Dengan mengamati arus deras perdagangan dunia yang 

dipicu dan dipacu oleh rempah pada abad ke-15 yang kemudian 

melahirkan gemuruh globalisasi pada abad ke-16 dan ke-17, 

telah menumpuk kekayaan di negara Eropa dalam jumlah yang 

luar biasa besar. Sebaliknya, keadaan di negara Afrika, Asia, dan 

Australia justru mengalami pemiskinan hampir dalam segala 

bentuknya. 

Dalam kondisi ini  dapat dikatakan pula bahwa zaman 

kejayaan emas hijau berupa rempah di Nusantara telah berakhir 

sebagaimana diperlihatkan data pada Tabel 4. Pada abad ke-19, 

kontribusi ekspor rempah tinggal 8%, kemudian menurun menjadi 

hanya 1,4% pada tahun 1871-1873. 

Posisi rempah dalam perekonomian nasional dewasa ini juga 

tidak lebih baik dari posisi akhir abad ke-19. Pada tahun 2014, 

tercatat bahwa nilai devisa yang diperoleh dari ekspor rempah 

hanyalah 577,62 juta dolar AS atau 0,32% dari nilai ekspor total 

perdagangan umum yang mencapai 180,29 miliar dolar AS. Jika 

diambil persentase hasil devisa dari rempah terhadap nilai devisa pertanian maka nilai devisa yang didapat masih sekitar 9,7%, yakni 

perbandingan dari hasil ekspor rempah dengan nilai devisa ekspor 

hasil pertanian 5,92 miliar dolar AS (ekspor minyak sawit senilai 

17,46 miliar dolar AS dicatat sebagai ekspor hasil manufaktur).

Tren Pasar Rempah pada Era Mendatang

Dengan fakta di atas, apa yang bisa dijadikan argumen yang 

mendasari bahwa memang cukup kuat untuk bisa mengatakan 

kejayaan rempah pada masa lalu bisa diciptakan kembali?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, dilakukan analisis sebagai 

berikut. Pertama, tren permintaan rempah dari negara maju. Tren 

yang positif dan cukup besar menunjukkan bahwa menjadikan 

rempah berjaya kembali pada masa yang akan datang mendapat 

dukungan dari pasar di negara maju. 

Indikator tren pasar di negara maju ini penting mengingat 

negara maju bertindak sebagai pembeli rempah yang berasal 

dari negara berkembang. Sebaliknya, negara berkembang yang 

umumnya berada di wilayah tropika merupakan penghasil 

rempah. Dengan demikian, antarnegara berkembang penghasil 

rempah ini merupakan negara yang satu dengan lainnya 

berkompetisi mendapatkan pembeli negara maju.

Kedua, mendalami kandungan zat yang terdapat dalam 

tanaman rempah sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan 

hasil-hasil penelitian terbaru. Pencarian ini dilandasi pada hasil 

penemuan yang menunjukkan ada-tidaknya potensi tanaman 

rempah menjadi obat yang bisa mengatasi penyakit yang makin 

berkembang pada masa mendatang dan dewasa ini belum tersedia 

obatnya, seperti kanker atau diabetes. 

Ketiga, kemajuan dalam ilmu pangan apakah menunjukkan 

peran zat dalam rempah ini dalam menciptakan cita rasa yang 

makin baik dan sekaligus makin sehat. Keempat, hubungan zat 

dalam rempah dengan kebutuhan industri obat-obatan pertanian sebagai substitusi pestisida. Selama ini pestisida menjadi tulang 

punggung Revolusi Hijau, tetapi meninggalkan dampak negatif 

pada lingkungan hidup.

Apabila keempat hal di atas jawabannya yaitu  positif maka 

rempah mengandung potensi kejayaannya dapat kembali berkibar 

pada era mendatang. Data pada Tabel 5 menunjukkan selama 

periode 1980-1994 telah terjadi peningkatan impor rempah di 

Amerika Serikat, dari 2,9% pada 1980 menjadi 6,0% pada 1994. 

Data pada Tabel 6 dapat dibaca sebagai kelanjutan pasar rempah 

di Amerika Serikat dalam periode 1999-2014. Tampak bahwa 

permintaan rempah di Amerika Serikat terus meningkat secara 

nyata.

Pada tahun 2014, Amerika Serikat mengimpor rempah 

dari delapan negara penghasil rempah utama, yaitu Vietnam, 

India, China, negara kita , Brasil, Madagaskar, Meksiko, dan Peru, 

mencapai 1.203,8 juta dolar AS. sedang  dari sumber lainnya 

bernilai 244,2 juta dolar AS. Pada tahun 2000, nilai impor Amerika 

Serikat dari Vietnam 18,6 juta dolar AS, India 91,7 juta dolar AS, 

China 26,0 juta dolar AS, negara kita  132,3 juta dolar AS, Brasil 40,7 

juta dolar AS, Madagaskar 30,6 juta dolar AS, Meksiko 29,1 juta 

dolar AS, dan Peru 1,4 juta dolar AS. 

Dengan membaca data pada Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa 

tren Amerika Serikat dalam menyerap rempah dunia meningkat 

dengan pesat. Dunia mencatat negara pengekspor rempah 

terbesar yaitu  Vietnam. Negara ini dengan cepat mengisi pasar 

rempah Amerika Serikat dari nilai devisa 16,6 juta dolar AS pada 

1999 menjadi 284 juta dolar AS pada 2014, atau meningkat 17,1 kali 

lipat dalam tempo 15 tahun. 

sedang  negara kita  dalam 15 tahun ini  ternyata hanya 

mampu meningkatkan nilai devisa hasil ekspor rempah ke Negeri 

Paman Sam sebesar 1,62 kali lipat saja. Negara penghasil rempah 

lainnya dapat melipatgandakan ekspor rempah ke Amerika Serikat 

jauh lebih besar dari negara kita . Data pada Tabel 6 berikut ini menunjukkan bahwa potensi 

pasar Amerika Serikat terus membesar, namun negara kita  belum 

dapat bersaing dengan sumber rempah negara lainnya. Vietnam 

merupakan negara dengan jumlah paling besar mendapatkan 

devisa dari ekspor rempah ke Amerika Serikat.Pasar Uni Eropa juga memperlihatkan situasi seperti halnya 

yang diperlihatkan pasar Amerika Serikat. Pada periode 2012-2016, 

impor rempah Uni Eropa dari negara berkembang meningkat 

dari sekitar 260 ribu ton menjadi sekitar 310 ribu ton atau tren 

meningkat 10% per tahun. Hal ini menunjukkan situasi optimis 

akan pasar rempah pada masa periode yang akan datang.

Peran Baru Rempah pada Era Mendatang

Fakta yang berhubungan dengan peran baru dari rempah terhadap 

umat manusia yang terungkap melalui hasil riset pada saat ini 

yaitu  makin tegas dan jelasnya peran rempah. Baik terhadap 

kesehatan dalam bentuk obat (biofarmaka atau biomedicine), 

pencipta rasa (makanan, wewangian, aroma, dan lain-lain), dan 

sebagai bahan substitusi pestisida di bidang pertanian. Literatur 

mengenai hal ini akan disajikan tersendiri pada Bab IV. 

Fokus rempah dalam pengobatan pada masa mendatang yang 

menarik untuk diperhatikan yaitu  pengobatan untuk dua jenis 

penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya, yaitu 

kanker dan diabetes. Populasi dunia yang makin meningkat dengan 

perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 mencapai 

sekitar 9-12 miliar jiwa, ternyata diperkirakan persentase jumlah 

penduduk yang akan menderita penyakit kanker atau diabetes 

juga makin besar. Tren ini secara langsung merupakan tantangan 

bagi dunia farmasi agar kondisi endemik penyakit ini  tidak 

terjadi. Tren seperti itu tentu saja merupakan potensi pasar atau 

permintaan baru yang berdampak positif terhadap masa depan 

rempah negara kita .

Peran rempah dalam menciptakan rasa, aroma, kegairahan, 

dan sebagai simbol status dalam masyarakat sudah dikenal sejak 

zaman sebelum masehi. Sementara fakta meredupnya era rempah 

pada akhir abad ke-18 dan baru hidup lagi pada masa sekarang 

sangat erat berhubungan dengan kesuksesan produk sintetik pada masa lalu. Namun, pengalaman dan perkembangan ilmu 

pengetahuan serta teknologi di bidang ini telah mengubah selera 

dunia yang mengarah kembali ke serba alami. Selain aspek cita 

rasa yang didapat, dampak peningkatan kemakmuran masyarakat 

dunia masyarakat juga mendapatkan rasa aman (safety) bagi 

kesehatan dari produk berbasis bahan alami seperti rempah.

Kejayaan rempah di masa lalu merupakan kejayaan 

yang dinikmati bangsa lain yang memiliki kekuatan untuk 

menguasai rempah hingga sumbernya, yaitu di Nusantara, 

khususnya Maluku. Permintaan bangsa Eropa, Mesir, dan 

Timur Tengah terhadap rempah sudah berkembang sejak 

zaman sebelum masehi dengan dominasi bangsa Arab sebagai 

pihak yang memonopoli jalur rempah antara Asia dan Timur 

Tengah serta Eropa. 

Sifat monopoli yang memberi  keuntungan besar ini 

telah mendorong bangsa Eropa untuk mencari jalan dan 

mendapatkan keuntungan yang besar. Bangsa Portugis, 

sesudah  lebih dari seribu tahun, mencari jalan ke tempat 

rempah asal Maluku yang telah dikenal di Roma dan berhasil 

menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Penaklukan Malaka 

ini telah mengubah seluruh sistem ekonomi dan perdagangan 

di kawasan Nusantara dan Asia. Penemuan jalan rempah ke 

sumbernya di Maluku oleh Portugis telah membuka jalan bagi 

perjalanan bangsa Eropa lainnya, seperti Belanda, Inggris, dan 

Spanyol. 

Akhirnya, perjalanan rempah bukan hanya mewujudkan 

perdagangan global, tetapi juga penjajahan bangsa Asia, Afrika, 

dan Australia oleh bangsa Eropa secara global. Mengembalikan 

kejayaan rempah Nusantara perlu didasari kenyataan pahit sejarah di atas. Sejarah ini  menjadi landasan kuat untuk 

membangun strategi dan kebijakan nasional mendatang. 

Sumber potensi nilai rempah yang bisa menjadi sumber 

kejayaan negara kita  dan rakyatnya cukup tersedia untuk 

kehidupan era mendatang. Tren pasar Eropa dan Amerika 

Serikat serta negara maju lainnya cukup besar apabila 

negara kita  mampu bersaing dengan negara penghasil rempah 

lainnya. Pasar ini  juga tersedia di dalam negeri mengingat 

negara kita  merupakan negara dengan penduduk terpadat 

keempat di dunia. 

Produk yang diharapkan tersedia dari rempah yaitu  yang 

sifatnya luxurius, seperti obat dan bahan cipta rasa. Kebijakan 

hingga blueprint rinci untuk mengembalikan kejayaan rempah 

Nusantara untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa negara kita  

yang mampu mengungguli strategi dan kebijakan bangsa lain 

sangat diperlukan agar sejarah kepedihan masa lalu tidak 

terulang


Peran dan fungsi rempah telah berkembang sedemikian rupa 

dalam membentuk proses perkembangan peradaban bangsa 

di dunia yang telah berlangsung sejak lebih dari 3.000 tahun 

sebelum masehi hingga sekarang. Walaupun kebutuhan manusia 

terhadap rempah tidak seperti kebutuhan pokok manusia seperti 

beras atau gandum, ternyata jenis dan bentuk serta fungsi 

pemanfaatan rempah ini tidak lekang dimakan waktu dan tidak 

mengenal arti rempah menjadi komoditas usang. Bahkan rempah 

dari dahulu hingga sekarang tetap terkesan sebagai komoditas 

eksotis atau lebih dari itu, eksotis dan mewah.

Nilai ekonomi rempah saat ini tidak seperti masa lalu yang 

menjadi subjek perebutan bangsa di dunia. Namun demikian, 

jalan rempah juga tidak kalah menariknya dengan jalan sutera 

dalam menghubungkan peradaban bangsa di dunia menjadi suatu 

peradaban global di masa lalu. Bahkan jalan rempah ternyata jalan 

yang mewujudkan berbagai bentuk model penjajahan bangsa yang 

kuat terhadap bangsa yang lemah, khususnya penjajahan bangsa 

Eropa terhadap bangsa Afrika, Asia, Australia, dan Amerika. Dengan perjalanan panjang peradaban umat manusia terkait 

rempah ini, pertanyaan penting yang perlu dijawab yaitu  

apabila kejayaan rempah ini berkembang kembali pada era dunia 

mendatang, apa maknanya bagi negara kita ?

Cikal Bakal Rempah sebagai Perlambang Kemajuan 

Peradaban Dunia

Hasil pengkajian arkeologis menunjukkan bahwa rempah telah 

dimanfaatkan sejak zaman Romawi atau Mesir Kuno. Hasil 

penggalian di Quseir al-Qadim, lokasi pelabuhan di pantai Laut 

Merah, Mesir menunjukkan bukti baru jejak perdagangan rempah. 

Kondisi lingkungan yang kering memicu  peninggalan bahan 

tanaman pada masa lalu tetap terjaga (tidak rusak) dan tersedia 

dalam jumlah yang cukup banyak, termasuk jenis rempah dan 

berbagai jenis tanaman pangan. 

Quseir al-Qadim merupakan pusat perhubungan pada masa 

Romawi, yaitu tahun 1-250 M (dikenal dengan Myos Hormos) 

dan pada masa Islam, yaitu tahun 1050-1500 M (dikenal dengan 

Kusayr). Hasil penggalian menunjukkan terdapatnya tujuh jenis 

rempah asal tropika, termasuk lada hitam (Piper nigrum), jahe 

(Zingiber offiChinale), cardamom (Elettaria cardamomum), turmeric

(Curcuma sp.), fagara (cf. Tetradium ruticarpum), myrobalan (Terminalia 

bellirica dan Terminalia chebula), dan betelnut (Areca catechu). Dalam 

kedua periode yang berbeda ini , terlihat perbedaan yang 

nyata dan perubahannya dalam hal jenis dan skala perdagangan 

antara zaman Romawi dan Islam.

Pada zaman Romawi, rempah digunakan sebagai bagian 

dari fungsi ritual seperti penguburan atau persembahan dalam 

menghasilkan wewangian dan pengobatan. Hanya lada hitam 

yang dimanfaatkan sebagai penyedap masakan. Pada masa Islam 

zaman pertengahan, peran rempah telah berkembang pesat di 

Timur Tengah dan Eropa, khususnya untuk pengobatan. Pada kedua periode ini , rempah merupakan barang mewah dan 

umumnya hanya dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat 

lapisan atas. 

Dalam proses menguasai rempah, berkembang hubungan 

sosial yang kompleks, mengubah realitas sosial, dan menciptakan 

perebutan kekuasaan. Dalam bahasa sekarang, globalisasi pada 

2.000 tahun yang lalu atau lebih merupakan fenomena yang 

tercipta akibat rempah yang lokasi produsennya selain belum 

diketahui secara pasti, juga jaraknya jauh sekali. 

Bersamaan dengan faktor ini , ketersediaan (supply) 

komoditas rempah yang tersedia berada jauh di bawah 

permintaan masyarakat maju pada zaman Romawi dan Mesir 

Kuno. Persoalannya tidak sekedar selera atau rasa enak makanan, 

wewangian, atau penyembuhan, dan kesan mewah, tetapi lebih 

dari itu. Rempah juga analog dengan kemewahan, status sosial, 

keuntungan besar, dan tentu saja simbol kekuasaan. Artinya, 

menguasai rempah sama dengan menguasai dunia.

Bangsa Roma sudah mengonsumsi bermacam jenis makanan 

seperti yang dikonsumsi zaman modern sekarang. Jahe merupakan 

rempah yang sudah dikenal baik sejak zaman Romawi Kuno. 

Minuman yang terbuat dari jahe ini sering dihidangkan bersama 

garam dan lada. Kata ginger juga untuk menggambarkan rempah 

secara keseluruhan. Jahe merupakan rempah yang pertama kali 

dikenal di Eropa Barat. Jahe didatangkan dari India sejak zaman 

Yunani Kuno. 

Bangsa Mesir Kuno mengunyah kapulaga (cardamon) untuk 

membersihkan gigi. Bangsa Roma dan Yunani menggunakan 

kapulaga untuk pewangi (parfum). Adapun cengkeh dan pala 

merupakan penyedap dan perangsang nafsu makan bagi bangsa 

Roma. Pedagang bangsa Arab mengirim cengkeh ke Roma dari 

tempat yang sekarang bernama negara kita . Pada zaman itu, 

cengkeh juga dipandang sebagai bagian dari obat. Pada musim dingin, orang kaya Roma biasa menghidangkan 

makanan dengan saus dan rempah. Jenis makanan ini dinamakan 

“makanan kota” (city eating). Buku resep terbaik makanan bangsa 

Roma hampir selalu memuat lada di dalamnya. Pliny seorang 

senator dan intelektual Roma memandang lada yaitu  perangsang 

makan yang kuat.

Pesta dengan berbagai sudut kemewahan merupakan tradisi 

bangsa Romawi. Dengan segala macam dekorasi dan hiasan pesta, 

termasuk hadirnya para wanita cantik sebagai penghibur dan 

para budak sebagai pekerja turut memeriahkan pesta. Tentu saja 

berbagai hidangan yang lezat, musik atau akrobat, dan banyak 

variasinya memenuhi meja makan dan tempat-tempat penting 

di dalam pesta ini . Pesta ini juga sebagai bagian dalam 

memperlihatkan kekayaan dan posisi dari penyelenggara, hadirin, 

dan undangan dalam pesta secara keseluruhan. 

Bangsa Mesir sudah mengimpor rempah seperti lada, cassia, 

kayu manis, dan jahe dari Timur. Rempah sudah dikenal dalam 

dunia ilmu kedokteran di Yunani. Hippocrates (460-377 SM) 

menulis tentang rempah dan herbal termasuk saffron, kayu manis, 

merica, mint, dan marjoram. Hippocrates mengingatkan bahwa 

perhatian penuh perlu diberikan kepada pengolahan herbal 

untuk maksud pengobatan. Dari 400 obat herbal yang digunakan 

Hippocrates paling tidak setengahnya masih dimanfaatkan hingga 

kini.

Sebagaimana telah dikemukakan, bangsa Romawi merupakan 

bangsa pengguna rempah yang luar biasa. Anggur (wine) diberi cita 

rasa rempah, balsam rasa rempah, dan minyak wangi beraroma 

rempah menjadi simbol kehidupan pada zaman Romawi Kuno. 

Rempah yang dipandang sebagai obat juga biasa digunakan 

sebagai bahan penyembuh dalam plester atau perban dari bagian 

badan yang luka.Dalam menghubungkan Dunia Timur dan Eropa serta 

Mesir, peran pedagang bangsa Arab sangat menentukan. Para 

pedagang bangsa ini mendapatkan keuntungan lokasi strategis 

yang membelah dunia Timur (Asia) dan Barat (Romawi). Dengan 

demikian, rempah yang dibelinya di India atau Nusantara dengan 

harga murah dapat dijual dengan harga tinggi di pasar Eropa. 

Hal ini sebagai akibat dari struktur pasar spatial monopoli yang 

dinikmatinya selama 1.000 tahun lebih sebelum akhirnya bangsa 

Eropa (Portugis), yaitu Vasco da Gama sampai di Calicut (India) 

pada 20 Mei 1498.

Jalur Perdagangan Rempah Sebelum Abad ke-16

Uraian pada bagian terdahulu menyampaikan bahwa region

konsumen rempah berada di Roma, Yunani, dan Mesir sejak 

zaman dahulu, walaupun region penghasil (supply) rempah berada 

di Asia. Bahkan cengkeh dan pala, wilayah penghasilnya masih 

terpusat di Maluku. Peta Gambar 1 menunjukkan bagaimana 

bangsa Arab yang berada di Semenanjung Arabia menjadi wilayah 

penghubung antara Asia, Afrika, dan Eropa.

Pada abad ke-7 dan ke-8, hubungan perdagangan antara India 

dan Asia Tenggara memegang peran yang sangat penting bagi 

pedagang Persia dan Arab dalam membentuk jalur rempah dari 

Asia ke Afrika dan Eropa. Alexandria menjadi pelabuhan penting 

yang menghubungkan rempah dari India atau Nusantara masuk 

ke Eropa, sebaliknya juga barang-barang yang diperdagangkan ke 

Asia. Cengkeh dan pala dari Maluku sesudah  melewati Sri Lanka 

atau India, masuk pelabuhan di Yaman atau kota dagang lainnya 

di Semenanjung Arab sebelum masuk ke Eropa atau Afrika.


Peran Eropa dalam Perdagangan Rempah Dunia pada 

Abad ke-16 hingga 18

Insentif ekonomi yang demikian tinggi dari monopoli rempah oleh 

pedagang Arab dan Timur Tengah umumnya telah merangsang 

lahirnya keinginan kuat penguasa dan pengusaha di Eropa untuk 

mendapatkan langsung rempah dari sumbernya.

Di antara bangsa Eropa, bangsa Portugis merupakan bangsa 

yang berhasil pertama kali sampai di Asia sesudah  sukses melewati 

Semenanjung Harapan di Afrika Selatan. Di bawah pimpinan 

Vasco da Gama, pelaut ulung bangsa Eropa itu sampai di Calicut pada 21 Mei 1498. Pendaratan di Pelabuhan Calicut ini dicatat 

sebagai titik awal yang nantinya menciptakan perubahan total 

pada seluruh sendi kehidupan di Asia, Afrika, Australia, Amerika, 

dan tentu saja di Eropa itu sendiri. 

Perkembangan kemaritiman di atas merupakan salah satu 

buah penting dari kelahiran Renaissance di Eropa. Renaissance yang 

bermula di Italia pada tahun 1350 ternyata telah membangun Eropa 

menjadi negara yang berkembang dan maju hampir di segala 

bidang kehidupan, terutama di bidang ekonomi, politik, seni, dan 

sastra. Bahkan yang paling menentukan yaitu  kekuatan militer 

dengan teknologi maritim yang sanggup mengelilingi dunia dan 

sekaligus menaklukkan bangsa-bangsa yang ditemui.

The Telegraph, 6 Oktober 2015, di antara banyak terbitan, baik 

populer maupun sains, menyatakan bahwa perubahan mendasar 

yang terjadi di Eropa sesudah  keruntuhan Kekaisaran Romawi 

yaitu  renaissance yang sering diartikan sebagai kelahiran kembali 

kejayaan bangsa Eropa. Kelahiran kembali atau renaissance ini  

telah menciptakan suasana baru yang membuat terjadinya ledakan 

budaya, politik, ilmu pengetahuan, dan intelektualitas di Eropa 

pada era abad ke-14 hingga 17. 

Renaissance mulai berkembang pada abad ke-14 di Florence, 

Italia. Kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh Eropa. 

Bersamaan dengan itu berkembang eksplorasi, perdagangan, 

bahkan perang. Seperti pada zaman Romawi Kuno dan Yunani 

Kuno terjadi perang di antara keduanya, sehingga pada zaman 

renaissance juga banyak peperangan. Pasukan bangsa pemenang 

kembali ke kampung halamannya sesudah  menaklukkan bangsa 

lain, bukan hanya membawa kemenangan perang, tetapi juga 

membangun budaya baru bagi bangsanya. 

Italia pada abad ke-14 merupakan tempat subur untuk revolusi 

kebudayaan. Bencana The Black Death yang telah memakan korban 

jutaan orang bangsa Eropa, satu di antara tiga orang meninggal 

pada periode 1346-1353. Bencana ini telah mengubah tatanan masyarakat, khususnya hubungan demografis dan sumber daya 

ekonomi secara keseluruhan. 

Penurunan jumlah penduduk membuat rasio penduduk 

terhadap sumber daya ekonomi meningkat sebagaimana 

digambarkan dalam peningkatan nilai upah. Bangsa Italia sebagai 

bangsa keturunan pemerintahan dengan cepat menunjukkan 

kelebihannya. Misalnya, keluarga the Medici of Florence melihat 

Romawi Kuno dan Yunani Kuno sebagai sumber inspirasi untuk 

perkembangan peradaban, termasuk seni, sastra, dan budaya. 

Perubahan di atas melahirkan manusia hebat dalam bidang 

seni, seperti Leonardo da Vinci, Botticelli, Michelangelo, Raphael, 

dan Donatello. Di balik seni ini  berkembang peradaban baru 

dalam bidang intelektualitas manusia di Eropa. Zaman ini juga 

melahirkan Copernicus dan Galileo yang membalik pemahaman 

tentang dunia melalui ilmu pengetahuan yang melampaui batas￾batasnya pada saat itu, yakni membuktikan bahwa bumilah yang 

mengelilingi matahari. 

Kemajuan dalam bidang ilmu kimia telah melahirkan mesiu 

sebagai bahan peledak. sedang  kemajuan dalam matematika 

melahirkan sistem baru dalam keuangan dan perdagangan, serta 

membuat sistem navigasi pelayaran yang membuka kesempatan 

untuk mengelilingi dunia. Columbus menemukan benua Amerika 

dan Ferdinand Magellan mengelilingi dunia. Selanjutnya, kondisi 

ini  melahirkan penemuan benua baru, tanah dan budaya 

baru, yang kemudian menjadi akar terjadinya kolonialisme dan 

imperialisme benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika oleh 

bangsa Eropa.

Eksplorasi rempah merupakan perjuangan panjang bangsa 

Eropa. Sejak zaman Romawi Kuno, bangsa Eropa sudah 

menginginkan dapat langsung menemukan sumber rempah dan 

belanja rempah di tempat penghasilnya. Namun, keinginannya 

ini  tak pernah terwujud sebagaimana telah diuraikan pada 

bagian sebelumnya. Para pedagang rempah di Timur Tengah sangat pandai 

memanfaatkan geographical proximity atau regional advantage yang 

berada di tengah antara produsen rempah (India dan Nusantara) 

dengan pembeli rempah (Eropa). Posisi seperti itu bisa memberi  

keuntungan 100 kali lipat.

sesudah  bangsa Portugis hampir 100 tahun berada di Nusantara, 

bangsa Belanda mulai menghabiskan rasa penasarannya 

bagaimana untuk bisa mencapai Nusantara sendiri sehingga dapat 

memutus monopoli rempah yang dilakukan Lisbon selama itu. 

Pada tahun 1594, para pengusaha Belanda mendirikan perusahaan 

yang diberi nama “Company of Far Land”. 

Tujuan utama dari pendirian perusahaan ini yaitu  untuk 

menemukan jalan laut sampai ke sumber rempah di Asia. 

Perusahaan ini sukses mencapai Banten pada Agustus 1597. 

Dengan menggunakan empat kapal menjelajahi laut, kembali ke 

Belanda tiga kapal dengan kargo kecil berisikan lada. Keberhasilan 

ini mendorong berdirinya lima perusahaan yang berbeda. Pada 

tahun 1598 diberangkatkan 22 kapal dari pelabuhan Belanda 

menuju Nusantara, selanjutnya pada tahun 1601 berangkat lagi 65 

kapal ke Nusantara. 

Kondisi itu memicu  persaingan di antara pengusaha 

Belanda dalam perdagangan rempah di Eropa. Mengantisipasi 

hal itu, Pemerintah Belanda menyarankan untuk dilakukan 

amalgamasi perusahaan-perusahaan Belanda yang akan 

berdagang rempah ke Asia. Pada 20 Maret 1602 terbentuklah VOC 

(Verenigde Oostindische Compagnie). Dengan berdirinya VOC ini, 

terdapat dua kekuatan besar dari bangsa Eropa yang masuk ke 

wilayah Nusantara dan Asia, yaitu Portugis dan Belanda. 

VOC menancapkan dan mengembangkan kekuasaannya 

di Cranganore, Cochin, Nagappattinam (India), Kolombo (Sri 

Lanka), Malaka (Malaysia), Jakarta (Batavia), Ambon (negara kita ), 

dan Deshima. Kekuasaan Portugis hanya tinggal di dua tempat, 

yaitu Goa (India) dan Makao (RRT). Perlu dicatat bahwa Jepang tidak memberi  tempat kepada 

bangsa Eropa, kecuali kepada VOC. Imbalan utamanya yaitu  

VOC harus memberi  informasi tentang perkembangan 

kemajuan perdagangan, teknologi, dan militer di Eropa.

Bangsa Eropa lainnya yang kemudian dengan cepat menjadi 

pesaing Portugis dan Belanda yaitu  Spanyol, Inggris, dan 

Prancis. Spanyol dan Portugis mengalami pola eksplorasi khusus, 

yaitu diatur Perjanjian Tordesillas. Perjanjian ini menegaskan 

bahwa wilayah ke arah timur dari bujur 370 menjadi wilayah 

Portugal dan wilayah ke barat menjadi wilayah Spanyol. Perjanjian 

ini ditandatangani Spanyol pada 2 Juli 1494 dan Portugis 

menandatanganinya pada 5 September 1494. 

Konflik antara VOC dan Inggris mencapai puncaknya pada 

tahun 1623 ketika pasukan VOC menahan pedagang Inggris di 

Ambon. Kemudian membunuh banyak tahanan berkebangsaan 

Inggris. Perdamaian penuh antara Belanda dan Inggris dicapai 

melalui Perjanjian Breda (The Treaty of Breda) yang ditandatangani 

Belanda, Inggris, Prancis, Denmark, dan Norwegia di Kota Breda 

pada 31 Juli 1667.

Perjanjian ini menjadi sangat penting bagi setiap pembahasan 

rempah Nusantara karena dapat ditarik kesimpulan bahwa 

rempah memberi  nilai sangat tinggi pada waktu itu. Bahkan 

Belanda bersedia bertukar kekuasaan dengan Inggris, yaitu 

Pulau Run yang menjadi pusat pala dan cengkeh di Kepulauan 

Bandaneira yang dimiliki Inggris dengan Manhattan, New York, 

yang dimiliki Belanda. 

Keuntungan dari perdagangan rempah bagi VOC mulai 

terasa mengalami kelesuan sesudah  tahun 1670 sebagai akibat 

perkembangan pembangunan di Inggris dan Jepang. Pada masa 

sebelumnya, EIC (English East India Company) bukan merupakan 

pesaing berat bagi VOC di Asia. Tetapi sesudah  penyerangan 

gabungan yang dilakukan Inggris dan Prancis terhadap Belanda pada tahun 1672, membuka banyak kesempatan baru bagi EIC di 

Asia. 

Perang di Eropa ini  telah membuat VOC melemah sebagai￾mana tampak dari penurunan nilai penjualan, pengiriman rempah 

ke Asia, dan dipaksa untuk mengembalikan kapal-kapal laut VOC 

ke Eropa. Sebaliknya, EIC mengembangkan perdagangan dengan 

India dan meningkatkan perdagangan rempah di Eropa dari 25% 

pada periode sebelumnya menjadi 44% pada tahun 1670-an. 

Selanjutnya, dengan pembentukan the French Compagnie des 

Indie pada tahun 1664 dan masuknya the Danish East India Company

yang didirikan pada tahun 1672, persaingan dalam perdagangan 

rempah menjadi semakin ketat. 

Dalam persaingan ini , VOC tidak tinggal diam. VOC 

bereaksi dengan menutup perdagangan rempah bagi para pesaing 

VOC di Banten pada tahun 1684. Sikap VOC ini  berarti 

menutup pedagang rempah dari Pantai Barat Sumatera. Pada 

tahun 1689, Belanda berhasil membangun monopoli rempah yang 

sangat efektif di Asia. Namun demikian, jika pada periode 1668-

1670 hasil lada dan rempah memberi  57% dari keuntungan 

VOC, maka pada periode 1698-1700 keuntungan dari produk 

tradisional ini  berkurang menjadi tinggal 37%.

VOC juga menghadapi masalah dalam hubungan dagangnya 

dengan Jepang dan RRT. Pada tahun 1662, benteng VOC, Zeelandia 

di Taiwan diambil kembali oleh Kaisar Ch’ing. RRT juga memaksa 

VOC membeli sutera dari negara ini , tetapi kemudian 

menutup penjualan suteranya kepada VOC pada tahun 1666. 

VOC terpaksa membeli dari Bengali untuk menggantikan 

sutera dari RRT guna mengisi pasar Jepang. sedang  Jepang 

sebagai negara importir emas dan perak dari VOC melarang 

ekspor rempah menaikkan harga dan mengendalikannya dengan 

ketat sehingga secara drastis menurunkan keuntungan VOC.Lebih jauh lagi pada tahun 1685, Jepang menerapkan batas 

absolut terhadap nilai total perdagangan dengan VOC. Karena 

rempah Jepang menjadi sumber pembiayaan dalam menjalankan 

perdagangan antar-Asia, memicu  keuntungan dari seluruh 

perdagangan VOC dengan negara Asia pada awal abad ke-

18 menjadi hilang. Pada tahun 1700, pendapatan VOC untuk 

membiayai perdagangan di Asia hampir seluruhnya bergantung 

pada perdagangan perak Eropa.

Mulai tahun 1680-an, VOC menyadari bahwa perusahaan 

berada dalam situasi melemah sebagaimana diperlihatkan dari 

penurunan margin keuntungan. VOC lalu mengembangkan 

strategi ekspansi. Surat-surat berharga (bond) yang dimiliki VOC 

dinilai berisiko rendah. Dengan menggunakan modal ini , 

mulai tahun 1680, VOC meminjam dana dalam jumlah yang besar 

dan bunga rendah di Eropa dan Asia untuk ekspansi perdagangan. 

Kebijakan ekspansif ini  telah membuka banyak 

perkembangan. Misalnya, selama tahun 1660-an dari Eropa telah 

berangkat sekitar 4.000 orang, setengahnya yaitu  orang Belanda. 

Pada tahun 1729-an diberangkatkan lagi sekitar 7.200 orang per 

tahun dengan komposisi 60% orang Belanda. Selama tahun 1680-

an, VOC memberangkatkan 20 kapal per tahun ke Asia dan tahun 

1720-an mengirimkan 38 kapal yang lebih besar per tahun ke Asia. 

Sementara itu, jumlah kapal sebagai armada perdagangan Asia 

menurun dari 107 kapal pada tahun 1670 menjadi hanya 52 kapal 

pada tahun 1720-an.

Data menunjukkan bahwa dari periode tahun 1680 ke 1720 

terjadi peningkatan bobot muatan kapal sebanyak 125%. Namun, 

harga jual barang yang diimpor ke Eropa hanya meningkat 78%. 

Kenaikan volume perdagangan ini  menggambarkan bahwa 

VOC sudah melakukan diversifikasi perdagangan dari Asia ke 

Eropa dengan mengangkut mulai dari rempah, lada, tekstil, kopi, 

teh, porselin, pewarna, obat, dan garam. Untuk membiayai keperluan politik dan militer di Asia, VOC 

menaikkan pajak, pungutan, dan sumbangan dari 10% pendapatan 

menjadi 30% pada tahun 1730. Walaupun begitu, perdagangan 

antar-Asia ini pada abad ke-18 tidak lagi menguntungkan dan 

membutuhkan subsidi dari Eropa. Strategi ekspansi mengalami 

kegagalan mengingat ekspansi skala usaha yang dilakukan justru 

menurunkan keuntungan. 

Pada masa keemasan VOC antara tahun 1630 dan 1670, rata￾rata keuntungan mencapai 18% dari pendapatan. Sementara 

masa ekspansi dari tahun 1680-1720 keuntungannya hanya 10%. 

Pengembalian tahunan terhadap modal yang ditanam pada masa 

sebelum ekspansi sekitar 6%, sedang  pada masa ekspansi 

hanya 3,4%. 

Namun demikian, meski pendapatan terhadap investasi 

rendah dan menurun, ternyata nilai saham VOC meningkat dan 

mencapai rekor tinggi pada tahun 1720-an. Bahkan memberi  

dividen sebesar 3,4%, hanya sedikit lebih rendah daripada obligasi 

Pemerintah Belanda.

Pada periode 1730-1780-an, VOC mengalami peningkatan 

biaya di satu pihak dan penurunan keuntungan di pihak lain. 

Keuntungan yang dicapai hanya 23% dari pendapatan total. Akibat 

dividen melebihi keuntungannya, VOC terpaksa dilikuidasi di 

Asia dan Eropa dan mulai bergantung pada pinjaman jangka 

pendek untuk bertahan hidup.

Rempah Pemicu Kolonialisme dan Imperialisme

Abad ke-17 hingga 18 merupakan abad yang mewariskan pelajaran 

bagaimana bangsa Eropa sesudah  berhasil menemukan jalan ke 

Nusantara, kemudian sukses membangun bangsanya dengan 

memanfaatkan institusi yang dinamakan korporasi. Visi besar 

bangsa Belanda dengan VOC dan bangsa Inggris dengan EIC telah 

memberi  kekuatan dan kekuasaan. Jadi, keberadaan VOC dan EIC bukan hanya ingin mendapatkan 

keuntungan dari rempah, tetapi juga untuk menancapkan kuku￾kuku tajam penjajahan terhadap hampir semua bangsa di muka 

bumi ini. Hal itu menjadi pengalaman panjang sekitar 200 tahun 

Nusantara di bawah kekuasaan VOC hingga akhirnya VOC jatuh 

bangkrut. Sampai Nusantara kemudian menjadi jajahan resmi 

negara Belanda mulai tahun 1800.

Jadi, perubahan yang menarik dalam lintasan sejarah 

ini  yaitu  bahwa kekayaan suatu bangsa ditentukan kinerja 

korporasi dari bangsa yang bersangkutan. sedang  kekayaan 

yang terdapat dalam wilayah suatu bangsa belum tentu menjadi 

sumber kemakmuran bagi bangsa ini . Bahkan sebaliknya, 

kekayaan sumber daya bisa saja menjadi sumber malapetaka 

sebagaimana yang terjadi pada bangsa negara kita , yaitu rempah 

sebagai pemicu  menjadi bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.

Dimulai dengan masuknya bangsa India, Arab, RRT, dan 

kemudian Eropa, surplus ekonomi dari rempah menurun akibat 

berkembangnya pertanaman rempah di banyak tempat (selama 

tanah dan iklim memungkinkannya). Data pada tahun 1874-1908 

menunjukkan, kontribusi ekspor rempah sudah berada pada 

selang 2,6-4,3%. Pada zaman itu, ekspor terbesar disumbangkan 

kopi, yaitu 24,5-39,9% dari nilai tolal ekspor sampai tahun 1895. 

Untuk periode selanjutnya, kontribusi kopi juga menurun. Bahkan 

pada tahun 1906-1908, kontribusi kopi dari seluruh nilai ekspor 

tinggal 4,3%. Adapun kontribusi gula terhadap penerimaan 

ekspor tetap berkisar 27,1-37,1% pada periode tahun 1874-1875 

hingga 1906-1908. 

Rempah pada Abad ke-20

Perang Dunia II merupakan titik puncak pertarungan antara negara 

maju pada saat itu. Negara ini  terbagi dalam dua kelompok 

besar, yaitu negara dengan paham ideologis atau politik seperti Jerman, Jepang, dan Italia dengan negara sekutu di Eropa Barat 

dan Amerika Serikat serta negara yang bersatu dalam Uni Soviet. 

Perang di antara negara ini  telah mengubah situasi 

perekonomian dunia secara mendasar, terutama terkait lahirnya 

negara merdeka di benua Asia dan Afrika sesudah  Perang Dunia 

II usai. Kemudian berlanjutnya Perang Dingin antara Blok Barat 

(Amerika Serikat dan Eropa Barat) dengan Blok Timur (negara yang 

bersekutu dengan Uni Soviet atau Republik Rakyat Tiongkok). 

Pada saat Perang Dunia II terjadi, negara yang berada di Asia 

dan Afrika umumnya merupakan negara jajahan bangsa Eropa, 

Amerika, atau Jepang. sesudah  Perang Dunia II usai, satu per 

satu negara yang sebelumnya berstatus sebagai negara jajahan 

berubah menjadi negara merdeka. Sebagai negara merdeka baru, 

negara di kawasan ini  menjadi negara yang harus mengatur 

dirinya sendiri, termasuk bidang perekonomian yang di dalamnya 

terdapat rempah. 

Vietnam misalnya, merupakan negara yang baru bersatu 

antara Vietnam Utara yang menyatakan kemerdekaan pada 2 

September 1945 dan Vietnam Selatan menjadi satu negara merdeka 

pada 30 April 1975. sedang  negara kita  sendiri menyatakan 

kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Perubahan status politik 

dari bangsa jajahan menjadi bangsa merdeka pada pasca Perang 

Dunia II telah mengubah peta ekonomi dunia, termasuk rempah 

di dalamnya secara radikal.

Bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta negara di Amerika Tengah 

dan Amerika Selatan hampir seluruhnya pada saat Perang Dunia II 

berlangsung masih merupakan bangsa yang tergantung sebagian 

besar ekonominya dari pertanian. Negara yang baru merdeka 

pun memulai pembangunan ekonominya dari pembangunan 

pertanian. 

Sementara negara maju juga memacu pertaniannya untuk 

terwujudnya kelimpahan pangan. Hal itu sebagai buah dari 6berkembangnya paham bahwa suatu negara akan maju, aman, dan 

damai apabila negara ini  dicirikan surplus pangan. Artinya, 

secara global telah terjadi kompetisi antara negara maju dengan 

negara berkembang di bidang pertanian, terutama komoditas 

pangan. 

Secara jelas hal ini diperlihatkan dengan telah terjadinya 

tren harga riil yang menurun dari komoditas pertanian di 

pasar global seperti diperlihatkan Gambar 2. Gambar ini  

menunjukkan bahwa walaupun penduduk dunia pasca Perang 

Dunia II bertambah jumlahnya secara eksponensial, tapi harga 

riil komoditas pertanian selama 1900-2000 tampaknya cenderung 

terus menurun. Terlihat dengan adanya fluktuasi yang tajam pada 

waktu-waktu tertentu, misalnya sekitar masa Perang Dunia II 

itu sendiri dan masa embargo minyak bumi pada 1970-an, serta 

pada tahun-tahun terakhir dekade pertama abad ke-21. Namun 

demikian, secara keseluruhan harga riil komoditas pertanian 

selama abad ke-20 kecenderungannya menurun.

Kenyataan tren harga komoditas pertanian yang menurun 

ini  telah menciptakan kesulitan bagi negara berkembang, 

mengingat industri dan jasa di negara berkembang hingga kini 

tak kunjung mengalami kemajuan berarti. Penurunan harga￾harga komoditas pertanian di pasar global dengan sendirinya 

menekan pendapatan petani di negara berkembang melalui impor 

komoditas pertanian dari negara maju, terutama impor pangan 

seperti gandum, kedelai, dan jagung. 

Sementara itu, ekspor utama dari negara berkembang berupa 

komoditas pertanian, khususnya komoditas perkebunan seperti 

rempah, karet, kelapa sawit, dan lain-lain, tren harga riilnya juga 

menurun. Dengan demikian, negara berkembang yang notabene 

telah menjadi negara merdeka, pada tahap pembangunan pasca 

Perang Dunia II masih tetap menghadapi kesulitan dalam 

melaksanakan pembangunan akibat persaingan di pasar dunia 

dalam komoditas pertanian yang harga riilnya semakin rendah. Bahkan negara berkembang kebutuhan pangannya menjadi 

tergantung pada produksi pertanian di negara maju. Walaupun 

dalam komoditas tertentu seperti rempah atau kopi yang hanya 

bisa diproduksi di negara berkembang dengan iklim tropis, 

sebagai sumber devisa dari negara berkembang, komoditas yang 

diekspor masih berupa bahan mentah atau bahan baku. Harga dari 

komoditas ini selain cenderung menurun, juga rendah. Di pihak 

lain, industri dan jasa di negara berkembang hingga sekarang 

masih tertinggal. Gambar 2 telah melahirkan banyak reaksi dari para pakar 

ekonomi pembangunan yang telah memberi  kontribusi 

terhadap berdirinya tatanan kelembagaan dunia. Antara lain, 

pandangan Prebisch dan Singer yang mendorong berdirinya 

UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). 

UNCTAD mencoba memperjuangkan perbaikan harga-harga 

komoditas pertanian produksi negara berkembang yang hingga 

sekarang merupakan sumber utama pendapatan devisa. Rempah 

menempati posisi penting bagi negara berkembang termasuk 

negara kita , namun harga riilnya cenderung menurun.

Perjalanan rempah secara global sejak masa lalu hingga kini 

dan dalam ruang lingkup dunia di mana negara kita  merupakan 

bagian di dalamnya telah memberi  banyak pelajaran. 

Pertama, perjalanan rempah dalam peradaban manusia 

telah dimulai sejak perhitungan waktu peradaban sebelum 

masehi, seperti peradaban Mesir Kuno, Yunani Kuno, 

dan Romawi. Dalam perjalanan peradaban ini  telah 

berinteraksi antarbangsa di dunia, seperti, India, Arab, Persia, 

China, Eropa, dan Nusantara. Di antara beragam jenis rempah, 

Maluku merupakan asal cengkeh dan pala. Dalam peradaban 

rempah yang sudah ribuan tahun usianya itu, Maluku sudah 

menjadi pusat perhatian dunia sejak masa awal peradaban 

ini .

Kedua, rempah merupakan komoditas mewah (luxurius). 

Fungsi rempah beragam, mulai dari keperluan ritual, 

pengharum, cita rasa, pengawet, obat atau herbal, adventour, 

dan lain-lain. Harganya juga sangat mahal, karena telah 

menciptakan beragam strategi antarbangsa di dunia untuk 

menguasainya.Ketiga, Arab merupakan bangsa yang menguasai 

perdagangan rempah ke Eropa lebih dari 1.000 tahun. 

Referensinya, tahun 500 M bangsa Romawi sudah mengenal 

cengkeh dan pala yang berasal dari Maluku. Saat itu, bangsa 

Romawi kebutuhan rempahnya bergantung pada pedagang 

Arab yang berkolaborasi dengan pedagang India (anak benua 

penghasil rempah penting bagi dunia).

Keempat, tingginya keuntungan yang diperoleh dari 

rempah telah mendorong bangsa Eropa ingin mendapatkan 

langsung rempah dari sumbernya, yaitu Asia, khususnya 

Maluku. Pelaut Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama 

berhasil melewati Tanjung Harapan, Afrika, dan tiba di Gowa, 

Calicut, India pada tahun 1498. Pada tahun 1510, Vasco da 

Gama menaklukkan Gowa, India. Selanjutnya, Portugis 

menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Dengan demikian, 

diperlukan waktu sekitar 1.000 tahun untuk bangsa Eropa 

sampai kepada tujuannya mendapatkan rempah dari tempat 

di mana tanaman ini tumbuh.

Kelima, kehadiran bangsa Eropa di Malaka dan selanjutnya 

di Asia telah menciptakan situasi baru yang jauh berbeda dari 

pola perdagangan sebelumnya. Bangsa Eropa melanjutkan 

cara yang dikembangkan sebelumnya di Afrika dan Amerika, 

yaitu terjadi evolusi dari perdagangan, monopoli perdagangan, 

dan akhirnya penjajahan bangsa-bangsa di Asia, termasuk 

negara kita . 

Dalam proses ini pada awalnya rempah-rempah sebagai 

komoditas utama perdagangan yang sangat menguntungkan. 

Namun posisinya dalam perdagangan semakin mengecil 

akibat posisi rempah yang tidak lagi langka di pasar dunia, 

serta telah terjadi perkembangan baru sistem perekonomian dunia akibat terjadinya revolusi industri di Eropa Barat. Posisi 

rempah digantikan kopi dan gula pada tahun 1800-an.

Keenam, Perang Dunia II telah melahirkan tatanan 

masyarakat dunia yang baru. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika 

sebagai bangsa penghasil rempah statusnya berubah dari 

bangsa yang sebelumnya dijajah bangsa Eropa dan Amerika 

Serikat menjadi bangsa yang merdeka. Namun demikian, 

dalam hal perekonomian, bangsa-bangsa Asia dan Afrika 

ini masih tetap mengalami kesulitan akibat tren harga riil 

komoditas pertanian yang menurun dan akibat sektor industri 

dan jasanya yang tidak kunjung maju dan berkembang.

Secara keseluruhan dapat diambil satu kesimpulan bahwa 

suatu wilayah yang kaya sumber daya alam seperti rempah 

belum tentu menikmati kekayaannya ini . Apalagi 

jika tidak dapat mengatur strategi, menyusun kebijakan, 

dan mengamankan kebijakan ini  demi kepentingan 

masyarakat di mana kekayaan ini  berada. negara kita  

perlu mengambil pelajaran dari perkembangan dunia dalam 

upaya membangkitkan kembali kejayaan rempah di masa lalu.

Pada Bab II pembahasan mencakup ruang lingkup global 

di mana negara kita  berada di dalamnya, sementara dalam 

bab ini diungkapkan bagaimana sudut pandang negara kita  

melihat ke dunia global. Mengingat rempah sebagai komoditas 

perkebunan yang terkait dengan lahan dan agroklimat di mana 

komoditas rempah ini  dibudidayakan. 

Karena itu, informasi tentang distribusi geografis rempah￾rempah di Nusantara menjadi bagian pertama yang dibahas. 

Sebagaimana telah disebutkan dalam prolog, jenis rempah yang 

dibahas dibatasi pada enam jenis rempah yang memiliki peran 

penting dalam perekonomian negara kita , yaitu: cengkeh, pala, 

lada, kayu manis, vanili, dan jahe. 

Distribusi geografis rempah di Nusanta