Antioksidan yaitu zat untuk menetralisir dampak dari radikal
bebas dalam tubuh yang merupakan hasil samping dari
proses metabolisme sel.
Asma yaitu penyakit kronis yang ditandai peradangan
dan hipersensitivitas sel otot polos saluran napas yang
memicu kejang.
Bangsa Aria yaitu bangsa yang membangun peradaban Hindu
dan Buddha serta menyebarkannya ke seluruh penjuru Asia.
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) yaitu tanaman rempah berupa
tumbuhan rumpun berbatang semu penghasil rimpang
berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina.
Kalium yaitu vasodilator yang melemaskan pembuluh darah,
sehingga mengurangi tekanan darah dan menurunkan
tekanan pada sistem kardiovaskular.
Kolitis ulseratif yaitu penyakit radang usus kronis yang berulang
yang tidak diketahui sebabnya.
Minyak atsiri yaitu kelompok besar minyak nabati yang
berwujud cairan yang mudah menguap pada suhu ruang,
sehingga memberi aroma yang khas.
Mutagen yaitu zat kimia yang mengubah susunan genetik DNA
dan memicu mutasi.
Oleoresin yaitu campuran alami dari minyak atsiri dan resin,
yang diperoleh dari proses ektraksi menggunakan pelarut
organik, maupun melalui cara ekstraksi dengan CO2 pada
kondisi superkritik.
Piperine yaitu senyawa yang memberi rasa pedas.
Plasma nutfah yaitu substansi pembawa sifat keturunan yang
dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau
hewan serta mikroorganisme.
Subsidi yaitu alokasi anggaran pemerintah yang diberikan
kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual,
mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa yang memenuhi
hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga
jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Varietas unggul yaitu galur hasil pemuliaan yang mempunyai
satu atau lebih keunggulan khusus seperti potensi hasil
tinggi, tahan terhadap hama, tahan terhadap penyakit, toleran
terhadap cekaman lingkungan, mutu produk baik, dan/atau
sifat-sifat lainnya serta telah dilepas oleh pemerintah.
Keinginan mengembalikan kejayaan rempah sebagaimana
yang akan disampaikan dalam buku ini tentunya dilandasi
pengetahuan bahwa pada masa lalu memang benar
rempah merupakan komoditas yang bernilai sangat tinggi. Sangat
tingginya nilai rempah ini telah melahirkan suatu zaman
pencarian dan penguasaan rempah yang sangat dinamis.
Kehidupan masyarakat dan perekonomian Kerajaan Romawi,
Mesir Kuno, Timur Tengah, India, dan Tiongkok, serta wilayah
Asia Tenggara, khususnya Nusantara pada masa lalu itu semua
gerakannya tak dapat dipisahkan dari rempah. Maluku sebagai
satu-satunya wilayah penghasil cengkeh dan pala dunia pada
masa awal perburuan rempah telah menjadi tujuan bangsa-bangsa
di dunia untuk dapat mencapainya.
Kata Maluku itu sendiri konon berasal dari kata Al Mulk
yang berarti kerajaan sebagai tempat tinggalnya raja-raja.
Saking tingginya nilai rempah itu, sejarah menunjukkan bahwa
berdasar Perjanjian Breda pada tahun 1667, Pulau Run yang
sebelumnya dimiliki Inggris dengan luas sekitar 3 km2
ditukar
dengan Manhattan, New York, yang sebelumnya milik Belanda. Apakah rempah pada masa sekarang dan waktu mendatang
akan kembali menjadi komoditas penting seperti pada masa lalu
sehingga keinginan mengembalikan kejayaan rempah itu menjadi
keinginan yang strategis dan masuk akal? Dengan tahapan
analisis yang cukup terperinci, buku ini mencoba menjelaskan
bahwa memang benar terdapat potensi nilai rempah yang besar
pada masa yang akan datang. Apalagi perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta dukungan perkembangan
permintaan pasar yang semakin besar terhadap produk-produk
turunan dari rempah ini.
Mengingat komoditas rempah jenisnya banyak maka dalam
buku ini jenis rempah yang dimasukkan dalam analisis hanya
enam, yaitu: pala, cengkeh, lada, jahe, vanili, dan kayu manis.
Buku ini terdiri atas tujuh bab. Bab I dimaksudkan sebagai bab
pembuka untuk seluruh isi buku ini. Isinya difokuskan untuk
bisa menjawab pertanyaan, apa argumen atau pengetahuan
yang membuat keinginan mengembalikan kejayaan rempah
itu strategis dan masuk akal? sedang fondasi pengetahuan
tentang keberadaan rempah dunia diulas dalam Bab II. Sementara
keberadaan rempah Nusantara disajikan pada Bab III.
Bab IV menguraikan aspek perkembangan rempah dan
kehidupan baru sejalan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan pasar. Adapun prospek ekonomi rempah dalam
lingkup ekonomi nasional disajikan dalam Bab V, sedang
kebijakan dan strategi mengembalikan kejayaan rempah negara kita
dijabarkan pada Bab VI. Buku ini ditutup dengan Bab VII yang
memberi penekanan pada arah dan kebijakan pokok untuk
membangkitkan rempah pada masa mendatang.
Rempah dalam Kognisi Bahasa
Ada yang berkata bahwa dunia ini hanyalah kata-kata. Apabila
belum menjadi suatu kata, menurut pemahaman ini maka hal
yang dimaksud belum menjadi bagian dunia. Kata itu sendiri mengalami kehidupan dan kematian. Kata dalam bahasa Latin
sudah dikenal sebagai kata yang sudah mati. Dengan alasan inilah,
ilmu taksonomi menggunakan kata-kata dalam bahasa Latin untuk
memberi nama pada tanaman, hewan, atau mikroorganisme.
Apa yang bisa digambarkan dari kata rempah atau dalam
bahasa Inggrisnya spice yang sudah hidup dalam waktu ribuan
tahun? Apakah kata ini masih menggambarkan masa
kejayaannya? Untuk menjawab pertanyaan ini , bisa
digunakan metode pencarian dengan menggunakan Google Search.
Hasilnya menunjukkan bahwa pencarian kata rempah dalam
Google pada 28 Januari 2018, pukul 08.50 WIB memberi
7.270.000 hasil. sedang apabila menggunakan kata cengkeh,
didapat 692.000 hasil. Selanjutnya, jika memakai kata clove didapat
hasil pencarian jauh lebih besar, yaitu 292.000.000. Kata clove dalam
Google ternyata hampir 422 kali lebih banyak dibandingkan kata
cengkeh.
Sementara jika kata pencarian diganti nutmeg maka diperoleh
35.100.000 hasil. Ternyata jumlah hasil pencarian clove 8,3 kali
lebih banyak dari nutmeg. Artinya, clove lebih populer daripada
nutmeg. Apabila pencarian dilanjutkan dengan kata pala, hasilnya
memberi 95.400.000 hasil. Namun, jumlah ini bukan hanya
menggambarkan pala sebagai nutmeg atau Myristica fragran,
tetapi juga mengandung arti lain seperti nama tempat, peralatan,
dan lain-lain. Lebih tampak perbedaan hasil pencarian apabila
menggunakan kata spice, yaitu 366.000.000 hasil. Kata spice ini
sangat populer dibandingkan kata-kata lain seperti rempah, clove,
atau nutmeg.
Gambaran ini merupakan cara sederhana mendapatkan
informasi umum sejauh mana pala, cengkeh, atau rempah berada
dalam alam pikiran manusia. Gambaran yang diperoleh yaitu
jumlah kata rempah dalam pencarian Google berada jauh di bawah
jumlah pencarian spice. Hal yang serupa juga diperoleh dalam
pencarian cengkeh versus clove dan pencarian pala versus nutmeg. Dari hasil ini dapat dibangun hipotesa bahwa secara kognitif
rempah itu lebih dikenal atau berada dalam alam pikiran budaya
yang menggunakan rempah atau cengkeh dalam bahasa Inggris.
Artinya, makna rempah di dunia global lebih kuat dibandingkan
di dunia lokal di mana ia berasal. Kejayaan rempah pada masa
yang akan datang berarti bahwa negara kita berbeda dengan yang
telah dialami pada masa lalu, harus bisa dan kuat memanfaatkan
pasar global.
Inspirasi dari Sejarah
Apa saja kejayaan rempah di masa lalu yang begitu memukau
sehingga kita ingin mengembalikan kejayaannya itu? Dari
penjelajahan sejarah rempah, pertanyaan ini dapat dijawab.
Rempah dalam alam pikiran budaya atau peradaban umat
manusia usianya sudah mencapai usia ribuan tahun. Menurut
UCLA History & Special Collections Louise M. Darling Biomedical
Library, rempah sudah dimanfaatkan sejak 5000 SM di Timur
Tengah. Kemudian tahun 3000 SM di Mesir, rempah sudah
dimanfaatkan sebagai balsam. Bahkan diketahui pada tahun
1500 SM, Ratu Hathepshut mendatangkan rempah dari Afrika
Timur. Bangsa Arab memonopoli rempah selama kurang lebih
2.000 tahun mulai tahun 2000 SM. Pada tahun 992 SM, Ratu Sheba
dari Arab menyampaikan rempah kepada Raja Sulaiman. Tabel
1 menggambarkan perkembangan rempah pada masa sebelum
masehi (SM).Tabel 2 menggambarkan perkembangan lintasan waktu dan
tempat tentang rempah dalam peradaban dunia sejak tahun
1-1550 M. Dalam bilangan 1550 tahun ini , bangsa Eropa
sudah mengenal rempah dari Maluku sejak tahun 500 M. Rempah
ini diperoleh dan dipasarkan pedagang bangsa Arab yang sudah
mengetahui Dunia Timur lebih dulu dan mampu masuk ke pasarpasar Eropa.
Monopoli bangsa Arab berakhir sesudah bangsa Portugis
langsung masuk ke India, lalu ke Malaka dan akhirnya ke pusat
rempah dunia untuk cengkeh dan pala, yaitu Maluku. Tabel 1
dapat menjadi sumber informasi penting untuk penelitian lebih
mendalam pada era 1-1550 M.
Kesimpulan paling penting yang dapat diambil dari Tabel 1 ini
yaitu bahwa perkembangan rempah dalam mengisi peradaban
dunia sejak tahun masehi berkembang sangat cepat. Dengan ciri
masuknya bangsa Eropa ke dalam kancah perdagangan global
rempah dengan kepeloporan Portugis dalam memutus fenomena monopoli spasial yang dinikmati pedagang bangsa Arab, Persia,
dan India
Informasi dari Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa pasar
rempah sudah berkembang sejak sebelum masehi dengan jarak
yang sangat jauh dari pusat rempah itu berada. Pada awal tarikh
masehi, Kekaisaran Romawi sudah memanfaatkan rempah dalam jumlah besar dan sebagai simbol status bagi kaum elite Roma.
Para pedagang bangsa Arab mengendalikan lalu lintas rempah ke
Eropa selama berabad-abad.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa pada tahun 500 Masehi
dari data yang tersedia, di pasar rempah Eropa sudah didapat
rempah yang berasal dari Maluku. Artinya, bangsa Eropa
khususnya Portugis memerlukan waktu kurang lebih 1.000 tahun
untuk sampai di Malaka. Waktu ini diukur dari sudah
tersedianya rempah asal Maluku di Eropa sejak tahun 500 M dan
bangsa Portugis mencapai Malaka pada tahun 1511.
Tahun 1500-an awal ini merupakan tahun yang sangat penting
bagi perjalanan sejarah rempah dan perkembangan politikekonomi, khususnya di Nusantara dan umumnya di Asia Tenggara
atau Asia. Bahkan perjalanan rempah dapat dikatakan lebih seru
lagi mengingat dampaknya melahirkan globalisasi yang berbaur
dengan kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa di
Asia, Australia, dan Afrika.
Hal ini diawali dengan keberhasilan bangsa Portugis
di bawah komando Alfonso de Albuquerque menaklukkan
Malaka pada 24 Agustus 1511. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs,
penaklukan Malaka ini telah memicu perubahan permanen
dalam sejarah perkembangan ekonomi di kawasan ini.
Hampir satu abad bangsa Portugis menguasai perdagangan
rempah Nusantara. Bangsa Eropa lainnya lalu merasa tertantang
bagaimana dan melalui jalan mana untuk bisa mendapatkan
rempah, khususnya cengkeh dan pala dari pusatnya, yaitu Asia
atau lebih tepatnya Maluku. Tantangan ini menciptakan
perlombaan di antara mereka.
Bangsa Portugis itu sendiri sudah menguasai perdagangan
rempah hampir satu abad. Namun, bangsa Portugis tidak berhasil
memonopoli seluruh rempah di Nusantara. Justru bangsa Belanda
dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) akhirnya menjadi pemenang di Nusantara dengan memonopoli rempah dan
komoditas lainnya melalui penjajahan di wilayah ini.Gelombang besar dari bangsa Eropa ke Asia, Asia Tenggara,
atau Nusantara untuk berburu rempah itu akhirnya menciptakan
hubungan bangsa yang menjajah (Eropa) dan yang dijajah (Asia).
Nusantara itu sendiri menjadi bagian wilayah jajahan Belanda.
Dalam hubungannya dengan rempah ini ada kisah yang sangat
mengharukan, yaitu kisah tukar-menukar Pulau Run dengan
Manhattan (New York) melalui Perjanjian Breda pada tahun
1667. Pulau Run yang sebelumnya milik Inggris ditukar dengan
Manhattan yang sebelumnya milik Belanda. Penukaran ini
menandakan bahwa nilai Pulau Run masa itu tentu sangat tinggi
sehingga setara dengan nilai lahan (lokasi) di ManhattanDunia menyaksikan sesudah 351 tahun berlalu, Manhattan
sudah menjadi pusat dunia baru. Namun, Pulau Run atau Maluku
yang 400 tahun lalu menjadi pusat dunia, dewasa ini masih tetap
menjadi wilayah tertinggal. Ke mana hasil rempah ini pergi?
Akhir Kejayaan Rempah pada Era Kolonial
Masa kejayaan rempah ini tampaknya tidak lebih dari 200 tahun
lamanya. Hal ini dapat diukur nilai ekspor rempah dari negara kita
ke pasar global. Data Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai ekspor
rempah pada tahun 1823-1873 hanya berkisar 1,2-8% dengan nilai
tertinggi pada tahun 1823-1825. sedang yang terendah pada
1861-1865 dan 1866-1870, masing-masing hanya mencapai 1,2%
dari nilai ekspor total. Posisi rempah pada era ini digantikan oleh
kopi.
Dengan mengamati arus deras perdagangan dunia yang
dipicu dan dipacu oleh rempah pada abad ke-15 yang kemudian
melahirkan gemuruh globalisasi pada abad ke-16 dan ke-17,
telah menumpuk kekayaan di negara Eropa dalam jumlah yang
luar biasa besar. Sebaliknya, keadaan di negara Afrika, Asia, dan
Australia justru mengalami pemiskinan hampir dalam segala
bentuknya.
Dalam kondisi ini dapat dikatakan pula bahwa zaman
kejayaan emas hijau berupa rempah di Nusantara telah berakhir
sebagaimana diperlihatkan data pada Tabel 4. Pada abad ke-19,
kontribusi ekspor rempah tinggal 8%, kemudian menurun menjadi
hanya 1,4% pada tahun 1871-1873.
Posisi rempah dalam perekonomian nasional dewasa ini juga
tidak lebih baik dari posisi akhir abad ke-19. Pada tahun 2014,
tercatat bahwa nilai devisa yang diperoleh dari ekspor rempah
hanyalah 577,62 juta dolar AS atau 0,32% dari nilai ekspor total
perdagangan umum yang mencapai 180,29 miliar dolar AS. Jika
diambil persentase hasil devisa dari rempah terhadap nilai devisa pertanian maka nilai devisa yang didapat masih sekitar 9,7%, yakni
perbandingan dari hasil ekspor rempah dengan nilai devisa ekspor
hasil pertanian 5,92 miliar dolar AS (ekspor minyak sawit senilai
17,46 miliar dolar AS dicatat sebagai ekspor hasil manufaktur).
Tren Pasar Rempah pada Era Mendatang
Dengan fakta di atas, apa yang bisa dijadikan argumen yang
mendasari bahwa memang cukup kuat untuk bisa mengatakan
kejayaan rempah pada masa lalu bisa diciptakan kembali?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, dilakukan analisis sebagai
berikut. Pertama, tren permintaan rempah dari negara maju. Tren
yang positif dan cukup besar menunjukkan bahwa menjadikan
rempah berjaya kembali pada masa yang akan datang mendapat
dukungan dari pasar di negara maju.
Indikator tren pasar di negara maju ini penting mengingat
negara maju bertindak sebagai pembeli rempah yang berasal
dari negara berkembang. Sebaliknya, negara berkembang yang
umumnya berada di wilayah tropika merupakan penghasil
rempah. Dengan demikian, antarnegara berkembang penghasil
rempah ini merupakan negara yang satu dengan lainnya
berkompetisi mendapatkan pembeli negara maju.
Kedua, mendalami kandungan zat yang terdapat dalam
tanaman rempah sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
hasil-hasil penelitian terbaru. Pencarian ini dilandasi pada hasil
penemuan yang menunjukkan ada-tidaknya potensi tanaman
rempah menjadi obat yang bisa mengatasi penyakit yang makin
berkembang pada masa mendatang dan dewasa ini belum tersedia
obatnya, seperti kanker atau diabetes.
Ketiga, kemajuan dalam ilmu pangan apakah menunjukkan
peran zat dalam rempah ini dalam menciptakan cita rasa yang
makin baik dan sekaligus makin sehat. Keempat, hubungan zat
dalam rempah dengan kebutuhan industri obat-obatan pertanian sebagai substitusi pestisida. Selama ini pestisida menjadi tulang
punggung Revolusi Hijau, tetapi meninggalkan dampak negatif
pada lingkungan hidup.
Apabila keempat hal di atas jawabannya yaitu positif maka
rempah mengandung potensi kejayaannya dapat kembali berkibar
pada era mendatang. Data pada Tabel 5 menunjukkan selama
periode 1980-1994 telah terjadi peningkatan impor rempah di
Amerika Serikat, dari 2,9% pada 1980 menjadi 6,0% pada 1994.
Data pada Tabel 6 dapat dibaca sebagai kelanjutan pasar rempah
di Amerika Serikat dalam periode 1999-2014. Tampak bahwa
permintaan rempah di Amerika Serikat terus meningkat secara
nyata.
Pada tahun 2014, Amerika Serikat mengimpor rempah
dari delapan negara penghasil rempah utama, yaitu Vietnam,
India, China, negara kita , Brasil, Madagaskar, Meksiko, dan Peru,
mencapai 1.203,8 juta dolar AS. sedang dari sumber lainnya
bernilai 244,2 juta dolar AS. Pada tahun 2000, nilai impor Amerika
Serikat dari Vietnam 18,6 juta dolar AS, India 91,7 juta dolar AS,
China 26,0 juta dolar AS, negara kita 132,3 juta dolar AS, Brasil 40,7
juta dolar AS, Madagaskar 30,6 juta dolar AS, Meksiko 29,1 juta
dolar AS, dan Peru 1,4 juta dolar AS.
Dengan membaca data pada Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa
tren Amerika Serikat dalam menyerap rempah dunia meningkat
dengan pesat. Dunia mencatat negara pengekspor rempah
terbesar yaitu Vietnam. Negara ini dengan cepat mengisi pasar
rempah Amerika Serikat dari nilai devisa 16,6 juta dolar AS pada
1999 menjadi 284 juta dolar AS pada 2014, atau meningkat 17,1 kali
lipat dalam tempo 15 tahun.
sedang negara kita dalam 15 tahun ini ternyata hanya
mampu meningkatkan nilai devisa hasil ekspor rempah ke Negeri
Paman Sam sebesar 1,62 kali lipat saja. Negara penghasil rempah
lainnya dapat melipatgandakan ekspor rempah ke Amerika Serikat
jauh lebih besar dari negara kita . Data pada Tabel 6 berikut ini menunjukkan bahwa potensi
pasar Amerika Serikat terus membesar, namun negara kita belum
dapat bersaing dengan sumber rempah negara lainnya. Vietnam
merupakan negara dengan jumlah paling besar mendapatkan
devisa dari ekspor rempah ke Amerika Serikat.Pasar Uni Eropa juga memperlihatkan situasi seperti halnya
yang diperlihatkan pasar Amerika Serikat. Pada periode 2012-2016,
impor rempah Uni Eropa dari negara berkembang meningkat
dari sekitar 260 ribu ton menjadi sekitar 310 ribu ton atau tren
meningkat 10% per tahun. Hal ini menunjukkan situasi optimis
akan pasar rempah pada masa periode yang akan datang.
Peran Baru Rempah pada Era Mendatang
Fakta yang berhubungan dengan peran baru dari rempah terhadap
umat manusia yang terungkap melalui hasil riset pada saat ini
yaitu makin tegas dan jelasnya peran rempah. Baik terhadap
kesehatan dalam bentuk obat (biofarmaka atau biomedicine),
pencipta rasa (makanan, wewangian, aroma, dan lain-lain), dan
sebagai bahan substitusi pestisida di bidang pertanian. Literatur
mengenai hal ini akan disajikan tersendiri pada Bab IV.
Fokus rempah dalam pengobatan pada masa mendatang yang
menarik untuk diperhatikan yaitu pengobatan untuk dua jenis
penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya, yaitu
kanker dan diabetes. Populasi dunia yang makin meningkat dengan
perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 mencapai
sekitar 9-12 miliar jiwa, ternyata diperkirakan persentase jumlah
penduduk yang akan menderita penyakit kanker atau diabetes
juga makin besar. Tren ini secara langsung merupakan tantangan
bagi dunia farmasi agar kondisi endemik penyakit ini tidak
terjadi. Tren seperti itu tentu saja merupakan potensi pasar atau
permintaan baru yang berdampak positif terhadap masa depan
rempah negara kita .
Peran rempah dalam menciptakan rasa, aroma, kegairahan,
dan sebagai simbol status dalam masyarakat sudah dikenal sejak
zaman sebelum masehi. Sementara fakta meredupnya era rempah
pada akhir abad ke-18 dan baru hidup lagi pada masa sekarang
sangat erat berhubungan dengan kesuksesan produk sintetik pada masa lalu. Namun, pengalaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi di bidang ini telah mengubah selera
dunia yang mengarah kembali ke serba alami. Selain aspek cita
rasa yang didapat, dampak peningkatan kemakmuran masyarakat
dunia masyarakat juga mendapatkan rasa aman (safety) bagi
kesehatan dari produk berbasis bahan alami seperti rempah.
Kejayaan rempah di masa lalu merupakan kejayaan
yang dinikmati bangsa lain yang memiliki kekuatan untuk
menguasai rempah hingga sumbernya, yaitu di Nusantara,
khususnya Maluku. Permintaan bangsa Eropa, Mesir, dan
Timur Tengah terhadap rempah sudah berkembang sejak
zaman sebelum masehi dengan dominasi bangsa Arab sebagai
pihak yang memonopoli jalur rempah antara Asia dan Timur
Tengah serta Eropa.
Sifat monopoli yang memberi keuntungan besar ini
telah mendorong bangsa Eropa untuk mencari jalan dan
mendapatkan keuntungan yang besar. Bangsa Portugis,
sesudah lebih dari seribu tahun, mencari jalan ke tempat
rempah asal Maluku yang telah dikenal di Roma dan berhasil
menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Penaklukan Malaka
ini telah mengubah seluruh sistem ekonomi dan perdagangan
di kawasan Nusantara dan Asia. Penemuan jalan rempah ke
sumbernya di Maluku oleh Portugis telah membuka jalan bagi
perjalanan bangsa Eropa lainnya, seperti Belanda, Inggris, dan
Spanyol.
Akhirnya, perjalanan rempah bukan hanya mewujudkan
perdagangan global, tetapi juga penjajahan bangsa Asia, Afrika,
dan Australia oleh bangsa Eropa secara global. Mengembalikan
kejayaan rempah Nusantara perlu didasari kenyataan pahit sejarah di atas. Sejarah ini menjadi landasan kuat untuk
membangun strategi dan kebijakan nasional mendatang.
Sumber potensi nilai rempah yang bisa menjadi sumber
kejayaan negara kita dan rakyatnya cukup tersedia untuk
kehidupan era mendatang. Tren pasar Eropa dan Amerika
Serikat serta negara maju lainnya cukup besar apabila
negara kita mampu bersaing dengan negara penghasil rempah
lainnya. Pasar ini juga tersedia di dalam negeri mengingat
negara kita merupakan negara dengan penduduk terpadat
keempat di dunia.
Produk yang diharapkan tersedia dari rempah yaitu yang
sifatnya luxurius, seperti obat dan bahan cipta rasa. Kebijakan
hingga blueprint rinci untuk mengembalikan kejayaan rempah
Nusantara untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa negara kita
yang mampu mengungguli strategi dan kebijakan bangsa lain
sangat diperlukan agar sejarah kepedihan masa lalu tidak
terulang
Peran dan fungsi rempah telah berkembang sedemikian rupa
dalam membentuk proses perkembangan peradaban bangsa
di dunia yang telah berlangsung sejak lebih dari 3.000 tahun
sebelum masehi hingga sekarang. Walaupun kebutuhan manusia
terhadap rempah tidak seperti kebutuhan pokok manusia seperti
beras atau gandum, ternyata jenis dan bentuk serta fungsi
pemanfaatan rempah ini tidak lekang dimakan waktu dan tidak
mengenal arti rempah menjadi komoditas usang. Bahkan rempah
dari dahulu hingga sekarang tetap terkesan sebagai komoditas
eksotis atau lebih dari itu, eksotis dan mewah.
Nilai ekonomi rempah saat ini tidak seperti masa lalu yang
menjadi subjek perebutan bangsa di dunia. Namun demikian,
jalan rempah juga tidak kalah menariknya dengan jalan sutera
dalam menghubungkan peradaban bangsa di dunia menjadi suatu
peradaban global di masa lalu. Bahkan jalan rempah ternyata jalan
yang mewujudkan berbagai bentuk model penjajahan bangsa yang
kuat terhadap bangsa yang lemah, khususnya penjajahan bangsa
Eropa terhadap bangsa Afrika, Asia, Australia, dan Amerika. Dengan perjalanan panjang peradaban umat manusia terkait
rempah ini, pertanyaan penting yang perlu dijawab yaitu
apabila kejayaan rempah ini berkembang kembali pada era dunia
mendatang, apa maknanya bagi negara kita ?
Cikal Bakal Rempah sebagai Perlambang Kemajuan
Peradaban Dunia
Hasil pengkajian arkeologis menunjukkan bahwa rempah telah
dimanfaatkan sejak zaman Romawi atau Mesir Kuno. Hasil
penggalian di Quseir al-Qadim, lokasi pelabuhan di pantai Laut
Merah, Mesir menunjukkan bukti baru jejak perdagangan rempah.
Kondisi lingkungan yang kering memicu peninggalan bahan
tanaman pada masa lalu tetap terjaga (tidak rusak) dan tersedia
dalam jumlah yang cukup banyak, termasuk jenis rempah dan
berbagai jenis tanaman pangan.
Quseir al-Qadim merupakan pusat perhubungan pada masa
Romawi, yaitu tahun 1-250 M (dikenal dengan Myos Hormos)
dan pada masa Islam, yaitu tahun 1050-1500 M (dikenal dengan
Kusayr). Hasil penggalian menunjukkan terdapatnya tujuh jenis
rempah asal tropika, termasuk lada hitam (Piper nigrum), jahe
(Zingiber offiChinale), cardamom (Elettaria cardamomum), turmeric
(Curcuma sp.), fagara (cf. Tetradium ruticarpum), myrobalan (Terminalia
bellirica dan Terminalia chebula), dan betelnut (Areca catechu). Dalam
kedua periode yang berbeda ini , terlihat perbedaan yang
nyata dan perubahannya dalam hal jenis dan skala perdagangan
antara zaman Romawi dan Islam.
Pada zaman Romawi, rempah digunakan sebagai bagian
dari fungsi ritual seperti penguburan atau persembahan dalam
menghasilkan wewangian dan pengobatan. Hanya lada hitam
yang dimanfaatkan sebagai penyedap masakan. Pada masa Islam
zaman pertengahan, peran rempah telah berkembang pesat di
Timur Tengah dan Eropa, khususnya untuk pengobatan. Pada kedua periode ini , rempah merupakan barang mewah dan
umumnya hanya dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat
lapisan atas.
Dalam proses menguasai rempah, berkembang hubungan
sosial yang kompleks, mengubah realitas sosial, dan menciptakan
perebutan kekuasaan. Dalam bahasa sekarang, globalisasi pada
2.000 tahun yang lalu atau lebih merupakan fenomena yang
tercipta akibat rempah yang lokasi produsennya selain belum
diketahui secara pasti, juga jaraknya jauh sekali.
Bersamaan dengan faktor ini , ketersediaan (supply)
komoditas rempah yang tersedia berada jauh di bawah
permintaan masyarakat maju pada zaman Romawi dan Mesir
Kuno. Persoalannya tidak sekedar selera atau rasa enak makanan,
wewangian, atau penyembuhan, dan kesan mewah, tetapi lebih
dari itu. Rempah juga analog dengan kemewahan, status sosial,
keuntungan besar, dan tentu saja simbol kekuasaan. Artinya,
menguasai rempah sama dengan menguasai dunia.
Bangsa Roma sudah mengonsumsi bermacam jenis makanan
seperti yang dikonsumsi zaman modern sekarang. Jahe merupakan
rempah yang sudah dikenal baik sejak zaman Romawi Kuno.
Minuman yang terbuat dari jahe ini sering dihidangkan bersama
garam dan lada. Kata ginger juga untuk menggambarkan rempah
secara keseluruhan. Jahe merupakan rempah yang pertama kali
dikenal di Eropa Barat. Jahe didatangkan dari India sejak zaman
Yunani Kuno.
Bangsa Mesir Kuno mengunyah kapulaga (cardamon) untuk
membersihkan gigi. Bangsa Roma dan Yunani menggunakan
kapulaga untuk pewangi (parfum). Adapun cengkeh dan pala
merupakan penyedap dan perangsang nafsu makan bagi bangsa
Roma. Pedagang bangsa Arab mengirim cengkeh ke Roma dari
tempat yang sekarang bernama negara kita . Pada zaman itu,
cengkeh juga dipandang sebagai bagian dari obat. Pada musim dingin, orang kaya Roma biasa menghidangkan
makanan dengan saus dan rempah. Jenis makanan ini dinamakan
“makanan kota” (city eating). Buku resep terbaik makanan bangsa
Roma hampir selalu memuat lada di dalamnya. Pliny seorang
senator dan intelektual Roma memandang lada yaitu perangsang
makan yang kuat.
Pesta dengan berbagai sudut kemewahan merupakan tradisi
bangsa Romawi. Dengan segala macam dekorasi dan hiasan pesta,
termasuk hadirnya para wanita cantik sebagai penghibur dan
para budak sebagai pekerja turut memeriahkan pesta. Tentu saja
berbagai hidangan yang lezat, musik atau akrobat, dan banyak
variasinya memenuhi meja makan dan tempat-tempat penting
di dalam pesta ini . Pesta ini juga sebagai bagian dalam
memperlihatkan kekayaan dan posisi dari penyelenggara, hadirin,
dan undangan dalam pesta secara keseluruhan.
Bangsa Mesir sudah mengimpor rempah seperti lada, cassia,
kayu manis, dan jahe dari Timur. Rempah sudah dikenal dalam
dunia ilmu kedokteran di Yunani. Hippocrates (460-377 SM)
menulis tentang rempah dan herbal termasuk saffron, kayu manis,
merica, mint, dan marjoram. Hippocrates mengingatkan bahwa
perhatian penuh perlu diberikan kepada pengolahan herbal
untuk maksud pengobatan. Dari 400 obat herbal yang digunakan
Hippocrates paling tidak setengahnya masih dimanfaatkan hingga
kini.
Sebagaimana telah dikemukakan, bangsa Romawi merupakan
bangsa pengguna rempah yang luar biasa. Anggur (wine) diberi cita
rasa rempah, balsam rasa rempah, dan minyak wangi beraroma
rempah menjadi simbol kehidupan pada zaman Romawi Kuno.
Rempah yang dipandang sebagai obat juga biasa digunakan
sebagai bahan penyembuh dalam plester atau perban dari bagian
badan yang luka.Dalam menghubungkan Dunia Timur dan Eropa serta
Mesir, peran pedagang bangsa Arab sangat menentukan. Para
pedagang bangsa ini mendapatkan keuntungan lokasi strategis
yang membelah dunia Timur (Asia) dan Barat (Romawi). Dengan
demikian, rempah yang dibelinya di India atau Nusantara dengan
harga murah dapat dijual dengan harga tinggi di pasar Eropa.
Hal ini sebagai akibat dari struktur pasar spatial monopoli yang
dinikmatinya selama 1.000 tahun lebih sebelum akhirnya bangsa
Eropa (Portugis), yaitu Vasco da Gama sampai di Calicut (India)
pada 20 Mei 1498.
Jalur Perdagangan Rempah Sebelum Abad ke-16
Uraian pada bagian terdahulu menyampaikan bahwa region
konsumen rempah berada di Roma, Yunani, dan Mesir sejak
zaman dahulu, walaupun region penghasil (supply) rempah berada
di Asia. Bahkan cengkeh dan pala, wilayah penghasilnya masih
terpusat di Maluku. Peta Gambar 1 menunjukkan bagaimana
bangsa Arab yang berada di Semenanjung Arabia menjadi wilayah
penghubung antara Asia, Afrika, dan Eropa.
Pada abad ke-7 dan ke-8, hubungan perdagangan antara India
dan Asia Tenggara memegang peran yang sangat penting bagi
pedagang Persia dan Arab dalam membentuk jalur rempah dari
Asia ke Afrika dan Eropa. Alexandria menjadi pelabuhan penting
yang menghubungkan rempah dari India atau Nusantara masuk
ke Eropa, sebaliknya juga barang-barang yang diperdagangkan ke
Asia. Cengkeh dan pala dari Maluku sesudah melewati Sri Lanka
atau India, masuk pelabuhan di Yaman atau kota dagang lainnya
di Semenanjung Arab sebelum masuk ke Eropa atau Afrika.
Peran Eropa dalam Perdagangan Rempah Dunia pada
Abad ke-16 hingga 18
Insentif ekonomi yang demikian tinggi dari monopoli rempah oleh
pedagang Arab dan Timur Tengah umumnya telah merangsang
lahirnya keinginan kuat penguasa dan pengusaha di Eropa untuk
mendapatkan langsung rempah dari sumbernya.
Di antara bangsa Eropa, bangsa Portugis merupakan bangsa
yang berhasil pertama kali sampai di Asia sesudah sukses melewati
Semenanjung Harapan di Afrika Selatan. Di bawah pimpinan
Vasco da Gama, pelaut ulung bangsa Eropa itu sampai di Calicut pada 21 Mei 1498. Pendaratan di Pelabuhan Calicut ini dicatat
sebagai titik awal yang nantinya menciptakan perubahan total
pada seluruh sendi kehidupan di Asia, Afrika, Australia, Amerika,
dan tentu saja di Eropa itu sendiri.
Perkembangan kemaritiman di atas merupakan salah satu
buah penting dari kelahiran Renaissance di Eropa. Renaissance yang
bermula di Italia pada tahun 1350 ternyata telah membangun Eropa
menjadi negara yang berkembang dan maju hampir di segala
bidang kehidupan, terutama di bidang ekonomi, politik, seni, dan
sastra. Bahkan yang paling menentukan yaitu kekuatan militer
dengan teknologi maritim yang sanggup mengelilingi dunia dan
sekaligus menaklukkan bangsa-bangsa yang ditemui.
The Telegraph, 6 Oktober 2015, di antara banyak terbitan, baik
populer maupun sains, menyatakan bahwa perubahan mendasar
yang terjadi di Eropa sesudah keruntuhan Kekaisaran Romawi
yaitu renaissance yang sering diartikan sebagai kelahiran kembali
kejayaan bangsa Eropa. Kelahiran kembali atau renaissance ini
telah menciptakan suasana baru yang membuat terjadinya ledakan
budaya, politik, ilmu pengetahuan, dan intelektualitas di Eropa
pada era abad ke-14 hingga 17.
Renaissance mulai berkembang pada abad ke-14 di Florence,
Italia. Kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh Eropa.
Bersamaan dengan itu berkembang eksplorasi, perdagangan,
bahkan perang. Seperti pada zaman Romawi Kuno dan Yunani
Kuno terjadi perang di antara keduanya, sehingga pada zaman
renaissance juga banyak peperangan. Pasukan bangsa pemenang
kembali ke kampung halamannya sesudah menaklukkan bangsa
lain, bukan hanya membawa kemenangan perang, tetapi juga
membangun budaya baru bagi bangsanya.
Italia pada abad ke-14 merupakan tempat subur untuk revolusi
kebudayaan. Bencana The Black Death yang telah memakan korban
jutaan orang bangsa Eropa, satu di antara tiga orang meninggal
pada periode 1346-1353. Bencana ini telah mengubah tatanan masyarakat, khususnya hubungan demografis dan sumber daya
ekonomi secara keseluruhan.
Penurunan jumlah penduduk membuat rasio penduduk
terhadap sumber daya ekonomi meningkat sebagaimana
digambarkan dalam peningkatan nilai upah. Bangsa Italia sebagai
bangsa keturunan pemerintahan dengan cepat menunjukkan
kelebihannya. Misalnya, keluarga the Medici of Florence melihat
Romawi Kuno dan Yunani Kuno sebagai sumber inspirasi untuk
perkembangan peradaban, termasuk seni, sastra, dan budaya.
Perubahan di atas melahirkan manusia hebat dalam bidang
seni, seperti Leonardo da Vinci, Botticelli, Michelangelo, Raphael,
dan Donatello. Di balik seni ini berkembang peradaban baru
dalam bidang intelektualitas manusia di Eropa. Zaman ini juga
melahirkan Copernicus dan Galileo yang membalik pemahaman
tentang dunia melalui ilmu pengetahuan yang melampaui batasbatasnya pada saat itu, yakni membuktikan bahwa bumilah yang
mengelilingi matahari.
Kemajuan dalam bidang ilmu kimia telah melahirkan mesiu
sebagai bahan peledak. sedang kemajuan dalam matematika
melahirkan sistem baru dalam keuangan dan perdagangan, serta
membuat sistem navigasi pelayaran yang membuka kesempatan
untuk mengelilingi dunia. Columbus menemukan benua Amerika
dan Ferdinand Magellan mengelilingi dunia. Selanjutnya, kondisi
ini melahirkan penemuan benua baru, tanah dan budaya
baru, yang kemudian menjadi akar terjadinya kolonialisme dan
imperialisme benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika oleh
bangsa Eropa.
Eksplorasi rempah merupakan perjuangan panjang bangsa
Eropa. Sejak zaman Romawi Kuno, bangsa Eropa sudah
menginginkan dapat langsung menemukan sumber rempah dan
belanja rempah di tempat penghasilnya. Namun, keinginannya
ini tak pernah terwujud sebagaimana telah diuraikan pada
bagian sebelumnya. Para pedagang rempah di Timur Tengah sangat pandai
memanfaatkan geographical proximity atau regional advantage yang
berada di tengah antara produsen rempah (India dan Nusantara)
dengan pembeli rempah (Eropa). Posisi seperti itu bisa memberi
keuntungan 100 kali lipat.
sesudah bangsa Portugis hampir 100 tahun berada di Nusantara,
bangsa Belanda mulai menghabiskan rasa penasarannya
bagaimana untuk bisa mencapai Nusantara sendiri sehingga dapat
memutus monopoli rempah yang dilakukan Lisbon selama itu.
Pada tahun 1594, para pengusaha Belanda mendirikan perusahaan
yang diberi nama “Company of Far Land”.
Tujuan utama dari pendirian perusahaan ini yaitu untuk
menemukan jalan laut sampai ke sumber rempah di Asia.
Perusahaan ini sukses mencapai Banten pada Agustus 1597.
Dengan menggunakan empat kapal menjelajahi laut, kembali ke
Belanda tiga kapal dengan kargo kecil berisikan lada. Keberhasilan
ini mendorong berdirinya lima perusahaan yang berbeda. Pada
tahun 1598 diberangkatkan 22 kapal dari pelabuhan Belanda
menuju Nusantara, selanjutnya pada tahun 1601 berangkat lagi 65
kapal ke Nusantara.
Kondisi itu memicu persaingan di antara pengusaha
Belanda dalam perdagangan rempah di Eropa. Mengantisipasi
hal itu, Pemerintah Belanda menyarankan untuk dilakukan
amalgamasi perusahaan-perusahaan Belanda yang akan
berdagang rempah ke Asia. Pada 20 Maret 1602 terbentuklah VOC
(Verenigde Oostindische Compagnie). Dengan berdirinya VOC ini,
terdapat dua kekuatan besar dari bangsa Eropa yang masuk ke
wilayah Nusantara dan Asia, yaitu Portugis dan Belanda.
VOC menancapkan dan mengembangkan kekuasaannya
di Cranganore, Cochin, Nagappattinam (India), Kolombo (Sri
Lanka), Malaka (Malaysia), Jakarta (Batavia), Ambon (negara kita ),
dan Deshima. Kekuasaan Portugis hanya tinggal di dua tempat,
yaitu Goa (India) dan Makao (RRT). Perlu dicatat bahwa Jepang tidak memberi tempat kepada
bangsa Eropa, kecuali kepada VOC. Imbalan utamanya yaitu
VOC harus memberi informasi tentang perkembangan
kemajuan perdagangan, teknologi, dan militer di Eropa.
Bangsa Eropa lainnya yang kemudian dengan cepat menjadi
pesaing Portugis dan Belanda yaitu Spanyol, Inggris, dan
Prancis. Spanyol dan Portugis mengalami pola eksplorasi khusus,
yaitu diatur Perjanjian Tordesillas. Perjanjian ini menegaskan
bahwa wilayah ke arah timur dari bujur 370 menjadi wilayah
Portugal dan wilayah ke barat menjadi wilayah Spanyol. Perjanjian
ini ditandatangani Spanyol pada 2 Juli 1494 dan Portugis
menandatanganinya pada 5 September 1494.
Konflik antara VOC dan Inggris mencapai puncaknya pada
tahun 1623 ketika pasukan VOC menahan pedagang Inggris di
Ambon. Kemudian membunuh banyak tahanan berkebangsaan
Inggris. Perdamaian penuh antara Belanda dan Inggris dicapai
melalui Perjanjian Breda (The Treaty of Breda) yang ditandatangani
Belanda, Inggris, Prancis, Denmark, dan Norwegia di Kota Breda
pada 31 Juli 1667.
Perjanjian ini menjadi sangat penting bagi setiap pembahasan
rempah Nusantara karena dapat ditarik kesimpulan bahwa
rempah memberi nilai sangat tinggi pada waktu itu. Bahkan
Belanda bersedia bertukar kekuasaan dengan Inggris, yaitu
Pulau Run yang menjadi pusat pala dan cengkeh di Kepulauan
Bandaneira yang dimiliki Inggris dengan Manhattan, New York,
yang dimiliki Belanda.
Keuntungan dari perdagangan rempah bagi VOC mulai
terasa mengalami kelesuan sesudah tahun 1670 sebagai akibat
perkembangan pembangunan di Inggris dan Jepang. Pada masa
sebelumnya, EIC (English East India Company) bukan merupakan
pesaing berat bagi VOC di Asia. Tetapi sesudah penyerangan
gabungan yang dilakukan Inggris dan Prancis terhadap Belanda pada tahun 1672, membuka banyak kesempatan baru bagi EIC di
Asia.
Perang di Eropa ini telah membuat VOC melemah sebagaimana tampak dari penurunan nilai penjualan, pengiriman rempah
ke Asia, dan dipaksa untuk mengembalikan kapal-kapal laut VOC
ke Eropa. Sebaliknya, EIC mengembangkan perdagangan dengan
India dan meningkatkan perdagangan rempah di Eropa dari 25%
pada periode sebelumnya menjadi 44% pada tahun 1670-an.
Selanjutnya, dengan pembentukan the French Compagnie des
Indie pada tahun 1664 dan masuknya the Danish East India Company
yang didirikan pada tahun 1672, persaingan dalam perdagangan
rempah menjadi semakin ketat.
Dalam persaingan ini , VOC tidak tinggal diam. VOC
bereaksi dengan menutup perdagangan rempah bagi para pesaing
VOC di Banten pada tahun 1684. Sikap VOC ini berarti
menutup pedagang rempah dari Pantai Barat Sumatera. Pada
tahun 1689, Belanda berhasil membangun monopoli rempah yang
sangat efektif di Asia. Namun demikian, jika pada periode 1668-
1670 hasil lada dan rempah memberi 57% dari keuntungan
VOC, maka pada periode 1698-1700 keuntungan dari produk
tradisional ini berkurang menjadi tinggal 37%.
VOC juga menghadapi masalah dalam hubungan dagangnya
dengan Jepang dan RRT. Pada tahun 1662, benteng VOC, Zeelandia
di Taiwan diambil kembali oleh Kaisar Ch’ing. RRT juga memaksa
VOC membeli sutera dari negara ini , tetapi kemudian
menutup penjualan suteranya kepada VOC pada tahun 1666.
VOC terpaksa membeli dari Bengali untuk menggantikan
sutera dari RRT guna mengisi pasar Jepang. sedang Jepang
sebagai negara importir emas dan perak dari VOC melarang
ekspor rempah menaikkan harga dan mengendalikannya dengan
ketat sehingga secara drastis menurunkan keuntungan VOC.Lebih jauh lagi pada tahun 1685, Jepang menerapkan batas
absolut terhadap nilai total perdagangan dengan VOC. Karena
rempah Jepang menjadi sumber pembiayaan dalam menjalankan
perdagangan antar-Asia, memicu keuntungan dari seluruh
perdagangan VOC dengan negara Asia pada awal abad ke-
18 menjadi hilang. Pada tahun 1700, pendapatan VOC untuk
membiayai perdagangan di Asia hampir seluruhnya bergantung
pada perdagangan perak Eropa.
Mulai tahun 1680-an, VOC menyadari bahwa perusahaan
berada dalam situasi melemah sebagaimana diperlihatkan dari
penurunan margin keuntungan. VOC lalu mengembangkan
strategi ekspansi. Surat-surat berharga (bond) yang dimiliki VOC
dinilai berisiko rendah. Dengan menggunakan modal ini ,
mulai tahun 1680, VOC meminjam dana dalam jumlah yang besar
dan bunga rendah di Eropa dan Asia untuk ekspansi perdagangan.
Kebijakan ekspansif ini telah membuka banyak
perkembangan. Misalnya, selama tahun 1660-an dari Eropa telah
berangkat sekitar 4.000 orang, setengahnya yaitu orang Belanda.
Pada tahun 1729-an diberangkatkan lagi sekitar 7.200 orang per
tahun dengan komposisi 60% orang Belanda. Selama tahun 1680-
an, VOC memberangkatkan 20 kapal per tahun ke Asia dan tahun
1720-an mengirimkan 38 kapal yang lebih besar per tahun ke Asia.
Sementara itu, jumlah kapal sebagai armada perdagangan Asia
menurun dari 107 kapal pada tahun 1670 menjadi hanya 52 kapal
pada tahun 1720-an.
Data menunjukkan bahwa dari periode tahun 1680 ke 1720
terjadi peningkatan bobot muatan kapal sebanyak 125%. Namun,
harga jual barang yang diimpor ke Eropa hanya meningkat 78%.
Kenaikan volume perdagangan ini menggambarkan bahwa
VOC sudah melakukan diversifikasi perdagangan dari Asia ke
Eropa dengan mengangkut mulai dari rempah, lada, tekstil, kopi,
teh, porselin, pewarna, obat, dan garam. Untuk membiayai keperluan politik dan militer di Asia, VOC
menaikkan pajak, pungutan, dan sumbangan dari 10% pendapatan
menjadi 30% pada tahun 1730. Walaupun begitu, perdagangan
antar-Asia ini pada abad ke-18 tidak lagi menguntungkan dan
membutuhkan subsidi dari Eropa. Strategi ekspansi mengalami
kegagalan mengingat ekspansi skala usaha yang dilakukan justru
menurunkan keuntungan.
Pada masa keemasan VOC antara tahun 1630 dan 1670, ratarata keuntungan mencapai 18% dari pendapatan. Sementara
masa ekspansi dari tahun 1680-1720 keuntungannya hanya 10%.
Pengembalian tahunan terhadap modal yang ditanam pada masa
sebelum ekspansi sekitar 6%, sedang pada masa ekspansi
hanya 3,4%.
Namun demikian, meski pendapatan terhadap investasi
rendah dan menurun, ternyata nilai saham VOC meningkat dan
mencapai rekor tinggi pada tahun 1720-an. Bahkan memberi
dividen sebesar 3,4%, hanya sedikit lebih rendah daripada obligasi
Pemerintah Belanda.
Pada periode 1730-1780-an, VOC mengalami peningkatan
biaya di satu pihak dan penurunan keuntungan di pihak lain.
Keuntungan yang dicapai hanya 23% dari pendapatan total. Akibat
dividen melebihi keuntungannya, VOC terpaksa dilikuidasi di
Asia dan Eropa dan mulai bergantung pada pinjaman jangka
pendek untuk bertahan hidup.
Rempah Pemicu Kolonialisme dan Imperialisme
Abad ke-17 hingga 18 merupakan abad yang mewariskan pelajaran
bagaimana bangsa Eropa sesudah berhasil menemukan jalan ke
Nusantara, kemudian sukses membangun bangsanya dengan
memanfaatkan institusi yang dinamakan korporasi. Visi besar
bangsa Belanda dengan VOC dan bangsa Inggris dengan EIC telah
memberi kekuatan dan kekuasaan. Jadi, keberadaan VOC dan EIC bukan hanya ingin mendapatkan
keuntungan dari rempah, tetapi juga untuk menancapkan kukukuku tajam penjajahan terhadap hampir semua bangsa di muka
bumi ini. Hal itu menjadi pengalaman panjang sekitar 200 tahun
Nusantara di bawah kekuasaan VOC hingga akhirnya VOC jatuh
bangkrut. Sampai Nusantara kemudian menjadi jajahan resmi
negara Belanda mulai tahun 1800.
Jadi, perubahan yang menarik dalam lintasan sejarah
ini yaitu bahwa kekayaan suatu bangsa ditentukan kinerja
korporasi dari bangsa yang bersangkutan. sedang kekayaan
yang terdapat dalam wilayah suatu bangsa belum tentu menjadi
sumber kemakmuran bagi bangsa ini . Bahkan sebaliknya,
kekayaan sumber daya bisa saja menjadi sumber malapetaka
sebagaimana yang terjadi pada bangsa negara kita , yaitu rempah
sebagai pemicu menjadi bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.
Dimulai dengan masuknya bangsa India, Arab, RRT, dan
kemudian Eropa, surplus ekonomi dari rempah menurun akibat
berkembangnya pertanaman rempah di banyak tempat (selama
tanah dan iklim memungkinkannya). Data pada tahun 1874-1908
menunjukkan, kontribusi ekspor rempah sudah berada pada
selang 2,6-4,3%. Pada zaman itu, ekspor terbesar disumbangkan
kopi, yaitu 24,5-39,9% dari nilai tolal ekspor sampai tahun 1895.
Untuk periode selanjutnya, kontribusi kopi juga menurun. Bahkan
pada tahun 1906-1908, kontribusi kopi dari seluruh nilai ekspor
tinggal 4,3%. Adapun kontribusi gula terhadap penerimaan
ekspor tetap berkisar 27,1-37,1% pada periode tahun 1874-1875
hingga 1906-1908.
Rempah pada Abad ke-20
Perang Dunia II merupakan titik puncak pertarungan antara negara
maju pada saat itu. Negara ini terbagi dalam dua kelompok
besar, yaitu negara dengan paham ideologis atau politik seperti Jerman, Jepang, dan Italia dengan negara sekutu di Eropa Barat
dan Amerika Serikat serta negara yang bersatu dalam Uni Soviet.
Perang di antara negara ini telah mengubah situasi
perekonomian dunia secara mendasar, terutama terkait lahirnya
negara merdeka di benua Asia dan Afrika sesudah Perang Dunia
II usai. Kemudian berlanjutnya Perang Dingin antara Blok Barat
(Amerika Serikat dan Eropa Barat) dengan Blok Timur (negara yang
bersekutu dengan Uni Soviet atau Republik Rakyat Tiongkok).
Pada saat Perang Dunia II terjadi, negara yang berada di Asia
dan Afrika umumnya merupakan negara jajahan bangsa Eropa,
Amerika, atau Jepang. sesudah Perang Dunia II usai, satu per
satu negara yang sebelumnya berstatus sebagai negara jajahan
berubah menjadi negara merdeka. Sebagai negara merdeka baru,
negara di kawasan ini menjadi negara yang harus mengatur
dirinya sendiri, termasuk bidang perekonomian yang di dalamnya
terdapat rempah.
Vietnam misalnya, merupakan negara yang baru bersatu
antara Vietnam Utara yang menyatakan kemerdekaan pada 2
September 1945 dan Vietnam Selatan menjadi satu negara merdeka
pada 30 April 1975. sedang negara kita sendiri menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Perubahan status politik
dari bangsa jajahan menjadi bangsa merdeka pada pasca Perang
Dunia II telah mengubah peta ekonomi dunia, termasuk rempah
di dalamnya secara radikal.
Bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta negara di Amerika Tengah
dan Amerika Selatan hampir seluruhnya pada saat Perang Dunia II
berlangsung masih merupakan bangsa yang tergantung sebagian
besar ekonominya dari pertanian. Negara yang baru merdeka
pun memulai pembangunan ekonominya dari pembangunan
pertanian.
Sementara negara maju juga memacu pertaniannya untuk
terwujudnya kelimpahan pangan. Hal itu sebagai buah dari 6berkembangnya paham bahwa suatu negara akan maju, aman, dan
damai apabila negara ini dicirikan surplus pangan. Artinya,
secara global telah terjadi kompetisi antara negara maju dengan
negara berkembang di bidang pertanian, terutama komoditas
pangan.
Secara jelas hal ini diperlihatkan dengan telah terjadinya
tren harga riil yang menurun dari komoditas pertanian di
pasar global seperti diperlihatkan Gambar 2. Gambar ini
menunjukkan bahwa walaupun penduduk dunia pasca Perang
Dunia II bertambah jumlahnya secara eksponensial, tapi harga
riil komoditas pertanian selama 1900-2000 tampaknya cenderung
terus menurun. Terlihat dengan adanya fluktuasi yang tajam pada
waktu-waktu tertentu, misalnya sekitar masa Perang Dunia II
itu sendiri dan masa embargo minyak bumi pada 1970-an, serta
pada tahun-tahun terakhir dekade pertama abad ke-21. Namun
demikian, secara keseluruhan harga riil komoditas pertanian
selama abad ke-20 kecenderungannya menurun.
Kenyataan tren harga komoditas pertanian yang menurun
ini telah menciptakan kesulitan bagi negara berkembang,
mengingat industri dan jasa di negara berkembang hingga kini
tak kunjung mengalami kemajuan berarti. Penurunan hargaharga komoditas pertanian di pasar global dengan sendirinya
menekan pendapatan petani di negara berkembang melalui impor
komoditas pertanian dari negara maju, terutama impor pangan
seperti gandum, kedelai, dan jagung.
Sementara itu, ekspor utama dari negara berkembang berupa
komoditas pertanian, khususnya komoditas perkebunan seperti
rempah, karet, kelapa sawit, dan lain-lain, tren harga riilnya juga
menurun. Dengan demikian, negara berkembang yang notabene
telah menjadi negara merdeka, pada tahap pembangunan pasca
Perang Dunia II masih tetap menghadapi kesulitan dalam
melaksanakan pembangunan akibat persaingan di pasar dunia
dalam komoditas pertanian yang harga riilnya semakin rendah. Bahkan negara berkembang kebutuhan pangannya menjadi
tergantung pada produksi pertanian di negara maju. Walaupun
dalam komoditas tertentu seperti rempah atau kopi yang hanya
bisa diproduksi di negara berkembang dengan iklim tropis,
sebagai sumber devisa dari negara berkembang, komoditas yang
diekspor masih berupa bahan mentah atau bahan baku. Harga dari
komoditas ini selain cenderung menurun, juga rendah. Di pihak
lain, industri dan jasa di negara berkembang hingga sekarang
masih tertinggal. Gambar 2 telah melahirkan banyak reaksi dari para pakar
ekonomi pembangunan yang telah memberi kontribusi
terhadap berdirinya tatanan kelembagaan dunia. Antara lain,
pandangan Prebisch dan Singer yang mendorong berdirinya
UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).
UNCTAD mencoba memperjuangkan perbaikan harga-harga
komoditas pertanian produksi negara berkembang yang hingga
sekarang merupakan sumber utama pendapatan devisa. Rempah
menempati posisi penting bagi negara berkembang termasuk
negara kita , namun harga riilnya cenderung menurun.
Perjalanan rempah secara global sejak masa lalu hingga kini
dan dalam ruang lingkup dunia di mana negara kita merupakan
bagian di dalamnya telah memberi banyak pelajaran.
Pertama, perjalanan rempah dalam peradaban manusia
telah dimulai sejak perhitungan waktu peradaban sebelum
masehi, seperti peradaban Mesir Kuno, Yunani Kuno,
dan Romawi. Dalam perjalanan peradaban ini telah
berinteraksi antarbangsa di dunia, seperti, India, Arab, Persia,
China, Eropa, dan Nusantara. Di antara beragam jenis rempah,
Maluku merupakan asal cengkeh dan pala. Dalam peradaban
rempah yang sudah ribuan tahun usianya itu, Maluku sudah
menjadi pusat perhatian dunia sejak masa awal peradaban
ini .
Kedua, rempah merupakan komoditas mewah (luxurius).
Fungsi rempah beragam, mulai dari keperluan ritual,
pengharum, cita rasa, pengawet, obat atau herbal, adventour,
dan lain-lain. Harganya juga sangat mahal, karena telah
menciptakan beragam strategi antarbangsa di dunia untuk
menguasainya.Ketiga, Arab merupakan bangsa yang menguasai
perdagangan rempah ke Eropa lebih dari 1.000 tahun.
Referensinya, tahun 500 M bangsa Romawi sudah mengenal
cengkeh dan pala yang berasal dari Maluku. Saat itu, bangsa
Romawi kebutuhan rempahnya bergantung pada pedagang
Arab yang berkolaborasi dengan pedagang India (anak benua
penghasil rempah penting bagi dunia).
Keempat, tingginya keuntungan yang diperoleh dari
rempah telah mendorong bangsa Eropa ingin mendapatkan
langsung rempah dari sumbernya, yaitu Asia, khususnya
Maluku. Pelaut Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama
berhasil melewati Tanjung Harapan, Afrika, dan tiba di Gowa,
Calicut, India pada tahun 1498. Pada tahun 1510, Vasco da
Gama menaklukkan Gowa, India. Selanjutnya, Portugis
menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Dengan demikian,
diperlukan waktu sekitar 1.000 tahun untuk bangsa Eropa
sampai kepada tujuannya mendapatkan rempah dari tempat
di mana tanaman ini tumbuh.
Kelima, kehadiran bangsa Eropa di Malaka dan selanjutnya
di Asia telah menciptakan situasi baru yang jauh berbeda dari
pola perdagangan sebelumnya. Bangsa Eropa melanjutkan
cara yang dikembangkan sebelumnya di Afrika dan Amerika,
yaitu terjadi evolusi dari perdagangan, monopoli perdagangan,
dan akhirnya penjajahan bangsa-bangsa di Asia, termasuk
negara kita .
Dalam proses ini pada awalnya rempah-rempah sebagai
komoditas utama perdagangan yang sangat menguntungkan.
Namun posisinya dalam perdagangan semakin mengecil
akibat posisi rempah yang tidak lagi langka di pasar dunia,
serta telah terjadi perkembangan baru sistem perekonomian dunia akibat terjadinya revolusi industri di Eropa Barat. Posisi
rempah digantikan kopi dan gula pada tahun 1800-an.
Keenam, Perang Dunia II telah melahirkan tatanan
masyarakat dunia yang baru. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika
sebagai bangsa penghasil rempah statusnya berubah dari
bangsa yang sebelumnya dijajah bangsa Eropa dan Amerika
Serikat menjadi bangsa yang merdeka. Namun demikian,
dalam hal perekonomian, bangsa-bangsa Asia dan Afrika
ini masih tetap mengalami kesulitan akibat tren harga riil
komoditas pertanian yang menurun dan akibat sektor industri
dan jasanya yang tidak kunjung maju dan berkembang.
Secara keseluruhan dapat diambil satu kesimpulan bahwa
suatu wilayah yang kaya sumber daya alam seperti rempah
belum tentu menikmati kekayaannya ini . Apalagi
jika tidak dapat mengatur strategi, menyusun kebijakan,
dan mengamankan kebijakan ini demi kepentingan
masyarakat di mana kekayaan ini berada. negara kita
perlu mengambil pelajaran dari perkembangan dunia dalam
upaya membangkitkan kembali kejayaan rempah di masa lalu.
Pada Bab II pembahasan mencakup ruang lingkup global
di mana negara kita berada di dalamnya, sementara dalam
bab ini diungkapkan bagaimana sudut pandang negara kita
melihat ke dunia global. Mengingat rempah sebagai komoditas
perkebunan yang terkait dengan lahan dan agroklimat di mana
komoditas rempah ini dibudidayakan.
Karena itu, informasi tentang distribusi geografis rempahrempah di Nusantara menjadi bagian pertama yang dibahas.
Sebagaimana telah disebutkan dalam prolog, jenis rempah yang
dibahas dibatasi pada enam jenis rempah yang memiliki peran
penting dalam perekonomian negara kita , yaitu: cengkeh, pala,
lada, kayu manis, vanili, dan jahe.
Distribusi geografis rempah di Nusanta