rempah nusantara 2









 ra berkembang sejalan 

dengan interaksi komunitas Nusantara dengan komunitas global 

melalui perdagangan rempah yang kemudian berubah menjadi 

sistem penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa. Perkembangan atau 

perubahan sistem produksi dan perdagangan rempah dari masa 

sebelum bangsa Eropa bercokol di negara kita  hingga menjadi

penjajah sebagai bahan pembelajaran untuk membangun strategi 

dan kebijakan mengembalikan kejayaan rempah Nusantara. 

Geografis Rempah Nusantara

Rempah yang ditanam dan berkembang di negara kita  dapat 

dikategorikan sebagai tanaman asli negara kita  dan introduksi 

dari negara lain. Tanaman rempah asli negara kita  meliputi pala, 

cengkeh, temu-temuan, dan kemiri. sedang  lada, asam, vanili, 

kapolaga, jahe, dan kayu manis merupakan tanaman introduksi. 

Tanaman rempah tumbuh dan berkembang sesuai dengan 

kesesuaian lahan dan lingkungan yang mendukung, serta 

kebutuhan dalam penggunaan rempah sebagai bumbu keluarga. 

Selain itu juga berkembang sebagai usaha tani keluarga, bahkan 

beberapa komoditas berkembang dalam bentuk perusahaan 

perkebunan. Hasil produksi tanaman ini selain untuk memenuhi 

kebutuhan dalam negeri, juga berkembang sebagai komoditas 

ekspor. 

Tanaman rempah menurut fungsi dan kegunaannya sangat 

potensial berkembang untuk mendukung perekonomian keluarga, 

wilayah, dan negara. Bahkan negara kita  dijuluki sebagai “Mother of 

Spices” (Ibu Rempah) karena keunggulan geografisnya.

Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) yaitu  tanaman rempah 

asli Kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), daerah kepulauan 

yang dahulu dikenal penjelajah sebagai Spice Islands. Tanaman 

ini merupakan rempah yang telah dikenal dan digunakan sejak 

ribuan tahun sebelum masehi. Cengkeh pernah menjadi salah satu 

rempah yang paling populer dan mahal di Eropa, melebihi harga 

emas. 

Tanaman ini merupakan pohon yang sekarang terdapat hampir 

di seluruh wilayah di negara kita . Daerah penghasil cengkeh utama 

yaitu  Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan 

Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, 

Sumatera Selatan, dan DI Yogyakarta. Selain di negara kita , cengkeh 

hanya dikenal berkembang di Madagaskar. Bahkan produksi 

cengkeh di negara ini  mampu menyaingi negara kita . Cengkeh 

selain dikembangkan dalam bentuk tanaman perkebunan rakyat, 

juga perkebunan swasta. 

Pala (Myristica fragran Haitt.) merupakan tanaman asli 

negara kita  berupa pohon buah yang tinggi, dengan pusat asal dan 

pusat keragaman genetiknya yaitu  Pulau Banda, Siau, Maluku 

Utara, dan Papua. Selain sebagai rempah, pala juga berfungsi 

sebagai tanaman penghasil minyak atsiri yang banyak digunakan 

dalam industri pengalengan, minuman, dan kosmetik. Meski 

tanaman pala berkembang hampir di seluruh wilayah negara kita , 

tetapi hanya lima daerah penghasil pala utama, yaitu Maluku 

Utara, Maluku, Aceh, Sulawesi Utara, dan Jawa Barat. 

Lada (Piper nigrum Linn.) yang dikenal sebagai king of spices

berasal dari daerah Ghat Barat, India. Sekitar tahun 110-600 SM 

banyak pendatang Hindu yang datang ke Jawa. Mereka itu yang 

diperkirakan pertama kali membawa bibit lada ke Banten yang 

kemudian berkembang ke daerah lain di Jawa (Jawa Barat dan 

Jawa Tengah), selanjutnya ke Sumatera (terutama Lampung dan 

Bangka), bahkan ke Kalimantan dan Sulawesi. 

Saat ini lada banyak telah berkembang dan ditanam di 24 

provinsi, meliputi Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, 

Bengkulu, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan 

Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Lampung, NTB, 

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi 

Tenggara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa 

Tengah, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Bali. Provinsi 

penghasil lada utama yaitu  Lampung, Bangka Belitung, 

Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. 

Kayu manis terdapat beberapa jenis, yang asli tanaman 

negara kita  yaitu  Cinnamonmum burmanii, C. javanicum, C. sintok, dan C. cullilawan. sedang  yang introduksi yaitu  kayu manis 

asli (true cinnamon) yang disebut juga kayu manis ceylon (Cinnamon 

zeylanicum), berasal dari Sri Lanka. Tanaman ini di negara aslinya 

tumbuh hingga 1.200 m dpl. 

Di dunia perdagangan yang dikenal yaitu  kulit kayu manis 

yang dihasilkan dari C. burmanii, C. zeylanicum, dan C. casia. Kayu 

manis yang terakhir ini berasal dari China. Di negara kita  kayu 

manis yang berkembang yaitu  C. burmanii dan C. zeylanicum, 

keduanya awal berkembang di daerah Jawa Barat, selanjutnya ke 

wilayah Sumatera Barat, Jambi, dan DI Yogyakarta yang sekarang 

menjadi produsen utama. Di negara kita  sebenarnya terdapat 29 

spesies kayu manis yang tersebar di Jawa, Sumatera, Maluku, dan 

Papua.

Vanili (Vanilla planifolia) diintroduksikan ke negara kita  oleh 

Belanda pada tahun 1819. Awalnya vanili ditanam di Kebun 

Raya Bogor hanya untuk koleksi taman botani yang digagas Prof. 

Dr. Reinwadt. Pada perkembangannya tahun 1864, vanili mulai 

ditanam di Temanggung, Jawa Tengah. Kemudian menyebar 

ke beberapa wilayah seperti Lampung, Bali, Jawa Tengah, Jawa 

Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, 

Sulawesi Tengah, NTB, NTT, dan Papua. 

Pulau Jawa menjadi daerah terpesat dalam proses 

berkembangnya tanaman vanili pada tahun 1960-1970. Hal ini 

menjadi alasan mengapa ekspor vanili negara kita  kemudian lebih 

dikenal dengan nama “Java Vanilla Beans“. Dari beberapa genus 

vanili seperti Vanilla planifolia, V. pompona, dan V. Garneri. Namun, 

jenis V. planifolia yang paling banyak ditemukan di negara kita  yang 

dikenal dengan nama komersial Madagascar Bourbon Vanilla.

Jahe (Zingiber offiChinale Rosc.) yaitu  tanaman rempah 

berupa tumbuhan rumpun berbatang semu penghasil rimpang. 

Jahe tanaman asal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai 

China. Tanaman jahe di dunia tersebar di daerah tropis, benua Asia, dan Kepulauan Pasifik. Saat ini jahe berkembang di Jamaica, 

Brasil, Hawai, Afrika, India, China, Jepang, Filipina, Australia, 

Selandia Baru, Thailand, dan negara kita . 

Dikenal tiga macam jahe yang diusahakan, yakni jahe kecil 

putih (emprit), jahe gajah, dan jahe merah. Jahe kecil putih di 

negara kita  ditemukan di hampir semua wilayah dan umumnya 

ditanam di halaman rumah. sedang  yang diusahakan untuk 

diperdagangkan dalam skala luas yaitu  jahe gajah dan jahe 

merah. 

Dalam dunia perdagangan, penamaan jahe didasarkan 

kepada daerah asalnya. Misalnya, jahe Afrika, jahe Chochin, atau 

jahe Jamaika. Sejak 250 tahun yang lalu, jahe di China sudah 

digunakan sebagai bumbu dapur dan obat. Di Malaysia, Filipina, 

dan negara kita  jahe banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. 

sedang  di Eropa pada abad pertengahan, jahe digunakan 

sebagai aroma pada bir. Provinsi penghasil jahe utama saat ini 

yaitu  Jawa Timur, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera 

Utara, Lampung, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Pulau Rempah Nusantara

Dalam pengembangan tanaman rempah di berbagai wilayah 

negara kita  selama ini, selain dukungan kesesuaian sumber daya 

lahan dan lingkungan yaitu  kebiasaan atau keterampilan 

dalam budi dayanya. Hal itu juga dapat dihubungkan langsung 

dengan pemenuhan permintaan dan kebutuhan rempah dalam 

perdagangan dan perekonomian Nusantara dan dunia. 

Cengkeh umumnya tumbuh dan berkembang dengan baik 

pada wilayah dan lingkungan dengan topografi datar sampai 

bergelombang, ketinggian di bawah 700 m di atas permukaan laut 

(dpl), suhu 22-32°C, kelembapan nisbi kurang dari 70%, curah 

hujan 1.500-3.500 mm/tahun, dan bulan kering kurang dari 3 bulan. Selain itu, tanaman cengkeh membutuhkan lahan dengan 

drainase yang baik dan tanah gembur yang banyak mengandung 

butiran pasir. 

Kedalaman efektif lahan agar akar cengkeh dapat menembus 

tanah dan mampu menyerap air dan hara dengan baik sekurang￾kurangnya yaitu  2-3 meter. Karena itu, pertumbuhan dan 

produktivitas tinggi tanaman didominasi di wilayah Maluku, 

Sulawesi, Sumatera, Jawa, dan Bali. Di lapangan, lokasi berlereng 

yang menghadap ke laut di wilayah kepulauan dengan persyaratan 

tumbuh dan berkembang yang sesuai, pertumbuhan vegetatif dan 

generatif tanaman cengkeh tampak sangat ideal (Gambar 3).

Pala, tanaman ini tumbuh dan berproduksi dengan baik pada 

lokasi dengan ketinggian < 700 m dpl, memiliki curah hujan 2.000-

4.500 mm per tahun dan curah hujan harian 100-160 hari, suhu 

25-30°C, kelembapan nisbi < 75%, serta berdrainase baik. Namun 

demikian, untuk berproduksi dengan baik diperlukan komposisi 

tanaman jantan dan betina yang ideal, setidaknya satu jantan dan 

delapan betina. 

Wilayah produksi utama pala saat ini, selain Maluku (Ternate, 

Halmahera, Bacan, Banda) dan Papua, yaitu  Jawa Barat dan 

Aceh. Umumnya wilayah pengembangan cengkeh juga sesuai 

untuk pengembangan pala, meski belum tentu wilayah ini  

masuk dalam kategori sangat sesuai bagi tanaman pala. Saat 

ini, di negara kita  perkembangan wilayah produksi pala tidak 

lagi didominasi Maluku. Kualitas produksi pala Jawa Barat juga 

meningkat sehingga dapat bersaing di pasar global.Lada, tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik 

pada wilayah dengan curah hujan 2.000-2.500 mm per tahun atau 

rata-rata 2.300 mm per tahun. Tanaman ini tidak menghendaki 

bulan kering yang kurang dari 60 mm dan lama masa kering < 

2 bulan. Suhu yang mendukung pertumbuhan yaitu  23-32°C 

dengan lengas nisbi optimal 60-80%. 

Lahan lada sangat memerlukan drainase yang baik, karena 

drainase yang kurang baik akan memicu  berkembangnya 

penyakit busuk pangkal batang yang sangat ditakuti saat ini. 

Wilayah yang memproduksi lada yang baik saat ini didominasi 

lahan kering di Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, 

Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan, meski banyak wilayah 

lain juga dapat bercocok tanam lada, termasuk wilayah pasang 

surut.Kayu manis, dapat tumbuh pada ketinggian hingga 2.000 m 

dpl, tergantung jenisnya. Tanaman ini tumbuh baik pada keadaan 

iklim tropis basah. Iklim tropis basah tersebar hampir di seluruh 

wilayah negara kita  dengan curah hujan yang merata sepanjang 

tahun dengan jumlah cukup, sekitar 2.000-2.500 mm/tahun dengan 

suhu berkisar 18-22°C, tergantung jenisnya, dengan kelembapan < 

75%. Sinar matahari yang dibutuhkan tanaman hanya sekitar 40-

70%. 

Tanaman kayu manis tumbuh dengan sangat baik pada jenis 

tanah latosol, andosol, podsolik merah kuning, dan mediteran. 

Umumnya areal penanaman kayu manis berada di tanah miring 

atau lereng yang memiliki air tanah yang dalam. Daerah penghasil 

utama kayu manis yaitu  Sumatera Barat dan Jambi (Gambar 7).Vanili, umumnya tumbuh baik pada lahan yang mengandung 

humus, subur, berstruktur remah dan gembur dengan daya 

pengikat air cukup, serta drainasenya baik karena sistem 

perakaran vanili yang dangkal. Tanah gembur dan ringan yaitu 

tipe tanah lempung berpasir (sandy loam) dan lempung berpasir kerikil (gravelly sandy loam), mudah menyerap air, pH tanah ± 5,5-

6,5. Namun perlu diperhatikan, tanaman vanili tidak tahan pada 

tanah yang air tanahnya dangkal (< 5 m). 

Untuk pertanaman, kemiringan tanah sebaiknya 3-7%. Jika 

lebih dari 3-7% sebaiknya dibuat teras. Vanili dapat hidup di 

daerah beriklim tropis, curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun, cahaya 

matahari 30-50%, suhu udara optimal 22-25°C, kelembapan 

udara sekitar 60-80%, dan ketinggian tempat 300-800 m dpl. 

Tanah gembur dan ringan yaitu tipe tanah lempung berpasir dan 

lempung berpasir kerikil, mudah menyerap air, pH tanah ± 5,5-

6,5. Hujan yang terus-menerus dan kelembapan udara yang cukup 

tinggi memicu  buah vanili wangi/aromanya kurang. Sentra 

produksi vanili ada di Bali, Jawa, Lampung, dan Alor (NTT)Jahe, tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang luas di 

daerah tropis sehingga dapat tumbuh di dataran rendah sampai 

pegunungan. Namun, untuk tumbuh dan berproduksi secara 

optimal, tanaman jahe membutuhkan kondisi lingkungan tumbuh 

yang sesuai. Jahe cocok ditanam di daerah tropis pada kisaran 

suhu 25-35°C, pH tanah 5-7, curah hujan 2.500-3.500 mm, bulan 

kering kurang dari 3 bulan. Daerah utama penghasil jahe saat ini yaitu  Jawa Timur berada 

di Kabupaten Malang, Pacitan, Ngawi, Nganjuk, Ponorogo, dan 

Pamekasan. sedang  di Jawa Tengah berlokasi di Kabupaten 

Temanggung, Wonosobo, Magelang, Karanganyar, Wonogiri, 

dan Semarang. Sementara di Jawa Barat di Kabupaten Cianjur, 

Garut, Ciamis, dan Sukabumi. Untuk Sumatera Utara berada di 

Kabupaten Simalungun dan Toba Samosir. Provinsi lainya yaitu  

Kalimantan Selatan, Lampung, dan Bengkulu.

Di negara kita  umumnya jahe masih dibudidayakan petani 

yang ada di Pulau Jawa. Karena itu, pantas bila Pulau Jawa 

yaitu  wilayah penghasil jahe yang berkualitas tinggi. Bahkan 

tidak hanya jahe yang ikut dibudidayakan, ada kunyit, kencur, 

temulawak, dan berbagai tanaman yang difungsikan sebagai obat 

tradisional lainnya.

Rempah Nusantara Sebelum Kehadiran Bangsa Eropa

Aktivitas produksi dan perdagangan rempah merupakan 

kepingan sejarah negara kita  yang sudah berlangsung sebelum 

bangsa Eropa menginjakkan kakinya di Nusantara pada awal 

tahun 1500-an. Hal ini  tak terlepas dari keberadaan sejumlah 

tanaman rempah asli negara kita , seperti cengkeh, pala, kayu manis, 

kemiri, kapulaga, dan cendana yang telah dikenal. Bahkan telah 

digunakan ribuan tahun sebelum masehi serta tumbuh subur di 

sejumlah wilayah Nusantara. Pada saat itu, rempah merupakan 

komoditas perdagangan utama yang sangat berharga. Misalnya, 

cengkeh yang pada masa kejayaannya memiliki nilai jual setara 

dengan harga emas batangan.

Pada zaman dahulu, rempah merupakan komoditas yang 

sangat dicari dalam perdagangan di Dunia Timur. Kemolekan 

rempah Nusantara tentu saja sangat menarik perhatian para 

pedagang rempah ulung dunia kala itu. Perjalanan rempah 

Nusantara ke pasar elit dunia saat itu, khususnya di Eropa, tak terlepas dari peran para pedagang dari tiga bangsa, yaitu India, 

RRT (Tiongkok), dan Arab (Timur Tengah). Rute perdagangan 

rempah Nusantara yang melibatkan ketiga bangsa ini  

disajikan pada Gambar 10.Era Bangsa India

Catatan tertulis mengenai cengkeh ditemukan dalam kitab Weda, 

kitab suci bangsa Aria dari India Utara. Bangsa Aria yaitu  

bangsa yang membangun peradaban Hindu dan Buddha dan 

menyebarkannya ke seluruh penjuru Asia. Kitab Weda ditulis 

dalam bahasa Sansekerta pada tahun 1700-800 SM (era Hindu) 

dan 800-350 SM (era Buddha). Bangsa Aria telah menggunakan 

rempah sejak awal peradabannya, namun perkenalan mereka 

dengan cengkeh tercatat dalam era Buddha. Cengkeh diperkirakan mencapai India melalui Malaysia. 

Karena “lavanga” (bahasa Sansekerta untuk cengkeh) berasal dari 

bahasa Melayu. Bunga lavanga cengkeh juga muncul dalam cerita 

epik Ramayana yang ditulis bangsa India antara tahun 350 SM 

dan 1 M. Antara 600 SM–1400 M para misionaris dan pedagang 

India menjelajah kawasan Asia untuk menyebarkan ajaran Hindu 

dan Buddha, serta memperdagangkan rempah yang menjadi salah 

satu komoditas terpenting saat itu. Penjelajahan mereka meliputi 

RRT dan seluruh Asia Tenggara, termasuk Kepulauan Maluku di 

mana mereka mendapatkan rempah. 

Menurut catatan sejarah, pada milenium pertama SM (sekitar 

1000 SM) orang-orang Hindustan (termasuk India) terlibat dalam 

perdagangan laut dan darat untuk komoditas barang-barang 

mewah, seperti rempah, emas, batu mulia, kulit hewan langka, 

kayu arang, dan mutiara. Para pedagang rempah ulung dari India 

antara lain Vanika dari Gujarat dan Chetti dari India Selatan. 

Perdagangan jalur laut ini terjadi di Laut Merah dan Samudra 

Hindia. Jalur laut di Laut Merah yaitu  dari Bab-el-Mandeb 

ke Berenike. Dari sana menggunakan jalur darat ke Sungai Nil, 

kemudian dengan perahu ke Alexandria. 

Pada awal abad 80 SM, Alexandria telah menjadi pusat 

perdagangan yang dominan untuk masuknya rempah India ke 

dalam dunia Yunani-Romawi. Kapal-kapal dari Hindustan (India) 

berlayar ke Mesir. Rute maritim yang berkembang di Asia Selatan 

ini tidak dikuasai kekuatan tunggal, melainkan melalui berbagai 

sistem. 

Rempah dari Timur ini dibawa ke pelabuhan perdagangan 

rempah besar di Hindustan, seperti Barbaricum, Barygaza, Muziris, 

Korkai, Kaveripattinam, dan Arikamedu. Pos-pos perdagangan ini 

kemudian melayani pasar dari negeri RRT dan Arab. Perdagangan 

antara Hindustan dan dunia Yunani-Romawi terus mengalami 

peningkatan. Dalam perdagangan tercatat rempah merupakan produk utama dari Hindustan yang diekspor ke Dunia Barat 

melebihi sutra dan komoditas lainnya. 

Hadirnya bangsa India di Nusantara pada awal hingga 

pertengahan milenium pertama sebelum masehi juga dapat 

dibuktikan catatan sejarah perkembangan tanaman lada. Menurut 

catatan sejarah, tanaman lada yang dikenal sebagai king of spices

dilaporkan berasal dari Ghat Barat, India. Pada tahun 110-600 SM 

banyak pendatang Hindu yang tiba di Pulau Jawa. Para pendatang 

ini  diperkirakan yang pertama kali membawa tanaman lada 

ke daerah Banten hingga akhirnya berkembang di Nusantara. 

Pada masa itu, di Pulau Jawa dan Kalimantan, permintaan 

terhadap komoditas aromatik, termasuk di dalamnya sejumlah 

rempah, mengalami peningkatan melalui pengenalan budaya 

Hindustan. Di antaranya menu kuliner yang banyak menggunakan 

rempah. Dengan demikian, bangsa India tidak hanya 

memperdagangkan rempah Nusantara, juga turut memperkaya 

komoditas dan budaya rempah di Nusantara.

Era Bangsa Tionghoa

Bukti linguistik dan arkeologi menunjukkan bahwa penduduk 

Molluca (Kepulauan Maluku) telah memperdagangkan rempah￾rempah sampai ke China, India, bahkan Arab. Demikian pula 

menurut pustaka UCLA Louise M. Darling Biomedical Library, 

RRT telah mengimpor cengkeh sekitar tahun 200 SM. 

Di antara pedagang rempah RRT yang terkenal yaitu Suku 

Tionghoa dari Provinsi Fujian. Hal ini diperkuat catatan Dinasti 

Han 206 BC/SM-220 AD/Mang banyak memanfaatkan keharuman 

cengkeh sebagai penyegar napas. Pada masa kejayaan Dinasti 

Han ini , semua yang akan bertemu dan berinteraksi dengan 

Kaisar RRT diharuskan mengulum atau mengunyah cengkeh 

untuk menghindarkan kaisar dari bau napas tak segar. Catatan 

sejarah ini  memberi  gambaran perdagangan rempahNusantara yang telah terjadi karena cengkeh merupakan tanaman 

asli negara kita  yang berasal dari Pulau Ternate, Tidore, Motir, 

Makian, dan Bacan. 

Era Bangsa Timur Tengah

Bangsa Timur Tengah telah memanfaatkan rempah untuk berbagai 

keperluan sejak tahun 5000 SM. Sejarah mencatat bahwa bangsa 

Arab memonopoli rempah mulai tahun 2000 SM. Di paruh kedua 

milenium pertama sebelum masehi, suku Arab Selatan dan Barat 

Arabia mengambil kontrol atas perdagangan darat rempah dari 

Arab Selatan ke Laut Mediterania. Suku-suku ini  yaitu  

M’ain, Qataban, Hadhramaut, Saba, dan Himyarite. Di utara, Suku 

Nabath menguasai jalur perdagangan yang melintasi Negev dari 

Petra ke Gaza. Perdagangan ini membuat suku-suku Arab ini  

menjadi sangat kaya. Bahkan wilayah Arabia Selatan disebut 

sebagai “Arabia Eudamon” (Arabia yang gembira) oleh orang￾orang Yunani.

Sekitar tahun 1000 SM, para pedagang Arab juga terlibat dalam 

perdagangan rempah melalui jalur laut. Perdagangan jalur laut ini 

terjadi di Laut Merah dan Samudra Hindia, seperti halnya yang 

dilakukan para pedagang rempah India. Jalur darat pada awalnya 

membantu perdagangan rempah, tapi rute perdagangan maritim 

memicu  pertumbuhan yang luar biasa dalam aktivitas 

komersial. 

Pada tahun 100 SM, Pedagang Arab membuka jalur 

perdagangan maritim ke India, RRT, dan seluruh Kepulauan 

Melayu dan berdagang langsung dengan penduduk Maluku. 

Jalur perdagangan yang dirintis bangsa Arab menghubungkan 

Arab, Baghdad, India, Guangzhou (RRT), dan Spice Islands alias 

Kepulauan Maluku. 

Selama abad pertengahan, para pedagang muslim mendominasi 

rute perdagangan rempah maritim di seluruh Samudra Hindia. Mereka mendapat keuntungan besar dari daerah sumber rempah 

di Timur Jauh (Asia Tenggara) dan mengirimkan rempah dari 

emporium perdagangan di Hindustan ke arah barat ke Teluk 

Persia dan Laut Merah yang merupakan rute darat menuju ke 

Eropa. Rempah yang dibeli bangsa Arab dari Nusantara dan India 

dijual dengan keuntungan hingga 100 kali lipat. Bahkan bangsa 

Mesir pun sudah mengimpor rempah seperti lada, kayu manis, 

dan jahe dari Timur. 

Pada pertengahan abad ke-7, bangkitnya Islam berimbas pada 

ditutupnya rute darat kafilah yang melalui Mesir dan Kanal Firaun, 

sehingga memisahkan komunitas perdagangan Eropa dari Aksum 

dan Hindustan. Pedagang-pedagang Arab, terutama keturunan 

pelaut dari Aden Yaman dan Oman, akhirnya mengambil alih 

pengiriman rempah-rempah melalui pedagang Levant dan 

Venesia untuk Eropa. 

Alexandria menjadi pelabuhan penting yang menghubungkan 

rempah dari India dan Nusantara masuk ke Eropa, sebaliknya 

juga barang-barang yang diperdagangkan ke Asia. Cengkeh dan 

pala dari Maluku dikirim ke emporium perdagangan di India 

melewati pelabuhan seperti Kozhikode dan Ceylon (sekarang Sri 

Lanka). Produk ini  kemudian dikirim ke arah barat melintasi 

pelabuhan Arabia di Timur Dekat, ke Ormus di Teluk Persia, dan 

Jeddah di Laut Merah, dan kadang-kadang dikirim ke Afrika 

Timur. 

Penduduk Abbasiyah menggunakan Alexandria, Damietta, 

Aden, dan Siraf sebagai pelabuhan pintu masuk ke India dan 

RRT. Pedagang yang tiba dari India di kota pelabuhan Aden 

membayar upeti dalam bentuk jebat, kapur barus, ambergris, 

dan cendana kepada Ibnu Ziyad, Sultan Yaman. Bangsa Arab dan 

bangsa Kanaan/Fenisia (sekitar Lebanon di masa sekarang) yaitu  

yang pertama memperkenalkan rempah, termasuk cengkeh dari 

Kepulauan Maluku ke Benua Eropa. Perdagangan rempah telah membawa kekayaan besar bagi 

kekhalifahan Abbasiyah, bahkan menginspirasi legenda terkenal 

seperti Sinbad si Pelaut. Para pelaut dan pedagang awal ini 

sering berlayar dari kota pelabuhan Basra. Akhirnya sesudah  

banyak pelayaran, mereka akan kembali menjual barang-barang 

mereka termasuk rempah di Baghdad. Untuk mempertahankan 

dominasinya, bangsa Arab merahasiakan sumber rempah dari 

bangsa Barat dengan mengarang dongeng yang sangat pelik 

tentang di mana dan bagaimana mereka mendapatkan rempah 

ini  selama berabad-abad.

Rempah Nusantara pada Masa Kolonialisme

Sejak zaman Romawi Kuno, bangsa Eropa sangat ingin menemu￾kan sumber rempah yang merupakan komoditas sangat berharga 

kala itu. Keinginan ini  akhirnya menemukan momentum 

pada abad ke-15. Tepatnya pada tahun 1453, bangsa Turki 

Utsmani merebut Konstantinopel sehingga Kekaisaran Bizantium 

(Romawi Timur) berakhir. Dengan demikian, satu-satunya rute 

perdagangan rempah dari Timur (India dan Nusantara) dikuasai 

dan dikendalikan oleh Kesultanan Utsmaniyah.

Saat itu, Kesultanan Utsmaniyah menarik pajak yang sangat 

besar terhadap barang dagangan yang menuju Eropa Barat, 

termasuk rempah. Hal ini semakin mendorong bangsa Eropa 

untuk menemukan sumber rempah dari Timur dan membelinya 

langsung dari sumber ini  untuk mendapatkan keuntungan 

yang besar serta menumbangkan monopoli perdagangan rempah 

bangsa Arab. 

Eksplorasi bangsa Eropa menuju sumber rempah Nusantara 

mulai menemui titik terang dengan ditemukannya rute maritim 

menuju Timur dengan memutari Afrika. Peristiwa inilah yang 

mengawali mulai tumbangnya dominasi perdagangan rempah 

bangsa Arab, khususnya di India dan Nusantara.Bangsa Portugis merupakan yang pertama mencoba 

menjelajahi Afrika Utara di bawah Henry sang Navigator sekitar 

tahun 1400. Pada tahun 1497 atas perintah Manuel I dari Portugal, 

empat kapal di bawah komando navigator Vasco da Gama 

mengitari Tanjung Harapan. Kemudian melanjutkan ke pantai 

timur Afrika ke Malindi untuk berlayar menyeberangi Samudra 

Hindia dan tiba di Kalikut, selatan Hindustan, ibu kota penguasa 

lokal Zamorin pada 20 Mei 1498. 

Bangsa Eropa mulai menginjakkan kakinya di Nusantara 

sesudah  pasukan Portugis di bawah komando Alfonso de 

Albuquerque menaklukkan Malaka pada 24 Agustus 1511. sesudah  

keberhasilan ini , Alfonso mempelajari lokasi keberadaan 

Kepulauan Maluku yang dikenal sebagai Spice Islands.

Pada November 1511, Alfonso mengutus tiga kapal yang 

dikomandani António de Abreu. Saat itu sejumlah pelayar Melayu 

direkrut untuk memandu pelayaran menuju Jawa, Kepulauan 

Sunda, Kepulauan Ambon hingga akhirnya tiba di Kepulauan 

Banda yang merupakan sumber pala dan cengkeh dunia pada 

awal tahun 1512. Pasukan Portugis ini  tinggal selama 

sebulan serta membeli dan memenuhi kapal-kapal mereka dengan 

pala dan cengkeh. Saat itulah kekayaan rempah Nusantara telah 

terbuka bagi orang Eropa untuk dieksplorasi. 

Pasukan António de Abreu juga berhasil mencapai Pulau Buru, 

Ambon, dan Seram. Akhirnya pada tahun 1522, pasukan Portugis 

diizinkan Sultan Ternate untuk membangun benteng di Ternate 

yang diberi nama “the Forte de São João Baptista de Ternate”.

Tak hanya di Kepulauan Maluku, pasukan Portugis juga 

membeli dan memperdagangkan rempah dari wilayah Nusantara 

lainnya. Pada tahun 1513, komandan Portugis di Malaka yang 

bernama Jorge de Albuquerque memerintahkan staf bawahannya 

berlayar ke China menggunakan kapal yang dipenuhi komoditas 

lada dari Sumatera. Peristiwa ini menggambarkan saat itu produk 

lada dari Sumatera sudah diperdagangkan Portugis ke RRT. Bahkan dalam perdagangan rempah tidak jarang bangsa 

Portugis lebih banyak menjual ke negara lain daripada memasok 

ke negara asal mereka. Sebagai contoh, sekitar tahun 1530-an 

Portugis mengirimkan lebih banyak cengkeh, pala, dan fuli ke 

India dan Ormus daripada ke Portugal. Para pembeli di Ormus 

yaitu  para pedagang Moor yang meneruskannya melewati 

Persia, Arabia, dan seluruh Asia sejauh Turki. 

Pada awal abad ke-16, Portugis telah menguasai penuh rute 

pelayaran Afrika yang menghubungkan tiga samudra. Mulai dari 

Kepulauan Maluku di perbatasan Samudra Pasifik, melalui Malaka, 

India, dan Sri Lanka (yang kemudian berkembang ke China dan 

Jepang), sampai ke Lisbon (Portugal) melintasi Samudra Hindia dan Atlantik. Bangsa Portugis menguasai perdagangan rempah di 

Nusantara hampir satu abad. Namun demikian, selama periode 

ini  bangsa Portugis masih belum berhasil memonopoli 

seluruh rempah di Nusantara.

Keberhasilan Portugis menemukan rute pelayaran ke pusat 

rempah cengkeh dan pala di Kepulauan Maluku serta lada di 

Sumatera mendorong bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol, 

Belanda, dan Inggris berbondong-bondong mendapatkan rempah 

di Nusantara, bahkan berkeinginan menguasainya. Sepanjang 

abad ke-16 dan 17, bangsa Portugis dan Spanyol memperebutkan 

penguasaan tanah rempah di Maluku. sesudah  itu, perebutan 

kekuasaan ini  disusul bangsa Belanda pada abad ke-17.

Upaya pertama Spanyol menyaingi Portugis dalam eksplorasi 

perdagangan rempah ke Asia di antaranya melalui ekspedisi 

Christopher Columbus yang akhirnya malah menemukan sebuah 

benua tak dikenal di antara Eropa dan Asia. Tak berhenti di situ, 

Raja Spanyol Charles I memilih dan memerintahkan Ferdinand 

Magellan untuk mencari rute pelayaran Barat dan menemukan the 

Spice Islands (Kepulauan Maluku). 

Bangsa Spanyol akhirnya berhasil mencapai Filipina (Asia) 

melalui ekspedisi Ferdinand Magellan pada 16 Maret 1521. 

Kemudian pada 6 November 1521 mencapai Kepulauan Tidore, 

Maluku dengan menggunakan dua kapal (yang diberi nama 

Trinidad dan Victoria) serta mengangkut 115 orang pasukan. 

Pasukan Spanyol selanjutnya melakukan perdagangan rempah 

dengan Sultan Tidore yang saat itu merupakan musuh Sultan 

Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Ekspedisi Ferdinad 

Magellan ini  melahirkan rute perdagangan rempah dari 

Barat ke Asia yang pertama.

sesudah  melakukan perdagangan di Maluku, kedua kapal 

Spanyol yang sudah dipenuhi muatan rempah berencana kembali 

ke negara asalnya. Namun, dalam perjalanan pulang ke Spanyol 

ini , kapal Trinidad mengalami kebocoran tidak jauh dariKepulauan Maluku. Kapal Trinidad memerlukan perbaikan lama 

sehingga akhirnya pada 21 Desember 1521 diputuskan hanya 

kapal Victoria dan sebagian pasukan yang melanjutkan perjalanan 

ke Spanyol dipimpin Komandan Juan Sebastián Elcano.

Beberapa minggu kemudian, kapal Trinidad berhasil 

diperbaiki dan berencana kembali ke Spanyol menggunakan 

rute Samudra Pasifik. Tapi, rencana ini  gagal karena kapal 

Trinidad ditangkap pasukan Portugis. Dengan demikian, dari 

lima kapal di bawah komando Ferdinand Magellan hanya satu 

yang kembali ke Spanyol, yaitu kapal Victoria yang dikomandani 

Juan Sebastián Elcano dan penuh muatan cengkeh dari Maluku. 

sesudah  bangsa Portugis berkuasa hampir 100 tahun, selanjutnya 

giliran bangsa Belanda yang berhasil merambah dan mengambil 

alih sentra-sentra rempah di Nusantara dari bangsa Portugis. 

Keberhasilan Belanda sekaligus menumbangkan monopoli Lisbon 

dalam perdagangan rempah asal Nusantara. 

Hays menyebutkan bahwa bangsa Belanda telah berhasil 

mengembangkan rute-rute Selatan yang lebih cepat dan efisien 

menuju Nusantara dibandingkan rute yang digunakan bangsa 

Portugis. Pada tahun 1594, para pengusaha Belanda mendirikan 

perusahaan yang diberi nama “Company of Far Land”. Tujuan 

utama dari pendirian perusahaan ini yaitu  untuk menemukan 

jalan laut sampai ke sumber rempah-rempah di Asia. 

Ekspedisi pertama Belanda berlayar dari Amsterdam (April 

1595) ke Hindia Timur (sekarang negara kita ). Perusahaan ini 

sukses mencapai Banten pada Agustus 1597. Pada tahun 1599, 

konvoi kapal Belanda lainnya kembali dengan membawa 600.000 

pon rempah dan produk Hindia Timur lainnya.

Sejarah mencatat selama 350 tahun penjajahan Belanda di 

negara kita  dapat dibagi menjadi enam periode. Yakni, (1) periode 

VOC (1600-1800), (2) periode Confusion dan Uncertainty (1800-

1830), (3) periode Cultuurstelsel (1830-1870), (4) periode liberal (1870-1900), (5) periode etik (1900-1930), dan (6) periode depresi 

besar (1930-1940). Pada 20 Maret 1602 terbentuklah VOC (Verenigde 

Oostindische Compagnie) dengan modal kapital sekitar 6,5 juta 

guilders.

Bangsa Belanda mengambil alih Ambon dari Portugis pada 

tahun 1605. Bangsa Belanda bekerja sama dengan penguasa 

setempat dan membentuk sekutu anti-Iiberian. Perusahaan 

Inggris, the English East India Company, yang didirikan pada tahun 

1600 merupakan pesaing yang paling ngotot. Ketika penduduk 

Kepulauan Banda Kecil (Maluku Selatan) masih menjual pala 

ke pedagang Inggris, bangsa Belanda membunuh dan mengusir 

hampir seluruh penduduk daerah ini . Bahkan mengganti 

dengan pembantu dan budak yang dipaksa bekerja di perkebunan 

pala. Pada saat itu, sekitar 70 perkebunan didirikan, sebagian 

besar di Pulau Banda dan Ai.

Sejarah mencatat, di antara penguasa Belanda yang paling 

berpengaruh pada masa awal kolonialisme Belanda di Nusantara 

yaitu Jan Pieterszoon Coen. Ia merupakan Gubernur Jenderal VOC 

tahun 1619-1623 dan tahun 1627-1629. Pada masa kekuasaannya 

hampir seluruh penduduk asli Pulau Banda di Maluku 

dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan dan memonopoli 

rempah. Bahkan ia pernah merencanakan Jayakarta (Jakarta) 

sebagai pelabuhan dagang utama Asia, walupun akhirnya tidak 

tercapai. 

Untuk menjaga monopoli perdagangan rempahnya, Jan 

Pieterszoon Coen mengusir pesaing VOC keluar dari Kepulauan 

Maluku. Coen juga merebut Pelabuhan Jayakarta dari Sultan 

Banten dan mendirikan pos perdagangan Sunda Kelapa. Sejak 

saat itu, Sunda Kelapa menjadi Ibukota VOC yang kemudian 

dilanjutkan Pemerintah Belanda pada tahun 1816. 

Kebijakan yang sama juga dilanjutkan para penerus Coen, 

di antaranya terhadap penduduk Pulau Seram yang merupakan 

sentra cengkeh pada tahun 1656. Saat itu, bangsa Spanyol dipaksa hengkang dari Tidore dan Ternate pada tahun 1663. Bahkan, Sultan 

Gowa Makassar yang melakukan perdagangan bebas digulingkan 

kekuasaannya pada tahun 1669. 

Bangsa Belanda membangun benteng di ibu kota Gowa, 

Makassar dan Manado, serta mengusir seluruh pedagang asing. 

Pada tahun 1659, bangsa Belanda membakar kota pelabuhan 

Palembang (dulunya Kerajaan Sriwijaya) untuk menguasai 

perdagangan lada Nusantara. Pada tahun 1689, Belanda berhasil 

membangun monopoli rempah yang sangat efektif di Asia.

Bangsa Belanda juga memonopoli perdagangan pala dan 

cengkeh serta mempertahankannya terpusat di Maluku. Saat 

terjadi “perang rempah” (the Spice Wars) pada abad ke-17 dan 18, 

bangsa Belanda “memberangus” perkebunan pala dan cengkeh 

untuk menjaga harga agar tetap tinggi dan menumbangkan 

pesaingnya di pasaran. Tak hanya itu, bangsa Belanda juga 

merendam benih pala dalam larutan “lime”, sehingga tak seorang 

pun dapat menanam pala tanpa diberi wewenang. 

Saat itu, pala merupakan komoditas berharga di dunia sesudah  

emas dan perak. Pala banyak digunakan sebagai perisa, pengawet, 

dan juga obat. Bangsa Belanda bisa meraup untung hingga 

60.000% dari perdagangan pala asal Pulau Banda. Sebagai solusi 

“perang rempah” ditandatanganilah Perjanjian Breda yang isinya 

Pulau Run yang merupakan sentra rempah yang sebelumnya 

milik Inggris ditukar dengan Manhattan yang sebelumnya milik 

Belanda. 

Kembali ke penguasaan wilayah Banten oleh VOC yang 

berhubungan dengan perdagangan rempah kala itu. Awalnya, 

Kesultanan Banten menguasai daerah Lampung yang merupakan 

produsen lada. Banten menerapkan sistem wajib tanam terhadap 

tanaman lada yang sangat mirip dengan sistem cultuurstelsel. Saat 

Banten menguasai wilayah Lampung, masyarakat diwajibkan 

menanam 500 batang pohon lada. Penanaman lada dilakukan dalam lingkup keluarga. Lada 

banyak ditanam oleh masyarakat pepadun. Hasil panen lada 

yang siap dijual dikumpulkan kepada Jenang, kemudian oleh 

Jenang dijual kepada Jenjen. Jenjen ini tidak memiliki hak untuk 

memerintah, hanya perwakilan Banten dalam menghimpun hasil 

bumi untuk diangkut ke Banten. 

Kesultanan Banten mengalami kemunduran, ketika timbul 

perselisihan antara Sultan Abdulfatah dengan anaknya yang 

terkenal dengan nama Sultan Haji. Pada 14 Maret 1683, VOC 

menangkap Sultan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggal 

tahun 1692. Penangkapan itu mengakhiri peperangan Banten 

melawan VOC sehingga secara resmi VOC menguasai wilayah 

Banten. 

Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten pada tahun 

1682. Atas bantuannya melawan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, 

VOC mendapatkan izin untuk berdagang secara langsung dengan 

penduduk Lampung yang merupakan sentra lada di Sumatera. 

Selain Lampung, sentra lada lainnya di Sumatera yaitu Aceh yang 

pada abad ke-16 menguasai perdagangan lada hanya mencapai 

3,9% dari total ekspor. 

Pada abad ke-16 dan 17, Lampung yang berada di bawah 

kekuasaan Kesultanan Banten akhirnya jatuh ke tangan VOC. Lada 

Lampung yang dikenal dengan lada hitamnya sudah diekspor ke 

berbagai negara sejak abad ke-16. Lada merupakan komoditas 

yang membuat Lampung menjalin hubungan dengan wilayah￾wilayah lainnya di kawasan Nusantara pada abad ke-16. Beberapa 

wilayah di Lampung yang menjalin hubungan dengan Jawa dan 

Sunda yaitu negeri Sekampung dan Tulangbawang. Karena itu tak 

heran, pada awal penjelajahan di Nusantara, tiga kapal Belanda 

kembali ke negaranya dengan membawa kargo kecil berisikan 

lada.Produksi dan Perdagangan Rempah sesudah  VOC

Revolusi Prancis tahun 1789 memberi  pengaruh bagi negara di 

Eropa. Kaum patriot muncul di Belanda dan membentuk sebuah 

pemerintahan baru yang merupakan bagian dari Prancis dengan 

nama Republik Bataaf. Louis menempatkan Herman Wilhem 

Daendels sebagai Gubernur Jenderal pertama (1808-1811) di 

Nusantara. Pada tahun 1816, secara resmi Pemerintah Kolonial 

Belanda menguasai wilayah-wilayah yang dulu dikuasai VOC. 

Saat itu, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan dalam 

perkebunan untuk meningkatkan keuntungan Pemerintah Hindia 

Belanda. Sebagai contoh, pemerintah kolonial membatasi wilayah 

perkebunan lada Lampung merupakan salah satu wilayah yang 

dipertahankan produksi ladanya. Lada Lampung merupakan lada 

hitam terbaik di kawasan Sumatera sehingga produksi di wilayah 

ini tetap dipertahankan. 

Pada masa itu, lada merupakan komoditas wajib ditanam, 

namun dalam skala yang kecil. Sementara itu, wilayah lain 

dikembangkan komoditas perkebunan lainnya. Wilayah produksi 

lada dibatasi untuk menjaga agar harga lada tetap tinggi karena 

pada abad ke-19 lada bukan lagi komoditas ekspor utama. Petani 

lada diwajibkan untuk menjual produknya kepada Pemerintah 

Kolonial melalui kepala marga.

Pada tahun 1816 sampai 1830, Pemerintah Kolonial akhirnya 

menerapkan sistem sewa tanah (landdelijk stelsel). Pada dasarnya, 

sistem sewa tanah ini untuk menghilangkan kefeodalan dan 

menjunjung aspek kebebasan, namun upaya ini gagal. Kendala 

yang terjadi di Lampung dalam perdagangan lada ialah terdapat 

ikatan antara Jenang dan petani lada. Jenang tidak ingin kehilangan 

peranannya sebagai perantara dalam perdagangan lada.

Pada periode tahun 1820-1870, peran dan nilai ekonomi 

komoditas rempah di dunia semakin menurun. Hal ini ditunjuk￾kan dari nilai dan kontribusi ekspor rempah Nusantara ke pasar global. Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai ekspor rempah pada 

tahun 1823-1873 hanya berkisar 1,2-8% dengan nilai tertinggi pada 

tahun 1823-1825 dan terendah pada 1861-1865 dan 1866-1870, 

masing-masing hanya mencapai 1,2% dari nilai ekspor total. Posisi 

rempah pada era ini digantikan oleh kopi. sedang  data pada 

tahun 1874-1908 menunjukkan bahwa kontribusi ekspor rempah 

berada pada selang 2,6-4,3%.Makin melemahnya ekspor rempah dari Nusantara ini  

juga berkaitan periodisasi penjajahan/sistem kolonialisasi Belanda 

saat itu. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1830-1870 

Pemerintah Belanda di Nusantara memberlakukan sistem cultuur￾stelsel (tanam paksa). Sistem tanam paksa yang diterapkan 

Gubernur van de Bosch ini untuk menggenjot produksi cash-crops

perkebunan di Nusantara untuk tujuan ekspor, terutama kopi dan 

gula.Pada periode ini , kopi dan gula merupakan komoditas 

primadona di Eropa, sebaliknya pasar rempah sedang mengalami 

kelesuan. Penerapan sistem tanam paksa ini telah merevolusi 

Nusantara dari produsen rempah untuk kapitalisme saudagar 

menjadi produsen bahan mentah untuk kapitalisme industri. 

Tanaman lada bukan lagi komoditas penting sehingga dalam 

sistem tanam paksa lada tergolong dalam tanaman yang wajib 

ditanam dalam skala kecil. Dalam sistem ini, lada yang dihasilkan 

petani harus diserahkan kepada Pemerintah Kolonial sebagai 

pajak. Pelaksanaan sistem tanam paksa melibatkan struktur yang 

ada di masyarakat. 

Dalam masyarakat Lampung, jenang bertugas mengumpulkan 

hasil produksi, Pemerintah Kolonial memberi  imbalan berupa 

gaji. Pemerintah Kolonial melalui para jenang memerintahkan 

petani menanam lada. Sesuai kontrak, para pengolah kebun 

diwajibkan menanam lada dalam jumlah tertentu, 1.000 batang 

bagi pengolah berkeluarga dan 500 batang bagi pria lajangSistem tanam paksa telah memberi  keuntungan yang besar 

bagi Belanda. Bayangkan, dalam waktu tak lebih dari 20 tahun 

(1840-1859) sistem ini telah memberi  pendapatan sekitar 300 juta 

guilders. Dari nilai itu sekitar 92%-nya berasal dari kopi dan gula. 

Sementara itu, kontribusi rempah dan komoditas lainnya terhadap 

pendapatan sistem tanam paksa tak lebih dari 8% (Tabel 8).Pada tahun 1870 dikeluarkan Undang-Undang Agraria dan 

secara perlahan sistem tanam paksa dihapuskan. Undang-undang 

ini membuat wilayah Hindia Belanda terbuka untuk penanaman 

modal asing sehingga banyak perkebunan muncul di berbagai 

wilayah di negara kita . Dalam perkebunan lada hal ini memberi  

dampak yang negatif. Tanaman lada makin bersaing dengan 

tanaman ekspor lainnya. 

Dalam Bijlage OO dalam Koloniaal Verslag 1912 diketahui 

bahwa tidak ada perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan 

lada di Lampung. Umumnya perkebunan lada di Sumatera banyak 

dikelola pribumi dan RRT (Blink, 1936: 119).

Pada tahun 1900, gaya hidup penduduk dunia mengalami 

perubahan sehingga peran rempah semakin menurun. Pada 

pertengahan abad ke-19, lahirlah teknologi refrigerasi/pendingin 

buatan. Sebelum munculnya teknologi pendingin buatan, rempah 

juga digunakan sebagai pengawet makanan serta menutupi 

rasa makanan yang mulai busuk. Munculnya teknologi baru ini 

mengakibatkan penurunan status keseluruhan konsumsi rempah 

dan perdagangannya. Dalam Stebbe (1921: 209) diketahui bahwa 

produksi lada tahun 1913 di seluruh wilayah Sumatera sebagai 

berikut.Lampung merupakan penghasil lada hitam terbesar di 

Sumatera pada masa kolonial, sehingga wilayah ini  

merupakan aset penting bagi pemerintah dalam perdagangan 

lada. Dalam Economisch Statistische Berichten 5 April 1922 No. 

327 disebutkan bahwa wilayah pemasaran lada di Eropa yaitu 

Amsterdam, London, Hamburg, Havre, Bordeaux, Marseille, dan 

Tri-este. 

sedang  pasar lada di Amerika berada di New York dan 

San Fransisco. Untuk kawasan Asia dan Australia, pasar lada 

ada di Kobe Jepang, Melbourne, dan Sidney Australia. Lada 

dikumpulkan di Pelabuhan Batavia, kemudian dijual ke berbagai 

negara ini . Hindia Belanda memasok sekitar tiga perempat 

dari produksi lada di dunia yang berasal dari produksi lada di 

Sumatera dan Kalimantan (Economisch-Statistische Berichten 5 April 

1922 No. 327).

Selama perang dunia terjadi, Batavia berkembang menjadi 

pasar lada (Economisch-Statistische Berichten 5 April 1922 No. 

327). Dapat dilihat bahwa sebagian besar lada yang ada di 

Batavia dibawa ke Nederland v/o dan Singapura. Hal ini karena 

permintaan terhadap lada semakin meningkat saat terjadi Perang 

Dunia I (1814-1818). Dalam Economisch Statistische Berichten 5 April 

1922 No. 327 disebutkan pada tahun 1919 di Batavia harga lada 

mencapai harga Æ’ 50, kemudian turun menjadi Æ’ 29, naik menjadi 

Æ’ 40, dan kembali stabil pada harga Æ’ 47. 

Karena harga lada di pasaran Eropa meningkat tajam selama 

perang, akhirnya banyak permintaan dari Batavia. Pada saat 

perang berakhir, ekspor lada ke Eropa menurun drastis, tapi 

sebaliknya ekspor lada hitam ke kawasan Asia, Afrika, Australia, 

dan Amerika meningkat drastis. Lada hitam banyak diekspor ke 

Vereen. Staten v. N. - Am.

Dari Economisch Statistische Berichten, Woensdag 11 Juli 1917 No. 

80 (online: www.delpher.nl) bahwa Hindia Belanda mengekspor 

hasil produknya ke beberapa negara seperti Belanda, Amerika, Inggris, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Tercatat jumlah 

ekspor lada hitam Hindia Belanda sebanyak 246.794 pikul. Lada 

hitam dan putih diekspor ke Amerika sebanyak 96.357 pikul, 

Straits 113.683 pikul, Inggris 5.729 pikul, Jepang 998 pikul, Die 

Laden 4.219 pikul, dan China 25.808 pikul. 

Dalam laporan Departement van Landbouw Nijverheid En Handel 

Departement of Agriculture tahun 1930 dilihat bahwa Lampung 

mengekspor 12.920.475 kg lada hitam ke luar negeri. Dengan 

jumlah ini Lampung memenuhi 76% dari seluruh total ekspor lada 

hitam di Hindia Belanda. 

Selain itu, Lampung juga mengekspor lada hitam ke berbagai 

wilayah di Hindia Belanda, yakni Jawa sebanyak 2.886.430 kg dan 

ekspor ke daerah lainnya sebanyak 8.543 kg sehingga totalnya 

2.894.973 kg. Jadi, apabila dijumlahkan Lampung mengekspor lada 

hitam, baik ke luar maupun dalam negeri, sebanyak 15.815.448 kg 

atau 77% dari seluruh total ekspor. 

Departement van Landbouw Nijverheid En Handel Departement of 

Agriculture diketahui bahwa jumlah ekspor lada hitam dan putih 

wilayah Lampung sejumlah 15.816.219 kg. Jumlah ini mencapai 

47,5% dari total ekspor lada di Hindia Belanda.Selain Lampung, Bangka juga telah menjadi eksportir lada 

sejak zaman Belanda dengan produk utama lada putih (Tabel 12). 

Volume ekspor tahun 1920 hanya sekitar 4.700 ton, tetapi terus 

meningkat dan mencapai lebih dari tiga kali lipat pada tahun 

1932. Pada saat itu, harga lada turun sehingga nilai devisa yang 

diperoleh 50% lebih rendah dari ekspor tahun 1929 saat harga lada 

sangat tinggi (lebih dari dua kali lipat).Pada abad ke-19, komoditas perdagangan lain seperti kopi 

dan timah mengungguli lada dalam ekonomi dunia. Akibatnya, 

banyak petani lada yang beralih ke tanaman ekspor lainnya. Dalam 

buku 20 Tahun negara kita  Merdeka (1966: 230) dapat dilihat jumlah 

perkebunan makin sedikit dibandingkan perkebunan lainnya. 

Jumlah perkebunan lada tahun 1940 hanya 39 kebun dengan 

produksi 100 ton, sama dengan jumlah kebun cokelat. 

Produksi dan Perdagangan Rempah sesudah  

Kemerdekaan RI

Informasi terpenting dalam upaya membangkitkan kembali 

kejayaan cengkeh negara kita  yaitu  tingkat dan tren produksi 

dari komoditas rempah yang dibicarakan. Informasi ini dapat 

menunjukkan sampai mana intensitas penanganan rempah sesudah  


negara kita  merdeka dari penjajahan Belanda dan apa yang harus 

dipersiapkan apabila kejayaannya ingin dibangkitkan kembali.

Cengkeh. Dengan mengambil tahun 1967 sebagai tahun 

dasar, dapat dilihat perkembangan luas areal kebun cengkeh yang 

meroket. Pada tahun 1967, luas areal kebun cengkeh negara kita  

sebesar 59.559 hektar (ha). Pada tahun 1987, luas areal kebun 

cengkeh melonjak menjadi 742.269 ha atau meningkat sebesar 12,4 

kali dari tahun 1967. Namun, dalam perkembangan selanjutnya 

luas areal perkebunan cengkeh menurun drastis dan mencapai 

titik terendah pada tahun 2000, yaitu hanya 415.598 ha. Luas 

areal perkebunan cengkeh pada tahun 2015 kembali meningkat 

mencapai 503.500 ha (Gambar 13).Peningkatan luas area perkebunan cengkeh dari tahun 

1967 hingga 1987 (selama 20 tahun) ini , ternyata diikuti 

perkembangan produktivitas (hasil cengkeh per ha) yang 

menurun (Gambar 14). Sebelum tahun 1987, peningkatan produksi 

cengkeh nasional bersumber pada perluasan areal kebun, namun 

produktivitas justru memberi  kontribusi negatif terhadap total 

produksi. Sejak tahun 2000, perkembangan produksi dan luas areal 

memiliki tren yang sama. Tren perkembangan produktivitas 

berubah sesudah  tahun 1987 dan tren produktivitas bergerak 

bersamaan arahnya pada periode 2000 sampai sekarang. 

Cengkeh walaupun sempat menjadi komoditas ekspor 

negara kita , posisinya bukan sebagai sumber devisa yang 

memberi  kontribusi besar. Sebaliknya, dengan besarnya 

permintaan industri rokok kretek, posisi negara kita  masih 

menempati posisi net-importer cengkeh. Nilai ekspor sebelum 

tahun 1998 dapat dikatakan tidak ada dan pada tahun 1998 nilai 

ekspor cengkeh mencapai 20.157 dolar AS (Gambar 15). Adapun 

nilai impor cengkeh juga tidak terlalu bergejolak, kecuali periode 

sesudah  tahun 2009, dari hampir tidak ada menjadi 345.151 dolar 

AS (Gambar 16).Pala. Selama periode 1975-2014 pertumbuhan produksi pala 

rata-rata meningkat 3,48% per tahun (Tabel 13). Pada periode 

ini , kontribusi peningkatan areal terhadap peningkatan 

produksi pala mencapai rata-rata 3,38% per tahun lebih besar 

dibanding kontribusi peningkatan produktivitas yang hanya 

1,28% per tahun. Ini menunjukkan bahwa sesudah  kemerdekaan 

upaya peningkatan produksi lebih ditekankan pada peningkatan 

areal, bukan pada peningkatan produktivitas. Selama periode 1975-1998 peningkatan produktivitas rata￾rata 2,89% per tahun lebih besar dibanding rata-rata peningkatan 

areal 0,98% per tahun. sedang  rata-rata peningkatan produksi 

pada periode itu mencapai 1,71% per tahun. Ini menunjukkan 

kontribusi produktivitas terhadap peningkatan produksi lebih 

besar dibanding peningkatan areal. 

Berbeda dengan periode 1999-2014, kontribusi areal terhadap 

peningkatan produksi jauh lebih besar dibanding peningkatan 

produktivitas (Tabel 13). Bahkan peningkatan produktivitas 

pada periode ini  mengalami pertumbuhan negatif, yaitu 

-1,13% per tahun. Rendahnya produktivitas karena sebagian 

besar usaha tani pala merupakan perkebunan rakyat yang 

umumnya pengetahuan dalam budi daya dan modalnya terbatas. 

Sekalipun ada perkebunan negara dan swasta, namun sangat kecil 

dibandingkan dengan luas perkebunan rakyat. Bahkan sejak tahun 2004, berdasar  data Ditjen Perkebunan 

(2014) tidak ada lagi perkebunan swasta yang bergerak pada 

budi daya pala. Pertanaman pala milik rakyat umumnya jarang 

dipupuk dan hanya mengandalkan alam. Selain itu, petani juga 

membudidayakan tanaman lain seperti durian, kelapa, langsat, 

dan tanaman buah-buah lainnya sehingga produktivitasnya 

rendah.Seperti halnya lada, sebagian besar produk pala (biji kering, 

fuli, maupun minyak atsiri) diekspor ke luar negeri. negara kita  

merupakan produsen pala terbesar dunia dengan pangsa pasar 

sekitar 40% untuk biji pala dan 70% untuk fuli yang dikenal di 

pasar internasional sebagai pala Banda (Banda nutmeg). Bahkan 

standar international untuk mutu pala mengacu pada pala Banda. 

Selain dalam bentuk biji kering, negara kita  juga mengekspor fuli, 

minyak atsiri, dan berbagai varian produknya.

Nilai ekspor pala selama periode 1969-2012 mengalami 

peningkatan sebesar 27,27% per tahun dengan nilai devisa 1,3 

miliar dolar AS. Pada periode yang sama, nilai impor mengalami 

peningkatan rata-rata 131,01% per tahun dengan nilai sebesar 4 

juta dolar AS (Tabel 14). Nilai ekspor dan impor pada periode 1969-1998 lebih kecil 

dibanding periode 1999-2012. Hal ini  disebabkan naiknya 

volume ekspor dan membaiknya harga pala di pasar internasional 

tiga dasawarsa terakhir. Selain ekspor, negara kita  juga mengimpor 

meski nilainya kecil. Secara keseluruhan, neraca perdagangan pala 

sampai saat ini mengalami tren positif secara konsisten.

Lada. Seperti halnya cengkeh, perkembangan luas areal 

dan produksi lada sedikit meningkat, tetapi perkembangan 

produktivitas cenderung menurun. Luas areal pertanaman lada 

selama lebih dari 30 tahun (1967-1998) menunjukkan peningkatan Sejalan dengan pertambahan luas areal, produksi lada nasional 

juga meningkat, namun sangat fluktuatif. Kenaikan produksi 

ini selain karena bertambahnya luas areal, juga akibat terjadinya 

perbaikan produktivitas meski peningkatannya tidak signifikan. 

Produktivitas lada tertinggi dicapai pada tahun 1968 mencapai 

1.087 kg/ha. 

Sayangnya, produktivitas lada tahun-tahun selanjutnya 

menurun tajam. Sempat meningkat kembali tahun 1977, namun 

tidak pernah mengungguli produktivitas tahun 1968. Bahkan 

tahun berikutnya produktivitas lada kembali menurun dan relatif 

stabil pada kisaran sekitar 400-500 kg/ha sampai akhir 1990-an.

Peningkatan luas areal tanaman lada terus berlanjut dan pada 

tahun 2003 mencapai luas tertinggi sebesar 204.364 ha. Namun, 

sesudah  tahun 2003 sampai 2017, luas areal menurun. Pada tahun 

2017, luas areal lada tinggal 167.626 ha dengan sentra produksi utama di tujuh provinsi, yaitu Bangka Belitung (48.695 ha), 

Lampung (44.794 ha), kemudian Sulawesi Selatan dan Sulawesi 

Tenggara (14.400 ha), Sumatera Selatan (11.000 ha), Kalimantan 

Timur (9.600 ha), dan Kalimantan Barat (7.800 ha). 

Penurunan luas areal lada dipicu adanya penurunan harga dan 

serangan penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning 

yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan. Harga yang rendah 

memicu  petani beralih ke komoditas perkebunan lainnya, 

antara lain sawit, kopi, karet, dan kakao. Petani lada di Bangka 

juga banyak yang beralih profesi menjadi penambang timah 

karena dapat memberi  jaminan penghasilan harian, sementara 

usaha tani lada hanya memberi  hasil sekali setahun.

Produksi lada dari tahun 1999-2017 meningkat rata-rata 1,59%. 

Produksi lada tertinggi dicapai tahun 2008 sebanyak 91,04 ribu ton. 

Namun, kemudian menurun kembali dan berada pada kisaran 

82 ribu ton sampai tahun 2017 (Ditjenbun, 2015). Peningkatan 

produksi lada pada periode ini lebih karena bertambahnya luas 

areal. Produktivitas lada cenderung menurun dan mencapai titik 

terendah pada tahun 2004. Namun, pada tahun 2005 hingga 2014 

produktivitas lada kembali meningkat tetapi pertumbuhannya 

semakin melambat. 

Produktivitas lada negara kita  sangat rendah dibandingkan 

negara pengekspor lada lainnya. Misalnya, Vietnam yang mencapai 

1.500 kg/ha, Malaysia lebih dari 1.300 kg/ha, bahkan Brasil bisa 

mencapai 2.075 kg/ha (IPC, 2017). Rendahnya produktivitas karena 

sebagian besar usaha tani lada merupakan perkebunan rakyat (PR) 

yang menguasai 99,87% luas areal lada di negara kita . pemicu  

lainnya yaitu  pengelolaan lahan petani masih secara tradisional 

dan belum banyak yang menerapkan inovasi teknologi. Padahal 

produktivitas lada pada pertanaman petani yang menerapkan 

inovasi teknologi mencapai 4 ton/ha.

Jika menengok sejarah perdagangan lada negara kita  di dunia, 

telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Hindu. Bahkan, sebelum Perang Dunia II, negara kita  sudah menguasai hampir seluruh 

kebutuhan lada dunia (80%). Namun, seiring perkembangan 

waktu dan munculnya produsen lada baru, kontribusi negara kita  

semakin menurun (fluktuatif antara 16-26%) dan menempati 

posisi kedua sesudah  Vietnam dengan kontribusi 34-53%. 

Produk lada negara kita , sebagian besar dijual ke pasar 

internasional dan hanya sekitar 26% untuk kepentingan konsumen 

dalam negeri. Di pasar internasional, lada negara kita  dikenal 

dengan nama Lampung Black Pepper (lada hitam) dan Muntok White 

Pepper (lada putih) karena memiliki cita rasa dan aroma yang 

sangat khas. Kedua jenis lada ini  digunakan sebagai standar 

perdagangan lada dunia.

Data dari Ditjen Perkebunan (2016) menunjukkan bahwa 

volume ekspor lada negara kita  di pasar dunia pada periode 1967-

1998 sangat fluktuatif, namun menunjukkan peningkatan yang 

positif. Ekspor lada pada tahun 1967 masih sangat rendah, hanya 

336 kg. Namun, mengalami peningkatan secara konsisten dan 

mencapai volume tertinggi pada tahun 1992, yaitu sebesar 63.327 

ton. 

Volume ekspor menurun drastis pada tahun 1993 karena 

penurunan harga mencapai lebih dari lima kali lipat, dari 1 dolar AS 

menjadi 0,17 dolar AS. Pada tahun 1994, harga pala internasional 

mengalami perbaikan, kemudian tahun 1998 mendekati 5 dolar 

AS sehingga ekspor mengalami peningkatan kembali secara 

konsisten. Pada tahun 2015, volume ekspor mencapai 58.075 ton.

Data Ditjen Perkebunan (2016) menyebutkan negara kita  juga 

mengimpor lada dan volumenya semakin besar setiap tahun. 

Kalau pada tahun 1975, impor lada sebesar 92 ton maka pada 

tahun 2016 meningkat menjadi 2.749 ton.

Selama periode 1969-2016 nilai ekspor meningkat rata-rata 

18,92% per tahun dengan total nilai devisa sebesar 5 miliar dolar 

AS. sedang  nilai impor mengalami peningkatan lebih besar dengan rata-rata 53,7