makanan china

  


Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia 

pada kurun waktu 1915-1942. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian 

sejarah dengan lima tahapan terdiri dari pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, 

dan historiografi. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sumber 

primer maupun sekunder juga dibantu dengan data wawancara. Perkembangan kuliner 

Tionghoa di Batavia tidak lepas dari migrasi orang Tionghoa ke Batavia yang kebanyakan 

dilakukan oleh para lelaki Tionghoa karena tidak adanya perempuan Tionghoa para lelaki 

ini menikah dengan wanita setempat. Akibat adanya pernikahan beda budaya ini      

menyebabkan asimilasi maupun akulturasi dalam bidang kuliner. Orang Tionghoa 

mendapat pengaruh lokal dalam bidang kuliner, begitu pula sebaliknya. Apalagi sejak 

masifnya kolonialisme Belanda, orang Tionghoa di tanah rantau tidak hanya menerima 

unsur lokal namun juga pengaruh Belanda. Begitu pula orang Belanda menerima pengaruh 

Tionghoa dalam budaya kulinernya. Salah satu bentuk pengaruh kuliner Tionghoa yang 

cukup melekat di Batavia terjadi pada etnis Betawi.  

 


Beberapa tahun terakhir kajian mengenai makanan bukan lagi suatu hal yang asing 

baik kajian food studies maupun sejarah kuliner mulai marak ditulis. Seperti yang dilakukan 

Fadly Rahman (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Rijstaffel:  Budaya kuliner di 

Indonesia Masa Kolonial 1870-1942” maupun kajian Pipit Anggraini (2015) yang berjudul 

“Kuliner Hindia Belanda 1901-1942: Menu-menu   popular   dari   budaya   Eropa” telah mencoba 

mengkaji mengenai pengaruh Eropa terhadap kuliner Indonesia begitu pula dengan kajian 

Fadly Rahman (2016) yang berjudul “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia” telah  

mencoba  menelusuri sejarah kuliner Indonesia dari perspektif global dari masa kuno hingga 

terbentuknya buku resep Mustika Rasa walaupun kajian terdahulu telah menyinggung 

pengaruh Tionghoa terhadap kuliner Indonesia. Namun, dirasa oleh penulis penelitian 

sejarah kuliner Tionghoa secara khusus belum ada, apalagi dengan konteks lokalitas seperti 

Kota Batavia.  

Mengingat tidak sedikit pengaruh kuliner Tionghoa yang terjadi di Jakarta pada saat 

ini. Hal ini  disebabkan oleh migrasi orang Tionghoa telah terjadi sejak berabad 

lamanya. Akibatnya etnis Tionghoa juga turut membentuk wajah identitas kuliner di Jakarta. 

Misalnya saja yang terjadi pada etnis Betawi banyak menyerap pengaruh Tionghoa dalam 

bidang kulinernya. Apalagi jika dikaitkan dengan masa kini keberadaan kuliner Tionghoa 

bukan hanya sebatas dinikmati oleh orang Tionghoa tetapi sudah menjadi bagian dari realitas 

keseharian makanan di Jakarta.  

Membahas persoalan keberadaan kuliner Tionghoa di Jakarta sebetulnya dapat 

ditelusuri pada masa kolonialisme Belanda sejak kota ini masih bernama Batavia. Keberadaan 

kuliner Tionghoa ini dapat dilacak melalui berbagai catatan buku masak, artikel maupun iklan 

surat kabar, catatan perjalanan, maupun catatan seseorang pada masa kolonial. Lebih jauh 

lagi dapat diketahui melalui rumah makan, restoran, maupun kedai kopi yang telah ada pada 

masa kolonial Belanda. Berangkat dari ketersediaan sumber yang ada, maka dari itu 

penelitian ini mencoba menelusuri proses perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia dari 

kurun waktu 1915-1942, sejak ditulisnya buku masak oleh orang Tionghoa hingga masa 

pendudukan Jepang sebab pada masa ini  tidak banyak lagi catatan yang ditemukan 

mengenai keberadaan kuliner Tionghoa di Batavia.  

Metode Penelitian 

Metode penelitian ini menggunakan penelitian sejarah dengan lima tahapan 

(Kuntowijoyo, 2018). Tahap pertama pemilihan topik didasari oleh kedekatan emosional 

yakni sebagai pemerhati kuliner Tionghoa, sedangkan kedekatan intelektual sebagai 

mahasiswa sejarah yang mendalami sejarah, khususnya sejarah kebudayaan dan sejarah 

lokal. Tahap kedua heuristik, sumber primer yang didapat antara lain Boekoe Masakan 

Betawi tahun 1915, Ilmoe Masak Hindia tahun 1916, dan koran Sin Po tahun 1941, sedangkan 

sumber sekunder yang didapat antara lain buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner 

Nusantara tahun 2013, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia tahun 2016, data 

wawancara generasi ketiga pemilik restoran Wong Fu Kie dan kedai kopi Es Tak Kie. 

Tahap ketiga verifikasi sumber intern antara lain, membandingkan isi Boekoe Masakan 

Betawi tahun 1915 dengan Ilmoe Masak Hindia tahun 1916, sedangkan verifikasi ekstern 

mengidentifikasikan aspek penulisan buku dimulai dari identitas penulis, tahun terbit, 

penerbit, tempat diterbitkannya, hingga kertas yang digunakan. Tahap keempat 

interpretasi, setelah sumber didapat baik primer maupun sekunder disatukan menjadi 

kesatuan fakta sejarah. Kelima, tahap historiografi yakni menuangkan fakta-fakta sejarah 

kedalam sebuah tulisan dengan laras ilmiah. 

 

Orang Tionghoa dalam Struktur Masyarakat Batavia Sebelum Abad Ke-20  

Membahas mengenai posisi orang Tionghoa dalam struktur masyarakat di Batavia 

sebelum abad ke-20 ini tidak lepas dari migrasi orang Tionghoa ke Batavia maupun dari 

kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial pada masa ini . Migrasi orang 

Tionghoa ke Batavia sebetulnya telah lebih dulu terjadi sebelum kedatangan orang 

Belanda. Bahkan ketika armada Belanda pertama mendarat, di bawah pimpinan 

komandan Cornelis de Houtman pada 13 November 1596 di pelabuhan kecil Jayakarta 

sudah ditemukan sebuah kampung terletak di tepi timur Sungai Ciliwung dihuni oleh 

orang Tionghoa yang telah menanam padi dan menyuling arak (Lohanda, 1994).   

Migrasi orang Tionghoa ini di sebabkan oleh banyak hal di antaranya karena 

masalah politik, ekonomi, maupun sosial. Mereka bermigrasi menggunakan jung ataupun 

wakang, biasanya datang secara perorangan maupun berkelompok. Berdasarkan pola 

migrasi kedatangan orang Tionghoa ini terbagi menjadi huashang dan huagong. Huashang 

merupakan pola migrasi mengikuti perdagangan maritim, yang bermigrasi umumnya 

pedagang dan pengrajin. Sedangkan huagong merupakan migrasi yang digerakkan oleh 

kebijakan pemerintah kolonial yang memerlukan banyak tenaga untuk membangun 

emporium di wilayah Timur (Lohanda, 2009). 

Bentuk dari pola migrasi huagong ini juga terjadi di Batavia. Seperti yang dilakukan 

oleh J.P. Coen pada tahun 1622 mengirimkan kapal-kapal ke Tiongkok untuk menculik 

orang Tionghoa ke pesisir (Blackbrun, 2011). Besar harapnya orang-orang Tionghoa dapat 

dijadikan kekuatan untuk membangun kota. Namun, setelah pelabuhan Jayakarta 

menjadi mapan di bawah kendali VOC (1602-1799), tindakan seperti itu tidak diperlukan 

lagi. Para pedagang Tionghoa datang atas kemauan sendiri, membawa kuli-kuli miskin 

dari Tiongkok Selatan. Selain itu yang tidak kalah penting, ekonomi Batavia merupakan 

kontribusi pekerja terampil dari Tiongkok. 

Migrasi pertama orang Tionghoa umumnya berasal dari Hokkien di provinsi 

Fukien, Tiongkok Selatan lalu para imigran lainnya datang dari provinsi Kwantung 

(disebut Hakka), dari Kanton (disebut Punti), Hoklo dari Swatow, Haifoeng dari pulau 

Hainan (disebut Hailam) dan dari Formosa. Faktanya orang Tionghoa yang datang dari 

Tiongkok Selatan datang dari daerah yang berbeda, juga memiliki dialek yang berbeda 

(Lohanda, 1994). Namun, pengaruh Tionghoa yang paling melekat terjadi pada etnis 

Betawi ini dipengaruhi oleh suku Hokkien turut mempengaruhi bahasa, adat istiadat, 

maupun hidangan lokal.  

Pada mulanya migrasi orang Tionghoa ini umumnya didominasi oleh laki-laki. 

Hingga abad ke-19 masih jarang perempuan Tionghoa totok datang ke Hindia Belanda, 

karena sulitnya pelayaran dan kerasnya adat istiadat yang memisahkan laki-laki dan 

perempuan ketika itu (Kwaa, 2009). Akibat tidak adanya perempuan Tionghoa, maka 

mereka menikah dengan perempuan setempat. Pernikahan yang beda budaya ini 

menyebabkan asimilasi antara laki-laki Tionghoa dengan penduduk lokal. Lambat laun 

golongan minoritas ini kehilangan identitas dari kebudayaannya dan perlahan-lahan 

masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.   

Namun, ketika memasuki paruh kedua abad ke-19 adanya perubahan drastis di 

negeri Tiongkok mendorong para wanita Tionghoa melakukan migrasi dan 

mengembalikan identitas “kecinaannya”. Faktor pertama yang mendorong migrasi 

wanita Tionghoa karena faktor ekonomi dan demografis. Faktor kedua berkaitan dengan 

dibukanya Terusan Suez. Faktor ketiga lebih bersifat politisi, berkaitan dengan 

perkembangan situasi di Tiongkok. Adanya pergolakan anti-Manchuria di provinsi 

Tiongkok Selatan, dan kembangkitan nasionalisme Tiongkok (Lombard, 2008).  

Secara kelompok masyarakat Tionghoa di perantauan terbagi menjadi Tionghoa 

totok dan peranakan. Tionghoa totok ini merupakan mereka yang memegang kuat 

budaya dan tradisi Tionghoa, masih mampu berbahasa Tionghoa dalam kehidupan 

sehari-hari, mempertahankan cara memasak Tionghoa, dan sebagainya. Sebetulnya 

sampai pertengahan abad ke-19 sebutan “peranakan” mengacu kepada “Tionghoa-

Muslim” dikarenakan warga Tionghoa muslim ini dianggap telah berbaur terserap ke 

dalam komunitas pribumi. Namun, secara perlahan istilah mengenai peranakan mulai 

bergeser bukan lagi ditujukan untuk Tionghoa muslim. Bahwa mereka yang terbentuk 

dari hasil perkawinan campur antara lelaki Tionghoa yang bermigrasi dari daratan 

Tiongkok dengan perempuan setempat juga disebut sebagai peranakan.   

Jika dipahami secara struktur sosial yang berlaku sekitar abad ke-19 baik Tionghoa 

totok maupun peranakan digolongkan sebagai golongan kelas dua. Hal ini disebabkan 

oleh kebijakan segregasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan ini  

menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan ras dan agama. Bukan hanya di Batavia, 

praktik segregasi ini juga terlihat di kota-kota besar lainnya, seperti Semarang, Surabaya 

dan Makassar (Lohanda, 1994). 

Penduduk Batavia terbagi menjadi tiga kelompok utama; golongan pertama 

terdiri dari orang-orang Eropa termasuk Belanda, Jerman, Swedia, Prancis, Denmark, 

Inggris, Portugis, dan lainnya. Kedua Vreemde Oosterlingen atau Timur Asing seperti 

Tionghoa, Arab, Armenia, India, Persia, dan lainnya. Ketiga golongan pribumi yaitu Jawa, 

Bali, Ambon, Bugis, Timor, Melayu dan banyak lainnya. Pembagian kelompok etnis ini 

didasarkan oleh Regerings Reglement (Konstitusi Hindia Belanda) tahun 1854. Pembagian 

kelompok etnis yang diterapkan secara kaku ini menyebabkan terjadinya jurang pemisah 

antar kelompok. 

Secara struktur sosial karena orang Tionghoa bukan termasuk orang Eropa dan 

juga bukan orang pribumi asli, mereka ditempatkan di antara Eropa dan orang pribumi. 

Posisi yang cocok diterapkan pada orang Tionghoa ini adalah ‘bangsa tengah’ golongan 

menengah (Lohanda, 2002). Karena posisi ini , mereka seringkali menjadi 

penghubung antara orang Eropa dan pribumi khususnya dalam perdagangan. Selain 

sebagai golongan perantara dan menjadi minoritas kelas dua, orang-orang Tionghoa 

menerima dua kebudayaan yang berbeda baik Belanda maupun pribumi turut 

mempengaruhi kuliner Tionghoa di Batavia.  

 

Identitas kuliner Tionghoa di Batavia 1915-1942  

Akibat adanya migrasi orang Tionghoa ke Batavia turut adanya proses 

penyesuaian dalam bidang kuliner, para perantau Tionghoa ini turut serta dalam 

membawa bahan, makanan, maupun teknik memasak dari negeri asalnya begitu pula 

ketika sampai ditempat rantau mereka juga diperkenalkan dengan hal baru yang 

sebelumnya tidak tidak pernah dikenal di negeri asalnya termasuk pula dalam makanan. 

Jika orang Tionghoa totok lebih memegang kuat akar tradisi dan budaya dari negeri 

asalnya, berbeda dengan peranakan yang lebih menerima budaya dari tempat rantau 

yang ditinggalinya. Bertolak dari pemahaman bahwa unsur lokal dalam budaya 

peranakan merupakan sumbangan dari pihak perempuan yang diwariskan melalui 

kehidupan lingkungan rumah tangga, salah satunya dalam produktivitas dapur lewat 

masakan dan makanan.  

Apalagi sejak masuknya pengaruh Belanda yang semakin masif terjadi sekitar 

abad ke-19 orang Tionghoa tidak hanya menerima pengaruh lokal namun juga menerima 

pengaruh Belanda. Dalam bidang kuliner mereka yang cenderung mengadopsi pengaruh 

Belanda lebih suka makanan seperti bistik, sup kacang merah, dan sup tomat 

(Bromokusumo, 2013). Mereka cenderung menggunakan mentega untuk menggoreng 

yang mana penggunaan mentega lebih sering digunakan oleh orang Belanda. Bukan 

hanya makanan pokok saja, mereka juga senang menghidangkan kue-kue khas Belanda. 

Misalnya kue Columbine yang berasal dari Belanda yang akan dihidangkan pada waktu 

acara minum teh di sore hari (Ling & Paul, 2019). 

Kebanyakan mereka yang cenderung menerima kebiasaan dan selera makanan 

orang Eropa ini memiliki status dan peranan yang cukup penting. Misalnya yang terjadi 

pada Luitenant Tan yang terjadi pada permulaan abad ke-20 guna merayakan pesta 

perkawinan anak perempuannya. Pada pesta Luitnenant Tan, para tamu dihidangkan 

makan Eropa, seperti hors d’Ouvere—capcay Eropa—dengan Roti. Segala kemewahan

itu bisa terjadi sebab yang mengatur semua pesta Luitenant Tan adalah orang Belanda, 

kawan sang Luitenant ini biasa bergaul dengan orang Eropa (Onghokham, 2017).  

Tidak hanya menyerap unsur lokal maupun Eropa terutama Belanda. Orang 

Tionghoa juga masih tetap mempertahankan kebiasaan yang dibawa dari Tiongkok. 

Misalnya dalam penggunaan alat makan yang kerap menggunakan sumpit, piranti makan 

porselen seperti piring, mangkuk, cangkir, sendok, garpu dan peralatan makan lain 

dengan berbagai jenis ukuran. Lebih jauh lagi guna melacak bagaimana identitas kuliner 

Tionghoa di Batavia dapat ditelusuri melalui buku masak yang diterbitkan pada kurun 

waktu sekitar abad ke-20 telah menunjukkan berbagai pengaruh Tionghoa, hal ini  

dapat diketahui dari berbagai resep makanan Tionghoa yang dituliskan. Dari banyaknya 

resep masakan ini  menggunakan teknik memasak Tja, Tim, dan kuah yang memang 

telah menjadi ciri khas masakan Tionghoa. Disamping goreng dan panggang serta bakar 

merupakan istilah Nusantara (Lombard, 2008).  

Misalnya saja seperti yang terdapat dalam Boekoe Masakan Betawi yang dihimpun 

oleh seorang Tionghoa yang bernama Lie Tek Long diterbitkan 1915 telah banyak 

mencantumkan resep masakan Tionghoa diantaranya ajam masak tjauw, ajam masak 

boea poke, ajam tja, baso ikan, baso oedang, baso babi, batjian, bebek sayur asin, bahoe, 

djiauwke theng, djanhi tja, dendeng makau, dendeng babi, ikan masak katjang polong, ikan 

hip, ikan tjengtjoan, kee koen pauwhi, kole tja ajam, kole masak telor, ketimoen isi baso, 

kaki babi masak katjang item, loenphia telor, poetjonghai, panggang babi garing, panggang 

kodok, pentjok, pahte, pihi tja, sate babi, dan babi panggang dengan berbagai macam (Lie 

Tek Long, 1915). Tak hanya itu buku masak ini juga menampilkan beberapa masakan yang 

menjadi ciri khas masakan Betawi diantaranya resep nasi anggi, nasi oelam, nasi oedok, 

sambal boeras betawi, dan sambal kotoepat betawi.   

Selanjutnya pada tahun 1916 seorang Tionghoa yaitu Caroline Tjiong juga 

menuliskan buku masak yang berjudul “Ilmoe Masak Hindia: Ada terisi roepa-roepa 

masakan Olanda, Tjina, jang biasa didahar saban hari oleh pendoedoek di Hindia Belanda” 

di samping menuliskan resep masakan Belanda maupun Hindia juga ditampilkan resep 

Tionghoa diantaranya resep bakmi, Bebek Masak Tjara Tjina, Masak Boerong Dara, Masak 

Kodok Tjina, dan Masakan Tjin (Tjiong, 1916). Salah satu buku masak yang tidak kalah 

lengkap dalam menampilkan makanan Tionghoa ialah buku yang berjudul “Kokkie Jang 

Pande Boekoe Masak Tiga Bangsa Olanda, Tionghoa, dan Djawa Jang Paling Baroe” 

diterbitkan oleh percetakan Hoa Siang In Kiok di Batavia pada tahun 1925. Dari banyaknya 

buku masak yang diterbitkan kebanyakan resep yang dituliskan diantaranya berbagai 

resep olahan daging babi, bakmi dengan berbagai varian baik kuah maupun goreng, 

bakso, kimlo, laksa Tjina, puyonghai, maupun capcay. Dari keberadaan resep ini  

dapat ditarik benang merah bahwa makanan ini  cukup populer di Batavia pada 

kurun waktu sekitar abad ke-19 hingga abad ke-20 sebab telah banyak dituliskan dalam 

berbagai buku masak. Selain itu kebanyakan bahan-bahan yang digunakan dalam resep 

makanan Tionghoa menggunakan daging babi, minyak babi, kecap, tauco, miso, bawang 

putih, wansui (daun ketumbar), kucai, maupun daun bawang yang mana bahan ini  

merupakan bahan yang lazim digunakan dalam masakan Tionghoa.  

Tak hanya itu masakan Tionghoa juga sering kali menggunakan berbagai bahan 

seperti udang basah, tiram, pauwhi atau abalon, ebi (udang yang dikering), djuhi (cumi 

yang dikeringkan). Juga terdapat beberapa bahan makanan yang begitu unik digunakan 

dalam resep masakan Tionghoa diantaranya kodok, misalnya dalam masakan Panggang 

Kodok dan Masak Kodok Tjina, haijsom (teripang) misalnya dalam masakan Haijsom Tjah 

dan Haijsom Masak Ajem, ataupun penyu misalnya dalam masakan Kari Penjo (kari penyu). 

Dari berbagai bahan makanan dalam resep yang menggambarkan ciri khas bahan 

makanan Tionghoa diberikan keterangan dari mana bahan ini  didapat dan berapa 

harganya seperti yang terdapat dalam Boekoe Masakan Betawi (Lie Tek Long, 1915).  

Dari banyaknya resep yang dituliskan juga menampilkan adanya pengaruh Eropa 

maupun lokal hal ini  tidak lain sebagai bentuk penyesuaian, misalnya dengan 

penggunaan mentega yang erat dengan pengaruh Eropa maupun minyak kelapa yang 

sering digunakan oleh orang pribumi. Jika dilihat dari arah sebaliknya, bukan hanya 

makanan Tionghoa yang terpengaruh oleh makanan Belanda maupun pribumi tetapi 

orang Belanda di tanah jajah juga terpengaruh oleh makanan Tionghoa. Maka tidak heran 

jika makan Tionghoa sering kali menjadi bagian dari hidangan Rijsttafel yang 

keberadaanya telah ada pada tahun 1870 dan semakin populer pada kurun waktu abad 

ke-19 hingga memasuki pertengahan abad-20. Hal ini nampak dari resep Tionghoa muncul 

di berbagai buku masak yang ditulis oleh nyonya Belanda seperti dalam buku masak yang 

berjudul Groot Nieuw Volledig Oost Indisch Kookboek ditulis oleh nyonya Cantenius Van 

Der Meijden mencantumkan berbagai resep makanan Tionghoa yang digolongkan 

sebagai Chineese gerecheten, bersamaan dengan resep makanan lainnya (Meijden, 1934).  

Di sisi lain bentuk pengaruh kuliner Tionghoa yang cukup melekat dalam etnis 

lokal yang ada di Batavia ialah terjadi pada etnis Betawi. Hal ini dipengaruhi oleh Tionghoa 

peranakan Betawi karena keberadaan mereka yang lama di wilayah ini, menyumbangkan 

unsur-unsur Tionghoa pada kesenian tradisional Betawi, dan pengaruhnya juga ditemui, 

dalam teater, tari, bahasa dan masakan (Lohanda, 1994). Misalnya dalam masakan 

penggunaan ebi, seperti pada beberapa kuliner Betawi lainnya menjadi salah satu ciri 

pengaruh bahan kuliner Tionghoa (Teveningrum & dkk, 2016). Beberapa makanan yang 

kerap menggunakan ebi diantaranya nasi oelam yang diduga merupakan sajian Betawi 

peranakan Tionghoa, keberadaan resep nasi oelam memang telah ada dalam buku masak 

“Boekoe Masakan Betawi” dan “Kokkie Jang Pande”.  

Lalu juga ada asinan Betawi maupun laksa Betawi yang kerap menggunakan ebi 

sebagai tambahan bumbu. Walaupun diduga kemungkinan kata laksa berasal dari India 

(Lombard, 2008). Namun, dalam laksa Betawi disamping menggunakan ebi, penggunaan 

taoge, kucai, bihun/soun identik dengan pengaruh Tionghoa. Tak hanya sebatas pada 

laksa, soto juga identik dengan pengaruh Tionghoa jika dilihat secara asal usulnya kata 

soto merupakan serapan dialek Hokkian: Cau do (Jao To/Chau Tu, rerumputan & jeroan 

berempah) (Budiyanto, 2017). Jika dikaitkan dengan keberadaan soto Betawi mungkin 

merupakan bagian dari pengaruh Tionghoa.  

Tak hanya sebatas pada penelusuran resep makanan guna melihat seberapa jauh 

bentuk penyesuaian yang terjadi dalam kuliner Tionghoa di Batavia juga dapat ditelusuri 

dari berbagai makanan yang dihadirkan dalam perayaan hari besar Tionghoa. Misalnya 

saja dalam perayaan Sincia (Tahun Baru Imlek) yang biasanya menghadirkan sajian utama 

terdiri dari lauk pauk, kue-kue wajib, manisan wajib, serta buah-buahan wajib 

(Bromokusumo, 2013). Baik disajikan sebagai hidangan perayaan maupun diletak di meja 

abu leluhur. Adapun sajian utama berupa lauk pauk yang biasanya hadir perayaan Sincia 

diantaranya ca rebung iris kasar, ca rebung iris tipis, daging masak kecap (biasanya 

menggunakan daging babi) sering kali disebut babi kecap, sosis daging masak kecap, 

masakan dari kaki, masakan dari paru, masakan dari lambung, sate daging, ayam oh, opor 

ayam, sambal goreng (ampela, hati ayam, dan petai) dan mie goreng (Bromokusumo, 

2013).  

Selain itu, yang tak kalah penting yang mesti ada dalam perayaan Sincia 

diantaranya kue keranjang (nien koe) dan ikan bandeng merupakan bentuk akulturasi. 

Jika di negeri asalnya, kue keranjang (nien koe) memiliki cita rasa yang tawar. 

Penyajiannya juga lebih mirip kwetiau goreng yang dimasak dengan bawang putih, daun 

bawang, irisan tipis daging babi, dan udang (Bromokusumo, 2013). Umumnya kue 

keranjang yang beredar ialah bercita rasa manis disebabkan adanya penambahan gula 

jawa ataupun gula merah, hal ini  menjadi bentuk akulturasi antara budaya 

Tionghoa dengan budaya lokal. Begitu pula dalam budaya kuliner Betawi ada sebuah 

makanan yang mirip dengan kue keranjang yaitu dodol betawi yang kerap hadir dalam 

perayaan Hari Raya Idul Fitri bagi mereka yang beragama Islam. Begitu pula dengan 

perayaan Sincia di Tiongkok tidak menggunakan ikan bandeng. Keberadan ikan bandeng 

yang disajikan dengan cara pindang merupakan simbol bahwa hidup harus hemat, murni 

suatu bentuk akulturasi antara dua kebudayaan (Hartati, 2013). Antara budaya Tionghoa 

dan budaya Betawi. 

Selain kue keranjang (nien koe), ada pula kue mangkok (hwat koe) dan wajik (bie-

koe). Jika kue keranjang disajikan merupakan simbol dari keluarga yang hidup kekal dan 

sejahtera. Berbeda dengan kue mangkok (hwat koe) merupakan simbol dari 

pengharapan. Sedangkan kue wajik (bie-koe) merupakan simbol panjang umur dan usia 

tinggi yang mana kue ini  disusun menjadi seperti gunung yang tinggi (Pelita 

Tionghoa, “Sedikit tentang sembajang” 1941). Juga disajikan berbagai manisan seperti 

manisan nanas, tongkua, dan angco atau kitpia. Manisan ini merupakan simbol dari 

pengharapan agar memperoleh penghidupan. Selain manisan bentuk penyesuaian 

lainnya dalam makanan sesaji juga dapat menggunakan buah kolang-kaling merupakan 

simbol dari pihak pribumi (Liem, 1941). 

Bentuk penyesuain lainnya yang terjadi dalam perayaan Sincia seringkali 

dihadirkan berbagai buah-buahan yang mana kebanyakan buah yang digunakan buah 

lokal antara lain pisang, nanas, srikaya, dan jeruk. Pisang yang dipakai biasanya pisang 

raja hijau, simbol dari kemuliaan. Srikaya sebagai simbol untuk menggapai rezeki supaya 

tambah kaya. Ada juga buah nanas serta buah jeruk simbol dari kejayaan, manis. Tak 

hanya sebatas pada pengaruh lokal dalam hidangan Sincia juga menunjukkan adanya 

pengaruh Belanda terlihat dari adanya penyajian ananastar/nastar, kasstengels/batang 

keju, kue semprit dan schuimpjes/meringues (dari kocokan putih telur dan gula halus, lalu 

diberi warna merah jambu, kadang diberi cokelat bubuk) (Ishawara, 2009).  

Tak hanya sebatas pada perayaan Sincia perayaan Tionghoa lainnya juga kerap 

menghadirkan makanan sebagai simbol seperti dalam perayaan Petcun atau Toan Jang 

kerap menghadirkan bah-tjang dan kue tjang. Selain membuat bah-tjang dan kue tjang 

orang-orang Tionghoa di Batavia begitu pandai membuat kue Tjiong Tjiu Pia atau 

seringkali disebut sebagai kue Pia biasanya makanan ini dihadirkan dalam sembahyang 

bulan delapan (Nio Joe Loe, 1961). Terakhir ada sebuah pesta yang juga menggunakan 

makanan sebagai simbol yaitu pesta Tang Tje disebut juga sebagai pesta onde. Onde ini 

dibuat dari tepung ketan dengan berbagai macam warna yaitu putih, merah, hijau, 

kuning, dan sebagainya lalu direbus dan disajikan bersamaan dengan air gula. 

Dari berbagai buku masak yang diterbitkan pada kurun waktu abad ke-19 hingga 

memasuki abad ke-20 memang seringkali mencantumkan berbagai resep yang kerap 

hadir dalam perayaan Tionghoa diantara berupa koe mangkok dan koe wajik, maupun 

berbagai manisan (Buning, 1886). Begitu pula dengan buku resep kue yang ditulis oleh 

Nyonya Satiaman telah banyak menampilkan resep Tionghoa diantaranya koewe tjina, 

koewe tjang, maupun koewe mangkok dan koewe wadjik yang biasanya ada dalam 

perayaan Sincia (Harahap, 1933). Bagaimanapun sumbangan etnis Tionghoa terhadap 

makanan ini tidaklah sedikit dari banyaknya resep yang dituliskan baik resep makanan, 

kue-kue ataupun manisan menunjukkan bahwa resep ini  tidak hanya dikonsumsi 

oleh etnis Tionghoa namun juga diluar dari etnis Tionghoa. 

 

Jejak Kuliner Tionghoa di Batavia 1915-1942  

Guna menelusuri jejak perkembangan kuliner Tionghoa sebetulnya tidak hanya 

dapat ditelusuri dari berbagai resep masakan tetapi juga dapat ditelusuri melalui 

keberadaaan restoran maupun kedai minuman yang tumbuh di Glodok sekitar kurun 

waktu abad ke-20 sebab pada masa ini  disamping sebagai pusat bisnis Tionghoa, 

Glodok juga telah tumbuh sebagai pusat kuliner. Di Glodok terdapat banyak restoran tua 

diantaranya restoran Wong Fu Kie yang telah berdiri sejak tahun 1925 bahwa restoran ini 

berawal dari kedai makanan yang menyajikan bakmi keterangan ini  didapat dari 

wawancara pribadi pemilik restoran Wong Fu Kie yaitu bapak Tjokro Indrawan generasi 

ketiga pengelola restoran Wong Fu Kie (Indrawirawan, 2021). Selain restoran Wong Fu 

Kie juga ada Restoran Tay Tong, Restoran San Say Kay, Restoran Sien Hoa, Restoran Siapa 

Njana, Restoran Tionghoa dan Restoran Beng Hiong. Juga terdapat restoran Jit Lok Jun 

atau sekarang bernama restoran Eka Ria yang telah berdiri pada tahun 1926. 

Dari banyak restoran ini menunjukkan makanan apa saja yang coba disajikan 

diantaranya restoran yang bernama Tionghoa menyajikan menu makanan Hakka dan 

Kanton (Merrilles, 2019). Tak hanya itu restoran Tionghoa mencoba menghadirkan menu 

makan khusus berupa Ikan Opor dan Pauw Lo Heng Tjhiauw merupakan sajian terbaru 

Hong Kong hal ini didapat dari iklan surat kabar De koerier bertanggal 03 Desember 1938 

(“Iklan Restoran Tionghoa,” 1938). Agak berbeda dengan restoran Siapa Njana yang 

terletak di Glodok C1, menu yang dihadirkan bukan hanya makanan Tionghoa saja tetapi 

lebih beragam seperti sate ayam dan kambing, nasi goreng, gado-gado, laksa dan 

hidangan lainnya. Informasi ini  didapat dari surat kabar Het nieuws van den dag voor 

Nederlandsch-Indië bertanggal 26 Februari 1940 (“Iklan Restoran Siapa Njana,” 1940). 

Berdasarkan keberadaan restoran maupun iklan restoran Tionghoa dalam surat 

kabar menunjukkan bahwa makanan Tionghoa bukan hanya dinikmati oleh etnis 

Tionghoa, diluar dari itu juga dinikmati oleh orang Eropa maupun oleh orang Belanda. 

Misalnya seperti yang terekam dalam catatan perjalanan Justus Van Maurik seorang 

Eropa yang pernah mengunjungi Glodok sekitar tahun 1897 ia sempat mencicipi kimlo 

dan bakmi. Menurutnya, bakmi adalah sejenis makaroni tipis, dibumbui dengan semua 

jenis rempah-rempah, disiapkan dengan kaldu, dicampur dengan jamur, hati ayam, cabai, 

bawang cincang, potongan daging babi dan-bahkan kaki kodok, sedangkan kimlo 

merupakan sup yang sangat lezat. Ia sangat menikmati kedua hidangan ini . Selain 

itu di warung makan yang terbuka itu orang Tionghoa, Eropa, dan juga orang Timur, 

datang untuk menikmati berbagai hidangan lainnya (Maurik, 1897).  

Tak hanya dapat dinikmati melalui rumah makan maupun restoran makanan 

Tionghoa juga kerap kali diperdagangkan secara kelontong menggunakan pikulan di 

bahu dengan keranjang-keranjang bambu yang dianyam. Makanan yang coba dijajakan 

kepada penduduk setempat berupa sup. Sup yang dijual ini semacam kimlo (sup Tjina) 

dengan harga yang murah. Para pembeli akan memakan dagangannya dengan cara 

berjongkok dengan menggunakan sendok dan mangkuk porselen biru yang diletakkan di 

atas lututnya (Maurik, 1897). 

Memasuki abad ke-20 orang Tionghoa di Batavia tidak hanya mendirikan kedai 

makanan maupun restoran sebagai tempat komersial untuk menikmati makanan 

maupun minuman. Mereka juga mulai merambah mendirikan kedai minum diantaranya 

kopi. Salah satu kedai kopi tertua di Batavia didirikan oleh seorang perantau Tionghoa 

berasal dari Kwang Tung bernama Liauw Tek Soen yang didirikan pada tahun 1878 di 

Weltevreden di Jalan Molenvliet Oost (kini jalan Hayam Wuruk) bernama Warung Tinggi 

Tek Sun Hoo (Widjaja, 2014). Keberadan kedai kopi atau kopitiam demikian orang 

Tionghoa menyebut kedai kopi. Jika dilihat dari penamaanya, kopitiam merupakan 

penggabungan istilah kopi yang berasal dari bahasa Melayu atau Indonesia dengan tiam 

yang berasal dari dua dialek Hokkien ataupun Hakka (Herlijanto, 2014). 

Berbeda dengan kedai kopi lainnya, kopitiam milik orang Tionghoa khususnya 

Kopi Tak Kie yang telah berdiri pada tahun 1928 tidak hanya sekedar menyajikan kopi 

namun juga beberapa makanan lainnya sebagai menu pendamping minum kopi. Seperti 

roti dengan berbagai macam varian isi misalnya srikaya, stroberi, keju, coklat, dan juga 

bakpao yang memang identik dengan makanan Tionghoa. Bakpao yang dijualnya bukan 

berisi daging namun berisi tausa kacang hitam. Juga cakwe sebagai pendamping kopi 

dimakan dengan cara dicelupkan ke kopi, keterangan ini  didapat melalui 

wawancara pribadi dengan pemilik kedai Kopi Tak Kie yang saat ini dikelola oleh generasi 

ketiga yaitu bapak Ayauw (Ayauw, 2021). 

Selain menu pendamping yang disajikan kopi yang dijual di kopitiam pun bukan 

berasal dari biji kopi yang dibawa atau pun diimpor dari Tiongkok. Namun, menggunakan 

biji kopi lokal salah satu menu kopi yang dihadirkan dari kedai kopitiam adalah kopi O 

yang menjadi ciri khas kopi bagi orang Tionghoa yaitu kopi hitam panas berupa kopi 

tubruk ditambah dengan gula. Tidak hanya menghadirkan kopi O salah satu kedai yang 

berada di petak sembilan yaitu kedai kopi Tak Kie juga menyajikan es kopi susu. Es kopi 

ini merupakan campuran kopi, susu, dan es. Keberadaan es kopi ini mulai lazim 

dikonsumsi oleh orang Tionghoa tidak lepas dengan dibukanya pabrik es di Batavia sejak 

1870 serta mulai beredarnya susu kaleng sebagai tambahan es kopi susu sejak awal abad 

ke-20. Sayangnya, memasuki tahun 1940-an atau lebih tepatnya pada masa pendudukan 

Jepang tidak banyak lagi catatan yang ditemukan terkait keberadaan kuliner Tionghoa di 

Batavia utamanya melalui buku masak hanya dapat ditemukan melalui iklan rumah 

makanan maupun restoran yang dimiliki oleh orang Tionghoa karena tidak banyak 

catatan ini  maka penelitian ini diakhir pada kurun waktu 1942 ketika dimulainya 

masa pendudukan Jepang. 

 

 

Dari penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan kuliner Tionghoa di 

Batavia pada kurun waktu 1915-1942 ada hubungannya dengan migrasi orang Tionghoa 

yang utamanya dilakukan oleh kaum laki-laki karena keterbatasan jumlah perempuan 

mereka menikah dengan perempuan setempat. Akibat adanya pernikahan beda budaya 

ini menyebabkan asimilasi maupun akulturasi dalam bidang kuliner. Orang Tionghoa di 

Batavia ini menerima dua pengaruh yang berbeda baik dari kebudayan lokal maupun 

Belanda hal ini  turut membentuk identitas kuliner Tionghoa di Batavia. Bentuk 

nyata dari adanya pengaruh kuliner Tionghoa di Batavia salah satunya terjadi pada etnis 

Betawi banyak menyerap pengaruh Tionghoa dalam bidang kulinernya. Keberadaan 

kuliner Tionghoa di Batavia ditelusuri melalui buku masak, restoran, dan kedai minuman 

yang telah ada sejak masa kolonial Belanda. Sayangnya, penulisan artikel ini hanya dapat 

menelusuri perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia dari segi permukaan belum 

sampai ke prosesnya secara mendalam. Sehingga masih dibutuhkan penelitian lebih 

lanjut. Semisal dibutuhkan penelitian yang spesifik untuk menjelaskan bagaimana 

pengaruh kuliner Tionghoa bagi etnis Betawi karena penelitian ini hanya mengungkapkan 

secara sekilas.  


Related Posts:

  • makanan china  Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kuliner Tionghoa di Batavia pada kurun waktu 1915-1942. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan lima tahapan terdiri… Read More