anemia gizi 1
Juni 14, 2023
anemia gizi 1
Anemia merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel
darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar
hemoglobin normal pada laki-laki dan perempuan berbeda.
Kadar normal hemoglobin (Hb) pada laki-laki adalah 13 gr/dL
sedangkan kadar normal hemoglobin pada perempuan
adalah 12 gr/dL. Anemia merupakan salah satu kelainan darah
yang umum terjadi ketika kadar sel darah merah (eritrosit)
dalam tubuh terlalu rendah. Hal ini akhirnya memicu
masalah kesehatan karena kurangnya hemoglobin pada
darah akan memicu terganggunya supply oksigen ke
dalam tubuh. Anemia merupakan sebuah
tanda dari suatu proses penyakit yang biasanya digolongkan
sebagai kronis maupun akut. Anemia kronis terjadi selama
jangka waktu yang panjang sedangkan anemia akut terjadi
dengan cepat. Penentuan anemia ini akut atau kronis
dapat dilihat dari gejala yang timbul, pada anemia kronis
gejala biasanya dimulai secara perlahan dan bertahap.
Sedangkan pada anemia akut gejala biasanya ditemukan
mendadak dan cenderung lebih berat
Anemia merupakan masalah kesehatan pasien
yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia, baik di
negara berkembang dan negara miskin. Kekurangan zat besi
tidak terbatas pada remaja status sosial ekonomi pedesaan
yang rendah tetapi menunjukkan peningkatan prevalensi di
pasien yang makmur dan berkembang. Anemia
merupakan masalah gizi yang banyak ada diseluruh
dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar, namun
begitu kemajuan dalam penurunan angka kejadian
(prevalensi) masih dinilai sangat rendah (Sya’bani dkk, 2016).
Menurut World Health Organization tahun 2017, prevalensi
anemia dunia berkisar 40-88%. Menurut WHO, angka kejadian
anemia pada remaja putri di negara-negara berkembang
sekitar 53,7% dari semua remaja putri, anemia sering
menyerang remaja putri disebabkan karena keadaan stres,
haid, atau terlambat makanan.
Anemia dikatakan menjadi suatu masalah kesehatan
pasien apabila prevalensinya diatas 20%. berdasar
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012,
menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri
usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan pada Wanita Usia Subur
(WUS) usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 di negara kita prevalensi anemia
defisiensi besi banyak ditemukan pada remaja perempuan
sebesar 84,6%. Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selatan tahun 2018 kejadian anemia pada remaja putri di
Kalimantan Selatan sebesar 52,98%. Sedangkan prevalensi
anemia pada remaja putri di Kabupaten Banjar sebesar
55,85%. Artinya prevalensi kejadian anemia di Kabupaten
Banjar berada diatas prevalensi provinsi dan juga menjadi
masalah kesehatan pasien karena melebihi angka
nasional.
Remaja putri merupakan kelompok risiko tinggi
mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putra
karena kebutuhan absorbsi zat besi memuncak pada umur 14-
15 tahun pada remaja putri. Dampak anemia gizi besi pada
remaja adalah menurunnya produktivitas kerja ataupun
kemampuan akademis di sekolah, karena tidak adanya gairah
belajar dan konsentrasi belajar. Anemia gizi besi juga dapat
mengganggu pertumbuhan dimana tinggi dan berat badan
menjadi tidak sempurna, menurunkan daya tahan tubuh
sehingga mudah terserang penyakit. berdasar siklus daur
hidup, anemia gizi besi pada saat remaja akan berpengaruh
besar pada saat kehamilan dan persalinan, yaitu terjadinya
abortus, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah,
mengalami penyulit lahirnya bayi karena rahim tidak mampu
berkontraksi dengan baik serta risiko terjadinya perdarahan
pasca persalinan yang memicu kematian maternal .
A. Remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescent
berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh atau
tumbuh untuk mencapai kematangan. Anak dianggap
dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi ,Masa remaja (adolescent) merupakan periode transisi
perkembangan masa kanak-kanak dengan masa dewasa,
yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan
sosio emosional , tahap remaja merupakan
masa perkembangan individu yang penting. Masa remaja
adalah suatu periode dalam perkembangan yang dijalani
pasien yang terbentang sejak berakhir masa kanak-kanak
sampai dengan awal masa dewasa. Bagian dari masa kanak-
kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya
tinggi badan terus bertambah, sedangkan masa dewasa
antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk
fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai
dengan kemampuan berfikir secara abstrak
berdasar umur kronologis dan berbagai
kepentingan, ada berbagai definisi tentang remaja, yaitu
sebagai beikut
1. Menurut World Health Organization (WHO), remaja
adalah jika anak berusia 12 sampai 24 tahun
2. Usia remaja menurut Undang-undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 adalah 10–18 tahun
3. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan
remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur
10–18 tahun (untuk anak perempuan) dan 12–20 tahun
(untuk anak laki-laki)
4. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 mengenai
Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum
mencapai 21 tahun dan belum menikah
5. Menurut Undang-undang tentang Perburuhan, anak
dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16–18
tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk
tinggal
6. Menurut Undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup
matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun (untuk anak
perempuan) dan 19 tahun (untuk anak laki-laki)
7. Menurut Pendidikan Nasional (Diknas), anak dianggap
remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai
dengan saat lulus Sekolah Menengah.
B. Anemia
1. Pengertian Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar
hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah lebih rendah
dari nilai normal sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau
beberapa unsur makanan esensial , Anemia
dikatakan sebagai suatu kondisi tidak mencukupinya
cadangan zat besi sehingga terjadi kekurangan penyaluran
zat besi ke jaringan tubuh. Tingkat kekurangan zat besi yang
lebih parah dihubungkan dengan anemia yang secara klinis
ditentukan dengan turunnya kadar hemoglobin sampai
kurang dari 11,5 gr/dL Anemia defisiensi besi
merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi dan
anak, serta wanita hamil. Secara sederhana dapatlah
dikatakan bahwa, defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah
yang diserap untuk memenuhi kebutuhan tubuh terlalu
sedikit, ketidakcukupan besi ini dapat diakibatkan oleh
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya zat besi dalam
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi. Bila hal
ini berlangsung lama maka defisiensi zat besi akan
menimbulkan anemia.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam
Supariasa (2001), batasan anemia adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Batasan anemia menurut WHO
Kelompok Batas Normal
Anak Balita 11 gr %
Anak Usia Sekolah 12 gr %
Wanita Dewasa 12 gr%
Laki-Laki dewasa 13 gr %
Ibu Hamil 11 gr %
Masa remaja (adolescence) merupakan periode
pertumbuhan anak-anak menuju proses kematangan dari
manusia dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan fisik,
biologis, dan psikologis yang sangat unik dan berkelanjutan.
Selama masa remaja, pasien akan mengalami
pertumbuhan fisik yang pesat. Dibandingkan dengan periode
lainnya sesudah kelahiran, masa remaja mengalami
pertumbuhan terpesat kedua sesudah tahun pertama
kehidupan. Lebih dari 20% total pertumbuhan tinggi badan
dan sampai 50% massa tulang tubuh telah dicapai pada
periode ini. Oleh sebab itu, kebutuhan zat gizi meningkat
melebihi kebutuhan pada masa anak-anak. proses biologis
pada masa pubertas ditandai oleh cepatnya pertumbuhan
tinggi, berat badan, perubahan komposisi jaringan, dan
ada perubahan karakter seksual primer dan sekunder.
Secara biologis, psikologis, dan kognitif perubahan yang
terjadi pada saat remaja dapat mempengaruhi status gizi dan
kesehatan. Gizi yang baik selama remaja tidak hanya
berpengaruh pada optimalisasi pertumbuhan saat remaja,
tetapi juga pencegahan penyakit kronis sesudah dewasa. Pada
periode remaja ini juga perlu diperhatikan masalah gizi untuk
nantinya dapat meningkatkan kualitas kehamilan ,
2. Patofisiologi Anemia
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan
menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya
absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan zat besi. Tahap yang lebih lanjut berupa
habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan
transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah
menjadi darah dan akan diikuti dengan menurunnya kadar
feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang
khas yaitu rendahnya kadar Hb. Gejala anemia defisiensi besi
dibagi menjadi dua, yaitu tanda dan gejala anemia defisiensi
besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia defisiensi besi
yang khas. Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas
hampir sama dengan anemia pada umumnya yaitu cepat lelah
atau kelelahan karena simpanan oksigen dalam jaringan otot
kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri kepala
dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan
oksigen karena daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan
bernapas, terkadang sesak napas merupakan gejala, dimana
tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen dengan cara
kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana
jantung berdenyut lebih cepat diikuti dengan peningkatan
denyut nadi; dan pucat pada muka, telapak tangan, kuku,
membran mukosa mulut, dan konjungtiva
3. Penyebab Anemia
Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik,
gizi yang buruk atau gangguan penyerapan nutrisi oleh usus.
Juga dapat memicu pasien mengalami kekurangan
darah. Faktor risiko terjadinya anemia memang lebih besar
pada perempuan di bandingkan kaum pria. Cadangan besi
dalam tubuh perempuan lebih sedikit daripada pria
sedangkan kebutuhan per harinya justru lebih tinggi. Seorang
wanita atau remaja putri akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat
besi melalui ekskresi secara normal pada saat mentruasi.
Berikut ini tiga kemungkinan dasar pemicu anemia:
a. Penghancuran sel darah merah yang berlebihan
Hal ini bisa disebut sebagai anemia hemolitik yang
muncul saat sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari
normal (umur sel darah merah normalnya 120 hari). Sehingga
sumsum tulang penghasil sel darah merah tidak dapat
memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah.
b. Kehilangan darah
Kehilangan darah dapat memicu anemia
disebabkan oleh perdarahan berlebihan, pembedahan atau
permasalahan dengan pembekuan darah. Kehilangan darah
yang banyak karena menstruasi pada remaja atau perempuan
juga dapat memicu anemia. Semua faktor ini akan
meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat besi, karena zat
besi dibutuhkan untuk membuat sel darah merah baru.
c. Produksi sel darah merah yang tidak optimal
Hal ini terjadi saat sumsum tulang tidak dapat
membentuk sel darah merah dalam jumlah cukup yang dapat
diakibatkan infeksi virus, paparan terhadap kimia beracun
atau obat-obatan (antibiotik, antikejang atau obat kanker).
Penyebab anemia gizi besi pada remaja putri dapat juga
terjadi karena asupan besi yang tidak cukup, adanya
gangguan absorbsi besi, kehilangan darah yang menetap,
penyakit dan kebutuhan meningkat, yaitu sebagai berikut:
1) Asupan zat besi yang tidak cukup
Masa remaja merupakan masa penting dalam
pertumbuhan. Apabila, makanan yang dikonsumsi tidak
mengandung zat besi dalam jumlah cukup, maka kebutuhan
tubuh terhadap zat besi tidak terpenuhi, ini dikarenakan
rendahnya kualitas dan kuantitas zat besi pada makanan yang
kita konsumsi. Kurangnya konsumsi sayuran dan buah-
buahaan serta lauk pauk akan meningkatnya risiko terjadinya
anemia zat besi. Remaja yang belum sepenuhnya matang
baik secara fisik, kognitif, dan masih dalam masa pencarian
identitas diri, cepat dipengaruhi lingkungan. Keinginan
memiliki tubuh yang langsing, membuat remaja membatasi
makan. Aktivitas remaja yang padat memicu mereka
makan di luar rumah atau hanya makan makanan ringan,
yang sedikit mengandung zat besi, selain itu dapat
menggangu atau menghilangkan nafsu makan
2) Defisiensi asam folat
Pemberian asam folat sebesar 35% menurunkan risiko
anemia. Defisiensi asam folat terutama memicu
gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi perubahan
morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat
membelah seperti sel darah merah, sel darah putih serta sel
epitel lambung dan usus, vagina dan serviks. Kekurangan
asam folat menghambat pertumbuhan, memicu
anemia megaloblastik dan gangguan darah lainnya,
peradangan lidah (glositis) dan gangguan saluran cerna
(Almatsier, 2009).
3) Gangguan absorbsi
Zat besi yang berasal dari makanan dan masuk kedalam
tubuh diperlukan proses absorbsi. Proses ini
dipengaruhi oleh jenis makanan, dimana zat besi ada .
Absorbsi zat besi dapat lebih ditingkatkan dengan pemberian
vitamin C, hal ini dikarenakan karena faktor reduksi dari
vitamin C. Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam
senyawa dengan asam amino atau dengan vitamin C. Karena
itu, sayuran segar dan buah-buahan baik dikonsumsi untuk
mencegah anemia. Hal ini dikarenakan bukan bahan
makanannya yang mengandung gizi besi, tetapi karena
kandungan vitamin C yang mempermudah absorbsi zat besi.
Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi non heme
sampai 4 kali lipat. Tidak hanya vitamin C saja yang dapat
mempermudah absorbi zat besi, protein juga ikut
mempermudah absorbsi zat besi. Kadang faktor yang
menentukan absorbsi pada umumnya lebih penting dari
jumlah zat besi dalam makanan.
Tanin yang ada pada teh dapat menurunkan
absorbsi zat besi sampai dengan 80%. Minum teh satu jam
sesudah makan dapat menurunkan absorbsi hingga 85%. Hasil
survei anemia pada remaja putri di Kabupaten Sleman tahun
2008 menunjukkan bahwa siswa yang terbiasa minum teh,
berisiko lebih tinggi menderita anemia, dengan
persentase lebih dari 50% dibandingkan dengan yang kadang-
kadang atau tidak terbiasa minum teh. Kafein di dalam kopi
juga juga dapat menurunkan absorbsi zat besi. Kafein
merupakan Kristal Xantin putih, pahit, dan larut dalam air.
Efek negatif kopi antara lain: menggangu absorbsi besi,
memicu anemia defisiensi besi, ulkus peptikum,
esophagitis erosif, gastroesophageal refluks, meningkatkan
risiko osteoporosis. Konsumsi teh dan kopi satu jam sesudah
makan akan menurunkan absorbsi dari zat besi sampai 40%
untuk kopi dan 85% untuk teh, karena ada zat polyphenol
seperti tannin yang ada dalam teh
4) Perdarahan
Perdarahan atau kehilangan darah dapat memicu
anemia yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna yang
lambat karena polip, neoplasma, gastritis, varises esophagus
dan hemoroid. Selain itu perdarahan juga dapat berasal dari
saluran kemih seperti hematuri, perdarahan pada saluran
napas seperti hemaptoe. Perdarahan yang terjadi membuat
hilangnya darah dalam tubuh, biasanya sesudah mengalami
perdarahan, maka tubuh akan mengganti cairan plasma
dalam waktu 1 sampai 3 hari, akibatnya konsentrasi sel darah
merah menjadi rendah. Jika tidak ada perdarahan kedua
konsentrasi sel darah merah menjadi stabil dalam waktu 3-6
minggu. Saat kehilangan darah kronis, proses absorbsi zat
besi dari usus halus untuk membentuk hemoglobin dalam
darah terhambat. Sehingga, terbentuk sel darah merah yang
mengandung sedikit hemoglobin yang menimbulkan keadaan
anemia.
18
5) Kecacingan
Infeksi cacing tambang memicu perdarahan pada
dinding usus, akibatnya sebagian darah akan hilang dan akan
dikeluarkan dari tubuh bersama tinja. Setiap hari satu ekor
cacing tambang akan menghisap 0,03 sampai 0,15 ml darah
dan terjadi terus-menerus sehingga kita akan kehilangan
darah setiap harinya, hal ini yang memicu anemia.
6) Peningkatan kebutuhan zat besi
Kebutuhan zat besi wanita lebih tinggi dari pada pria
karena terjadi menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50-
80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30-40 mg.
Pada masa kehamilan wanita memerlukan tambahan zat besi
untuk meningkatkan sel darah merah dan membentuk sel
darah merah janin dan plasenta serta untuk kebutuhan ibu
sendiri. Remaja yang anemia dan kurang berat badan lebih
banyak melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) dibandingkan dengan wanita dengan usia reproduksi
aman untuk hamil. Penambahan berat badan yang tidak
adekut lebih sering terjadi pada orang yang ingin kurus, ingin
menyembunyikan kehamilannya, tidak mencukupi sumber
19
makanannya.
4. Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah
kekurangan besi antara lain:
a. Konseling untuk membantu memilih-milih badan makanan
dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia
remaja
b. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti
daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari
buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk
meningkatkan abssorbsi besi dan menghindari atau
mengurangi minum kopi, teh es, minuman ringan yang
mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
c. Suplementasi besi, merupakan cara untuk menanggulangi
ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian
suplementasi besi ada remaja dosis 1 mg/kgBB/hari
d. Untuk meningkatkan absobsi besi, sebaiknya
suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh,
minuman ringan yang mengandung karbonat,
multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium.
20
e. Skrining anemia, pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit masih merupakan pilihan untuk skrining
anemia defisiensi besi.
21
REFERENSI
Ali M. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara .
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Arisman MB. 2010 Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu
Gizi. Jakarta: EGC.
Briawan D. 2013. Anemia Masalah Gizi pada Remaja Wanita.
Jakarta: EGC.
Miller RD. 2008. Blood Disease of Infancy and Childhood, Iron
Metabolism and Iron Deficiency. Washington DC: Mosby
Company.
Proverawati A. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Sarwono SW. 2000. Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Pustaka .
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Sya’bani IN, Sumarmi S. 2016. Hubungan Status Gizi dengan
Kejadian Anemia pada Santriwati di Pondok Pesantren
22
Darul Ulum Peterongan Jombang. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah 2016, 1(1): 7-15.
Tarwoto NS, Wasnidar. 2007. Anemia Pada Ibu Hamil dan
Konsep Penatalaksanaan. Jakarta: Trans Info Media.
World Health Organization. 2017. Anaemia. Online;
https://www.who.int/topics/anaemia/en/ , diakses pada
tanggal 29 Juli 2019.
23
BAB III
JENIS-JENIS ANEMIA
A. Anemia Defisiensi Zat Besi
Anemia yang paling banyak terjadi utamanya pada
remaja putri adalah anemia akibat kurangnya zat besi. Zat
besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Oleh sebab
itu, ketika tubuh kekurangan zat besi produksi hemoglobin
akan menurun. Meskipun demikian, penurunan hemoglobin
sebetulnya baru akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe)
dalam tubuh sudah benar-benar habis.
B. Anemia Defisiensi Vitamin C
Anemia karena kekurangan vitamin C merupakan
anemia yang jarang terjadi. Anemia defisiensi vitamin C
disebabkan oleh kekurangan vitamin C yang berat dalam
jangka waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C biasanya
adalah kurangnya asupan vitamin C dalam makanan sehari
hari. Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu
mengasorbsi zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan
24
vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang
dan bisa terjadi anemia.
C. Anemia Makrositik
Jenis anemia ini disebabkan karena tubuh kekurangan
vitamin B12 atau asam folat. Anemia ini memiliki ciri sel-sel
darah abnormal dan berukuran besar (makrositer) dengan
kadar hemoglobin per eritrosit yang normal atau lebih tinggi
(hiperkrom) dan MCV tinggi. MCV atau Mean Corpuscular
Volume merupakan salah satu karakteristik sel darah merah.
Sekitar 90% anemia makrositik yang terjadi adalah anemia
pernisiosa. Selain menggangu proses pembentukan sel darah
merah kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem
saraf sehingga penderita anemia ini akan merasakan
kesemutan ditangan dan kaki, tungkai dan kaki serta tangan
seolah mati rasa. Gejala lain yang dapat terlihat diantaranya
adalah buta warna tertentu termasuk warna kuning dan biru,
luka terbuka dilidah atau lidah seperti terbakar, penurunan
berat badan, warna kulit menjadi lebih gelap, dan mengalami
penurunan fungsi intelektual.
25
D. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik terjadi bila sel darah merah
dihancurkan jauh lebih cepat dari normal dimana umur sel
darah merah normalnya adalah 120 hari. Pada anemia
hemolitik umur sel darah merah lebih pendek sehingga
sumsum tulang penghasil sel darah merah tidak dapat
memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah.
E. Anemia Sel Sabit
Anemia sel sabit (sickle cell anemia) adalah suatu penyakit
keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang
berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik. Pada
penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki hemoglobin
(protein pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal
sehingga mengurangi jumlah oksigen dalam sel dan
memicu bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang
berbentuk sabit akan menyumbat dan merusak pembuluh
darah terkecil dalam limpa, ginjal, otak, tulang, dan organ
lainnya serta memicu kurangnya pasokan oksigen ke
organ ini . Sel sabit ini rapuh dan dapat pecah pada saat
26
melewati pembuluh darah yang pada akhirnya dapat
memicu kerusakan organ bahkan kematian.
F. Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang
berbahaya, karena dapat mengancam jiwa. Anemia aplastik
terjadi apabila sumsum tulang tempat pembuatan darah
merah terganggu. Kejadian anemia aplastik memicu
terjadinya penurunan produksi sel darah (eritrosit, leukosit
dan trombosit). Anemia aplastik terjadi karena disebabkan
oleh bahan kimia, obat-obatan, virus dan terkait dengan
penyakit-penyakit yang lain.
27
REFERENSI
Proverawati A. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
28
BAB IV
PENYEBAB ANEMIA PADA REMAJA PUTRI
berdasar etiologinya, Baldy (1992) menerangkan
anemia dapat dibagi menjadi dua. Penyebab utama adalah
meningkatnya kehilangan sel darah merah dan gangguan
atau penurunan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan
sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan dan
penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma
atau luka, perdarahan kronik karena polip pada kolon,
penyakit keganasan, hemoroid, dan menstruasi yang
abnormal. Etiologi yang kedua adalah pembantukan sel darah
merah yang terganggu. Setiap keadaan yang mempengaruhi
sumsum tulang dimasukkan dalam kelompok ini, seperti
berikut:
1. Keganasan yang tersebar seperti kanker, obat dan zat
toksik, serta radiasi
2. Penyakit menahun melibatkan ginjal dan hati, infeksi dan
defisiensi endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin penting
seperti vitamin B12, vitamin C dan zat besi juga dapat
29
memicu pembentukan sel darah merah tidak
efektif sehingga menimbulkan anemia.
Menurut Junadi (1995), ada tiga faktor yang
mempengaruhi timbulnya anemia:
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi
dan infeksi penyakit. Kurangnya zat besi dalam tubuh
disebabkan karena kurangnya asupan makanan yang
mengandung zat besi, makanan cukup, namun
bioavailabilitas rendah, serta makanan yang dimakan
mengandung zat penghambat absorbsi besi. Infeksi
penyakit yang umumnya memperbesar risiko anemia
adalah cacing dan malaria
2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian
keluarga terhadap wanita, aktivitas wanita tinggi, pola
distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu dan anak
wanita tidak menjadi prioritas
3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain
rendahnya pendidikan, redahnya pendapatan, status
sosial yang rendah dan lokasi geografis yang sulit.
30
Menurut Depkes RI (2008), pemicu anemia pada
remaja putri dan wanita adalah:
1. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja
putri dan wania tinggi, dibandingkan dengan makanan
hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.
2. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena
ingin langsing dan mempertahankan berat badannya
3. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap
bulan yang membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki (Nursari, 2009).
Selain itu, sebagian besar anemia di negara kita
disebabkan karena kekurangan zat besi yang merupakan
komponen yang membentuk hemoglobin atau sel darah
merah. Pada umumnya ada tiga pemicu anemia
defisiensi besi, antara lain (Arisman, 2007):
1. Kehilangan darah secara kronis (menstruasi dan infestasi
cacing)
2. Asupan zat besi yang tidak cukup dan penyerapan yang
tidak adekuat
31
3. Meningkatnya kebutuhan zat besi untuk pembentukan
sel darah merah pada kondisi tertentu, contohnya masa
kehamilan, menyusui, pertumbuhan bayi, dan masa
remaja.
Kekurangan zat besi terjadi karena kurangnya
mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi atau
sudah mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi,
tetapi terjadi gangguan absorbsi di dalam usus karena ada
cacing atau gangguan pencernaan. Ditambah dengan
kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengganggu
penyerapan zat besi (seperti kopi dan teh) pada waktu yang
sama dengan waktu makan sehingga memicu absorbsi
zat besi semakin rendah (Permatasari, 2016).
Sedangkan menurut WHO, defisiensi besi pada
umumnya merupakan hasil dari asupan besi dari kebiasaan
makan yang mempunyai biovaibilitas yang tidak cukup.
Kebutuhan besi yang meningkat selama masa pertumbuhan
cepat (masa anak-anak, remaja, dan kehamilan), dan atau
meningkat kehilangan darah pada gastrointestinal yang
disebabkan penyakit kecacingan, malaria, atau kehilangan
32
darah melalui urin karena schistosomiasis. Bila remaja putri
mengalami menstruasi setiap bulannya akan kehilangan
darah kurang lebih 40-50 ml darah. Bila keadaan durasi masa
menstruasi ini meningkat sampai 15% maka dirinya akan
kehilangan darah hingga mencapai 80-100 ml darah. Kejadian
yang dialami remaja putri ini akan memicu defisiensi
besi yang apabila tidak segera diatasi akan memicu
anemia kurang besi (Nurhayati, 2005).
Menurut Depkes RI, pemicu anemia gizi karena
kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh karena pola
konsumsi pasien negara kita , terutama wanita kurang
mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan
sumber heme iron yang daya serapnya lebih > 15%. Ada
beberapa bahan makanan nabati yang memiliki kandungan
Fe tinggi (non heme iron), tetapi hanya bisa diserap tubuh <
3% sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk
memenuhi kebutuhan Fe dalam tubuh, jumlah ini tidak
mungkin terkonsumsi. Anemia juga disebabkan karena
terjadinya peningkatan kebutuhan oleh tubuh terutama pada
remaja, ibu hamil, dan karena adanya penyakit kronis.
33
Penyebab lainnya karena perdarahan yang disebabkan oleh
investasi cacing terutama cacing tambang, malaria, haid yang
berlebihan dan perdarahan saat melahirkan (Wijiastuti,
2006).
Anemia gizi besi sering diderita oleh wanita dan remaja
putri dan diketahui 1 diantara 3 wanita di negara kita menderita
anemia. Penyebab anemia gizi besi sering diderita oleh
wanita dan remaja putri yaitu dikarenakan (Depkes RI, 1998):
1. Wanita dan remaja putri jarang makan makanan protein
hewani seperti hati, daging dan ikan
2. Wanita dan remaja putri selalu mengalami menstruasi
setiap bulan sehingga membutuhkan zat besi dua kali
lebih banyak daripada pria, oleh karena itu wanita
cenderung menderita anemia dibandingkan dengan pria
3. Adanya kecenderungan remaja yang ingin berdiet
dengan alasan mempertahankan bentuk tubuh yang
ideal sehingga terjadi pola makan yang salah, serta
adanya pantangan dan tabu.
34
Menurut Wijanarka (2007) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi rendahnya kadar Hb pada remaja putri
yaitu:
1. Kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan
menstruasi
2. Kurangnya zat besi dalam makanan yang dikonsumsi
3. Penyakit yang kronis, misalnya TBC, Hepatitis, dan
sebagainya
4. Pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba
teratur menjadi kurang teratur, misalnya sering
terlambat makan atau kurang tidur
5. Ketidakseimbangan antara asupan gizi dan aktivitas yang
dilakukan (Handayani, 2010).
Adapun faktor pemicu yang berpengaruh terhadap
kejadian anemia yaitu sebagai berikut:
A. Asupan Zat Gizi
1. Zat besi (Fe)
Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses
pembentukan sel darah merah. Selain itu zat besi mempunyai
beberapa fungsi esensial dalam tubuh, yaitu sebagai alat
35
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat
angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier,
2001).
Pada wanita, zat besi yang dikeluarkan dari badan lebih
banyak daripada laki-laki. Selain dari kehilangan basal, masih
ada kehilangan lewat jalur lain. Setiap bulan wanita dewasa
mengalami menstruasi, dan periode menstruasi dikeluarkan
zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/periode. Oleh karena
menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka
banyaknya zat besi yang dikeluarkan rata-rata sehari adalah
28 mg dibagi dengan 30 sama dengan 1 mg/hari. Dengan
demikian wanita mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir
dua kali lebih banyak dari laki-laki dewasa. Meningkatnya
kebutuhan zat besi, bila diiringi dengan kurangnya asupan zat
besi dapat berakibat remaja putri rawan terhadap anemia
akibat defisiensi besi (Hallberg, 1988).
Zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani (zat
besi heme) mempunyai tingkat absorbsi 20-30 % sedangkan
zat besi non heme hanya 10- 15 %. Zat besi heme lebih mudah
36
diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan zat
makanan lainnya, tapi zat besi heme ini dapat berubah
menjadi zat besi non heme jika dimasak dengan suhu yang
tinggi dan dalam waktu yang lama. Sedangkan zat besi non
heme lebih sulit diserap dan penyerapannya sangat
tergantung pada zat makanan lainnya baik secara positif
maupun negatif. Kehadiran vitamin C, daging, ikan, dan
unggas akan meningkatkan penyerapan zat besi non heme
dan zat besi heme yang ada dalam daging, unggas, dan
ikan serta makanan hasil laut, dapat meningkatkan
penyerapan zat besi non heme. Sedangkan yang berperan
negatif dalam penyerapan zat besi adalah tannin dalam teh,
phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, fosfat,
kalsium, dan serat dalam bahan makanan (Husaini, 1989).
Absorbsi besi tergantung pada jumlah bahan makanan
yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga
absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari
bervariasi. Muhilal (1983) dalam Amaliah (2002) menyatakan
bahwa makanan sehari-hari dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu (Muhilal, 2004):
37
a. Absorbsi besi rendah atau sama dengan 5%, yang berasal
dari makanan yang monoton
Makanan yang monoton umumnya hanya terdiri dari
beras atau ubi, atau jagung dengan hanya sedikit atau jarang
sekali makan daging, ikan, dan vitamin C, dan banyak
mengandung serat atau bahan makanan yang menghambat
absorbsi besi, maka absorbsi besi dari menu makanan yang
demikian adalah rendah atau berkisar 5%. Makanan yang
absorbsi besi rendah ini umumnya dijumpai pada keluarga-
keluarga yang berpenghasilan rendah di negara-negara
sedang berkembang.
b. Absorbsi besi sedang atau sama dengan 10%
Makanan yang terdiri dari beras atau serelia lainnya,
dengan daging dan makanan berasal dari hewani lainnya
serta vitamin C yang sering ada setiap hari, yang merupakan
tipe makanan bagi keluarga-keluarga mampu di negara-
negara sedang berkembang, absorbsi besi adalah 10% atau
disebut sedang (moderat).
38
c. Absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%
Menu makanan orang-orang di negara-negara industri
seperti Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lainnya
dimana daging dan makanan lainnya tinggi di dalam menu
sehari-hari, maka absorbsi besi dari makanan 15% atau disebut
tinggi.
Jumlah zat besi yang dibutuhkan setiap hari untuk
mempertahankan kadar hemoglobin, kadar simpanan besi
yang cukup dan untuk keperluan pertumbuhan yang normal,
berbeda menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Remaja
putri selama pertumbuhan mengalami peningkatan volume
darah dan jaringan tubuh sehingga membutuhkan tambahan
besi untuk sintesa hemoglobin dan myoglobin (Guthrie,
1989).
Tabel 2. Kebutuhan Besi Manusia (mg/Hari)
Kehilangan Kebutuhan
Total
kebutuhan Kelompok
umur Faeces
Urine,
keringat,
desquamasi
Menstruasi Pertumbuhan Hamil
Dewasa
Pria 0,7 0,2 – 0,5 0,9 – 1,2
Wanita 0,7 0,2 – 0,5 0,5 – 1,0 1,4 – 2,2
Ibu hamil 0,7 0,2 – 0,5 1,0 –
2,0
1,9 – 3,2
Anak-anak 0,7 0,2 – 0,5 0,2 1,1 – 1,4
Remaja putri 0,7 0,2 – 0,5 0,5 – 1,4 1,5 – 1,0 1,9 – 3,7
Sumber: Guthrie, 1989
39
Dari beberapa teori di atas, didukung oleh beberapa
penelitian yang mendapatkan hasil yang berhubungan antara
asupan zat besi dengan anemia pada remaja putri. Pada
tahun 2007 penelitian Satyaningsih mendapakan hasil bahwa
remaja putri SMK Amaliyah Sekadau yang konsumsi Fe
kurang berisiko 10 kali mengalami anemia
dibandingkan remaja putri yang konsumsi Fe cukup.
Penelitian Kwatrin (2007) juga mendapakan hubungan yang
bermakna secara statistik antara asupan zat besi dengan
kejadian pada remaja putri di SMUN Bayah Kabupaten Lebak.
Feriani (2004) dan Safyanti (2001) juga menemukan
hubungan antara konsumsi Fe dengan kejadian anemia
dengan risiko masing-masing 5 kali dan 6 kali lebih tinggi pada
remaja putri yang konsumsi Fe rendah atau kurang.
2. Vitamin C
Zat gizi yang telah dikenal luas sangat berperanan
dalam meningkatkan absorbsi zar besi adalah Vitamin C
(Husaini, 1989; Almatsier, 2001). Vitamin C dapat
meningkatkan absorbsi zat besi non heme sampai empat kali
lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus
40
halus sehingga mudah diabsorbsi. Vitamin C menghambat
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk
membebaskan besi bila diperlukan. Vitamin C pada umumnya
hanya ada pada pangan nabati, yaitu sayur dan buah
terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya,
gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001).
Beberapa penelitian membuktikan pengaruh konsumsi
vitamin C terhadap kejadian anemia, yaitu pada tahun 2001,
Safyanti menemukan remaja putri yang konsumsi Vitamin C
kurang dari 100 % AKG berisiko 3,5 kali lebih tinggi
mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putri yang
mengkonsumsi vitamin C > 100 % AKG. Satyaningsih (2007)
dan Kwatrin (2007) juga menemukan hal yang sama, yaitu
risiko mengalami anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri
yang konsumsi Vitamin C kurang dari AKG.
3. Energi
Krummel (1996), menyatakan bahwa energi merupakan
zat gizi utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai
kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya seperti
protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi. Menurut
41
Khumaidi (1989) untuk menilai kecukupan konsumsi pangan
adalah dengan menilai kecukupan konsumsi energi dan
protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein
sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan,
maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya juga akan
terpenuhi.
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan
kekurangan zat gizi lainnya dan begitu pula dengan
penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait antara
satu zat gizi dengan zat gizi lainnya. Rendahnya asupan
energi dan protein dapat menimbulkan masalah kurang
energi dan protein (KEP). KEP dapat menurunkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi
pada penderita kurang gizi adalah penyakit saluran
pernapasan dan saluran pencernaan, penyakit ini dapat
memicu gangguan dalam penyerapan zat gizi
makanan, salah satunya Fe, bila ada gangguan
penyerapan Fe, maka akan ada kemungkinan terjadinya
anemia.
42
Menurut Wirakusumah (1999) kekurangan konsumsi
energi dapat memicu anemia, hal ini terjadi karena
pemecahan protein tidak lagi ditujukan untuk pembentukan
sel darah merah dengan sendirinya menjadi kurang.
Pemecahan protein untuk energi dapat memicu
ketidakseimbangan dalam tubuh. Pengaruh asupan energi
terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam beberapa
penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi <
100 % AKG berisiko mengalami anemia 3,13 (Lestari,
1996); 3,2 (Safyanti, 2002); 6,962 (Kwatrin, 2007); 5,066
(Satyaningsih, 2007) kali lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja putri yang konsumsi energinya cukup.
4. Protein
Protein dalam darah mempunyai mekanisme yang
spesifik sebagai carrier bagi transportasi zat besi pada sel
mukosa. Protein itu disebut transferring yang disintesa di
dalam hati dan transferin akan membawa zat besi dalam
darah untuk dipakai pada sintesa hemoglobin. Dengan
berkurangnya asupan protein dalam makanan, sintesa
transferring akan terganggu sehingga kadar dalam darah
43
akan turun. Rendahnya kadar transferring dapat
memicu transportasi zat besi tidak dapat berjalan
dengan baik, akibatnya kadar Hb akan menurun (Hallberg,
1988).
Bridges (2008) menyatakan bahwa protein juga
mempunyai peranan penting dalam transportasi zat besi
dalam tubuh. Kurangnya asupan protein akan memicu
transportasi zat besi terlambat sehingga akan terjadi
defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi protein
terutama berasal dari daging, ikan, dan unggas juga banyak
mengandung zat besi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri
yang asupan proteinnya kurang dari AKG berisiko lebih
tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri
yang asupannya cukup atau memenuhi AKG. Safyanti (2002)
mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan
proteinnya kurang dari AKG berisiko lebih 5,3 kali
terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang
asupannya cukup, begitu juga dengan penelitian Dadin
(2006) mendapatkan hubungan bermakna antara asupan
44
protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06. Penelitian
Satyaningsih (2007) dan Kwatrin (2007) juga mendapatkan
hubungan signifikan antara asupan protein dan anemia
dengan masing-masing nilai OR nilai OR 4,255 dan 4,380.
B. Perilaku Makan dan Minum
1. Perilaku Sarapan Pagi
Makan/sarapan pagi yaitu makanan yang dimakan
sebelum beraktivitas, yang terdiri dari makanan pokok dan
lauk pauk atau makanan kudapan. Jumlah yang dimakan
kurang lebih 1/3 dari makanan sehari. Sedangkan menurut
Depkes RI (2001), sarapan adalah mengkonsumsi makanan
yang dimakan pada waktu pagi hari sebelum berangkat atau
melakukan kegiatan di sekolah. Menurut Effendi (1993) dalam
Afifah (2003), kebiasaan tidak makan pagi antara lain dapat
disebabkan karena tidak adanya nafsu makan, terbiasa tidak
makan pagi dan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
melakukannya. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh
hidangan yang kurang menarik sehingga tidak dapat
menimbulkan selera makan.
45
Kebiasaan makan pagi sangat penting bagi remaja
karena dapat membantu meningkatkan konsentrasi belajar
siswi di sekolah, dimana dengan melakukan makan pagi kadar
gula darah akan meningkat karena lambung terisi kembali
sesudah delapan sampai sepuluh jam kosong (Saidin, 1991).
Manfaat makan/sarapan pagi, yaitu untuk memelihara
ketahanan tubuh, agar dapat bekerja atau belajar dengan
baik, membantu memusatkan pikiran untuk belajar dan
memudahkan penyerapan pelajaran, membantu mencukupi
zat gizi. Akibat tidak makan pagi, yaitu badan terasa lemah
karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk tenaga,
tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan pagi hari
dengan baik, pada usia anak sekolah tidak dapat berpikir
dengan baik dan malas, pada orang dewasa berdampak pada
hasil kerja yang menurun.
Hasil analisa penelitian Chusniaty (2002) ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi
setiap hari dengan kejadian anemia, yang mana remaja putri
yang tidak mempunyai kebiasaan sarapan pagi setiap hari
berisiko 3,421 kali menderita anemia dibandingkan
46
dengan remaja putri yang mempunyai kebiasaan sarapan pagi
setiap hari. berdasar penelitian Permaesih (2005),
didapatkan hasil bahwa remaja putri yang tidak terbiasa
sarapan pagi setiap hari berisiko menderita anemia 1,6
kali dibandingkan dengan remaja putri yang mempunyai
kebiasaan sarapan pagi setiap hari. Penelitian Wijiastuti
(2006) pada remaja putri Tsnawiyah Negeri Cipondoh-
Tangerang juga mendapatkan hubungan yang bermakna
antara sarapan pagi dengan kejadian anemia, yang mana
remaja putri yang tidak terbiasa sarapan pagi setiap hari
berisiko menderita anemia 4,88 kali dibandingkan
dengan remaja putri yang mempunyai kebiasaan sarapan pagi
setiap hari.
2. Perilaku Minum Teh/Kopi
Kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya bagi
penduduk dunia. Selain air putih, teh merupakan minuman
paling banyak yang dikonsumsi manusia. Rata-rata konsumsi
teh penduduk dunia adalah 120 ml/hari per kapita (Besral dkk,
2007). Tanin yang merupakan polifenol dan ada dalam
teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah menghambat
47
absorbsi besi dengan cara mengikatnya. Bila besi tubuh tidak
terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi waktu
makan (Almatsier, 2001).
Menurut Morck, et al (1983) minum teh paling tidak
sejam sebelum atau sesudah makan akan mengurangi daya
serap sel darah terhadap zat besi 64 %. Pengurangan daya
serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang
ditimbulkan oleh konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi,
mengurangi daya serap hanya 39 %. Pada teh, pengurangan
daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin. Selain
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat,
antara lain kafein, polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa
mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama
yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian,
sayur-mayur, dan kacang-kacangan (Monks, 1999). Remaja
putri yang memiliki kebiasaan minum teh/kopi > 1 gelas/hari
berisiko 2,023 menderita anemia dibandingkan dengan
remaja putri yang mengkonsumsi teh < 1 gelas/hari
(Satyaningsih, 2007).
48
3. Kehilangan Darah
a. Penyakit infeksi
Menurut Junadi (1995), pemicu langsung terjadinya
anemia adalah penyakit infeksi, yaitu cacingan, TBC, dan
malaria. Menurut Husaini (1989), anemia gizi dapat
diperberat oleh investasi cacing tambang. Cacing tambang
yang menempel pada dinding usus dan menghisap darah.
Darah penderita sebagian akan hilang karena gigitan dan
hisapan cacing tambang. Setiap hari 1 ekor cacing dapat
memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk
memicu anemia dierkirakan harus ada 2.000 ekor
cacing. Selain cacing tambang, cacing gelang secara langsung
maupun tidak langsung juga dapat menimbulkan kekurangan
zat besi, karena berkurangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan karena memendeknya permukaan villi usus.
berdasar penelitian Lestari (1996), remaja putri
dengan investasi cacing berisiko 4,47 kali menjadi
anemia dibandingkan dengan responden yang tidak
terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti
pada remaja putri di Tsnawiyah Negeri Cipondoh-Tangerang
mendapatkan hubungan yang bermakna antara investasi
cacing dengan kejadian anemia. Hal yang sama juga
didapatkan dari hasil penelitian oleh Kaur, et al di pedesaan
Wardha, India tahun 2006, remaja putri dengan investasi
cacing berisiko menderita anemia 4,11 kali
dibandingkan dengan remaja putri yang tidak memiliki
investasi cacing.
b. Menstruasi
Pengertian menstruasi (haid) adalah perdarahan secara
periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan (deskuamsi
endometri). Perdarahan haid terjadi secara ritmis mengikuti
pola siklus yang normalnya dalam satu siklus berkisar 25-31
hari . Siklus menstruasi normal
muncul satu kali dalam sebulan, karena itu dapat dikatakan
frekuensi atau siklus menstruasi perempuan usia reproduksi
adalah satu kali sebulan. Bila frekuensi menstruasi lebih dari
satu kali sebulan sehingga siklus kurang dari 25 hari disebut
polimenore
Pola menstruasi dapat diukur berdasarkan jumlah
darah, frekuensi perdarahan, dan lama menstruasi. menyatakan bahwa sangat sulit mengukur jumlah
darah menstruasi secara kuantitas. Bahkan seorang
wanitapun sulit untuk mengukur sendiri ataupun menyadari
apakah aliran darah menstruasi mereka abnormal. Sebagai
patokannya, suatu perdarahan disebut tidak normal jika
perdarahan yang terjadi lebih dari enam hari dan pembalut
yang dipakai per periode lebih dari 12 potong. Kehilangan
zat besi di atas rata-rata dapat terjadi pada remaja putri
dengan pola menstruasi yang lebih banyak dan waktunya
lebih panjang.
Menurut Krummel (1996), usia menarche biasanya
berkisar antara 10,5 – 15,5 tahun dan pergeseran usia
menarche lebih dini akan memicu pengeluaran zat
besi melalui menstruasi menjadi lebih awal. Selain itu Biran
(1990) menyatakan bahwa pada remaja putri siklus haid
biasanya akan terbentuk dalam waktu 4-6 tahun sejak usia
haid pertama dengan lamanya haid pada setiap wanita juga
bervariasi, biasanya berkisar 3-6 hari namun ada juga hanya 1-
2 hari dan diikuti dengan darah yang keluar sedikit-sedikit
pada hari berikutnya.
Masalah gangguan haid (haid abnormal), dan
perdarahan yang menyerupai haid pada interval siklus haid
normal menurut Hestiantoro (2008) dikelompokkan menjadi:
1) Ritme (irama) haid, dimana normalnya adalah 25-31 hari,
sedangkan yang abnormal seperti:
a) Haid terlalu sering dengan interval < 21 hari, yang disebut
polimenorea
b) Haid terlalu jarang dengan interval > 35 hari, yang disebut
oligomenore
c) Tidak terjadi haid, yang disebut amenore
d) Perdarahan tidak teratur, dimana interval datangnya haid
tidak tentu
e) Perdarahan bercak (spotting) yang terjadi prahaid,
pertengahan siklus dan pasca haid.
2) Banyaknya darah haid yang keluar, dimana normalnya
ganti pembalut 2-5 kali/hari, abnormal jika:
a) Bila darah haid yang keluar terlalu banyak, disebut
hipermenorea dengan ganti pembalut > 6 kali perhari
b) Bila darah haid yang keluar terlalu sedikit, disebut
hipomeorea dengan ganti pembalut < 2 kali perhari
c) Perdarahan becak (spotting).
3) Lamanya darah haid yang keluar, dimana normalnya 2-5
hari, abnormal jika:
a) Darah haid yang keluar > 6 hari, disebut menoragia
b) Bila darah haid yang keluar < 2 hari, disebut
brakimenorea.
4) Perdarahan bercak (spotting) pra haid, pertengahan
siklus dan pasca haid.
Hasil penelitian Amaliah (2002) mendapatkan kejadian
anemia lebih tinggi (53,8 %) pada remaja putri dengan lama
haid lebih dari 6 hari dibandingkan dengan yang lama haidnya
3-6 hari. Satyaningsih (2007) mendapatkan hasil penelitian
bahwa remaja putri dengan frekuensi haid yang tidak normal
berisiko 2,6 kali menderita anemia dibandingkan
dengan remaja putri yang frekuensi haidnya normal. Hasil
penelitian Gunatmaningsih (2007) menunjukkan ada
hubungan antara menstruasi dengan kejadaian anemia pada
remaja putri di SMA Negeri 1 Kecamatan hutan terlarang ,
Kabupatean tanjungbaru (nilai p= 0,015). Hal ini menunjukkan
bahwa responden yang sedang mengalami menstruasai
berisiko 1,842 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia.
4. Sosial Ekonomi
a. Pengetahuan gizi
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini
terjadi sesudah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
pasien (overt behavior). Pengalaman penelitian
menyatakan ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan , Menurut Lunandi
(1984), pengetahuan yang didapat oleh pasien
memicu pasien ini memiliki keterampilan.
Keterampilan serta material yang tersedia akan mengarahkan
pasien pada perubahan perilaku ,
Pengetahuan gizi adalah kemampuan pasien untuk
mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta
kegunaan zat gizi ini didalam tubuh. Pengetahuan gizi
ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar
struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan
dapat dikembangkan. Tingkat pengetahuan gizi pasien
dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh
pada keadaan gizi individu yang bersangkutan
Kelompok remaja masih berada pada proses belajar
sehingga lebih mudah menyerap pengetahuan sebagai bekal
di masa datang ,Penelitian
menguatkan teori diatas, bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan kejadian pada remaja
putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi
rendah berisiko 2,86 kali menderita anemia
dibandingkan dengan remja putri yang pengetahuan gizinya
baik. Pada tahun 2007, Satyaningsih juga mendapatkan
hubungan bermakna antara pengetahuan dan anemia, nilai
OR yang didapat yaitu 2,857.
b. Pendidikan orangtua
Pendidikan kesehatan berusaha agar pasien
menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara
kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah
hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan
orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan
dapat mempengaruhi status anemia pasien sehubungan
dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi
pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih